jpnn.com - JAKARTA – Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut lonjakan harga beras tiga minggu terakhir tidak diatur mafia beras dimentahkan oleh temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pasalnya, KPPU justru mencium adanya kesepakatan sekelompok pedagang besar yang mampu menentukan harga di tingkat grosir hingga ritel.
Berdasarkan informasi yang masuk ke KPPU, kalangan importer bahkan bisa mengungkap adanya lima hingga delapan pedagang beras berskala besar yang mampu memengaruhi harga beras nasional. Menurut Komisioner KPPU Munrokhim Misanam, bukan hal yang sulit bagi kelompok pedagang besar itu kompak menaikkan harga. Sebab, mereka pasti saling terkoneksi dan berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.
BACA JUGA: Faisal Basri Sebut Nawacita Sesat
”Tugas kita (KPPU) membuktikan hal itu. Bahwa ada kesepakatan di antara mereka,” tegasnya di Jakarta, Selasa (24/2).
Namun, Munrokhim tidak menyebut mereka dengan nama mafia. Dia lebih memilih menyebut praktik menentukan harga yang dilakukan beberapa pelaku usaha itu sebagai kartel.
BACA JUGA: Ombudsman Bidik Kualitas Pelayanan Lion Air
”Tentunya mereka adalah pedagang-pedagang besar yang menguasai pasar. Mereka biasa berkomunikasi lewat telepon, bbm, e-mail, atau lainnya. Jadi, kalau satu pedagang besar bilang naik, yang lain ikut-ikutan naik,” ungkapnya.
Sementara itu, pedagang kecil eceran justru hanya menjadi perpanjangan tangan pedagang besar. Sebab, meskipun mereka menimbun, pasti volumenya sangat kecil. Mereka akan menjual sesuai dengan harga yang dibeli dari pedagang besar.
BACA JUGA: Soal Brazil, Pengamat Sarankan Jokowi Kedepankan Seni Diplomasi
”Pedagang kecil hanya memainkan harga, beli mahal ya jual lebih mahal. Jadi, yang harus dicari itu raksasanya,” tegas dia.
Bisa jadi pedagang besar tersebut memiliki lebih dari satu perusahaan sehingga perlu dihitung penguasaan pasarnya seperti apa. Untuk itu, KPPU akan mulai melakukan monitoring ke sektor perdagangan beras dengan meminta data ke pihak-pihak terkait. ”Seperti di pasar induk itu biasa masuk sekian ribu ton per hari. Itu kemudian diserap siapa saja?” cetusnya.
Munrokhim melihat belum adanya kontrol yang detail dari pemerintah terkait distribusi beras di pasar induk. Hal itu yang mengakibatkan beras operasi pasar (OP) dari Bulog banyak diselewengkan pedagang dengan cara ditimbun atau dioplos. ”(Beras) di pasar induk pun sebenarnya rentan dimanfaatkan pedagang besar. Jadi, harus benar-benar diawasi,” tandasnya.
Pengamat ekonomi bisnis Jimmy M. Rifai Gani mengamini informasi dari KPPU itu. Mantan direktur utama PT Sarinah yang pernah menjadi importer beras itu mengakui bahwa pasar komoditas beras sudah lama cenderung oligopolistik alias dikuasai beberapa penjual saja.
”Sehingga rawan terjadi penimbunan yang mengakibatkan harga beras melambung tinggi,” katanya.
Jimmy menayebutkan, setidaknya ada lima hingga delapan pedagang beras berskala besar yang relatif mampu memengaruhi harga beras nasional. Kondisi itu bisa dikategorikan kartel jika mereka membuat kesepakatan harga tanpa sepengetahuan pemerintah.
”Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan,” katanya.
Menurut Jimmy, pemerintah belum perlu melakukan impor beras karena stok beras di Bulog cukup untuk menstabilkan harga di pasar. Apalagi, impor juga akan merugikan harga di tingkat petani yang sebentar lagi memasuki panen raya.
”Sarinah juga importer beras. Tapi, beras yang diimpor jenisnya khusus, seperti Japonica Rice asal Jepang, untuk pasar terbatas,” ungkap lulusan John F. Kennedy School of Government Harvard University tersebut.(wir/owi/hib/jpnn/c9/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siap Kumpulkan Koin untuk Biayai Eksekusi Hukuman Mati
Redaktur : Tim Redaksi