Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, sejak beberapa waktu lalu pihaknya memang tertarik memelototi pemanfaatan utang LN di sejumlah departemen
BACA JUGA: Isak Tangis di Ultah Perkawinan Menkes
Nah, khusus di Kementerian BUMN, terdapat 44 loan agreement senilai Rp 49,5 triliunUtang tersebut diambil sejumlah BUMN atas nama pemerintah
BACA JUGA: JK Pastikan Golkar Bantu Fadel Muhammad
Dananya digunakan untuk pembiayaan berabagai kegiatan perusahaan pelat merah ituSelama ini, lanjut dia, persoalan utang luar negeri muncul karena pemerintah tidak menyiapkan studi kelayakan (feasibility study) yang baik
BACA JUGA: BLT Dipolitisir, Infrastruktur Diabaikan
"Biasanya, feasibility study hanya sebagai formalitasBelakangan baru muncul persoalan," ucapnya.KPK khawatir bila persoalan utang macet itu tak segera dicarikan jalan keluar, beban terhadap anggaran negara semakin besarApalagi bila ada gejolak nilai tukar seperti sekarang"Coba ada kenaikan sedikit saja, beban (APBN) makin beratNaiknya bisa mencapai triliunan," jelasnya.
Jumlah utang tersebut, tambahnya, membikin Departemen Keuangan kerepotan membayar kepada negara kreditor"Kami desak penyelesaiannya segera dilakukan," jelasnyaPengkajian utang luar negeri ini merupakan sisi lain tugas KPK, di samping penindakan dengan menangkap koruptor.
Sebelumnya, KPK menemukan fakta bahwa pemanfaatan utang luar negeri Indonesia tak pernah terserap secara maksimalTahun ini saja utang yang dimanfaatkan hanya 56 persenPaahal, beban bunga tetap dihitungKPK bersikap demikian karena sejak 1967 Indonesia selalu terbebani utang LN.
Untuk mengucurkan pinjaman, biasanya pemerintah mengalokasikan dana pendampingYang terjadi, dana pendamping justru ludes sebelum utang LN terserapUntuk pengawasan utang luar negeri tersebut, KPK juga mengajukan tambahan personel kepada kejaksaan dan kepolisianMereka bertugas menyupervisi pembayaran utang LN.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengatakan, utang luar negeri yang dimiliki BUMN nilainya Rp 43 triliunDari total utang tersebut, ''hanya'' Rp 5 triliun masuk kategori bermasalah''Ini yang sedang diselesaikan Kementerian BUMN dan Departemen Keuangan,'' ujarnya.
Menurut Said, salah satu utang luar negeri yang bermasalah adalah pengadaan kapal Bina JayaTerkait kasus tersebut, Kementerian BUMN tengah mencoba mencari tahu permasalahan dalam proses pengadaan kapal itu''Sebab, BUMN ini hanya menerima, sedangkan yang bikin perjanjiannya pemerintah,'' katanya.
Satu lagi contoh kasus yang masih hangat adalah sengketa antara Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan produsen pesawat asal Tiongkok Xian Aircraft IndustryKasus Merpati bermula dari penandatanganan kontrak pembelian 15 unit pesawat MA-60 senilai USD 232,4 juta pada 7 Juni 2006Kontrak itu baru efektif jika sudah mendapat persetujuan dari Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN.
Dalam pembelian tersebut, skema pembayaran ditalangi dulu oleh pemerintah ke lembaga kredit eksporSetelah itu, utangnya di-pass through (diteruskan) ke Merpati.
Namun, berdasar hasil kajian Kementerian BUMN dan Departemen Keuangan, transaksi dan utang tersebut sulit diselesaikan MerpatiSelain itu, harga USD 15,4 juta per pesawat dinilai terlalu mahal karena harga MA-60 di pasaran hanya USD 11 juta.
Karena itu, ada kemungkinan Merpati bangkrut jika harus menanggung utang tersebutDengan kajian itu, Kementerian BUMN menginstruksikan agar Merpati bernegosiasi ulang dengan Xian Aircraft Industry.
Salah seorang sumber di Kementerian BUMN menyebut, kasus semacam itu di masa lalu kerap terjadi di lingkup BUMNAkibatnya, beberapa BUMN menanggung utang yang lebih besar daripada kemampuannya(git/owi/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BMKG Diminta Lebih Cepat Sajikan Info Cuaca
Redaktur : Tim Redaksi