KPU Disarankan Ajukan Judical Review

Rabu, 11 Juni 2014 – 19:52 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang sejumlah pakar politik, guna membahas tata cara penetapan calon pemenang pada pemilu presiden 2014 mendatang.

Langkah ini dilakukan guna mencari masukan agar KPU tidak salah langkah, sebab dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 6a, diatur pemenang pilpres adalah pasangan yang memeroleh suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

BACA JUGA: Pilpres Satu atau Dua Putaran, KPU Perlu Sepakat dengan Dua Capres

Aturan tersebut juga diterjemahkan dalam Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang Pilpres No 42 tahun 2008.

Disebutkan, jika tidak ada pasangan capres/cawapres yang memenuhi syarat kemenangan sebagaimana tertera pada Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945, pasangan calon yang memeroleh suara terbanyak pertama dan kedua, dipilih kembali oleh rakyat secara langsung.

BACA JUGA: Wafid Dipersiapkan Berhubungan Intens dengan Komisi X

Artinya jika mengacu pada kedua aturan tersebut, maka meski hanya dua pasangan calon yang menjadi peserta pemilu 2014, namun belum secara otomatis peraih suara terbanyak menjadi pemenang pilpres.

“Masalah ini harus kita pertimbangkan dengan serius. Agar tidak ada sengketa hukum di kemudian hari. Karena itu kita mohon masukan dari para pakar, sehingga kami (KPU) bisa memutuskan,” ujar Komisioner KPU, Ida Budhiati, di Jakarta, Rabu (11/6).

BACA JUGA: Pertemuan Menteng Dicurigai Atur Debat Capres

Menanggapi masalah ini, pakar politik dari Universitas Diponegoro, Hasyim Ahzari, dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar KPU di Hotel Oria, Jakarta, menilai KPU perlu secara resmi mengajukan permasalahan yang dihadapi kepada DPR.

Sebab lembaga tersebut punya kewenangan menafsirkan undang-undang dalam bentuk legislasi dalam bentuk undang-undang.
Langkah lain, Hasyim juga menilai KPU dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau normanya hanya diatur dalam Peraturan KPU, kelihatannya belum cukup. Karena yang menjadi problem itu bahwa di level undang-undang ada ketidakjelasan tentang bagaimana menentukan terpilih. DPR punya kewenangan menafsirkan undang-undang. Bisa juga ajukan judicial review ke MK. Kalau kemudian ditafsirkan suara mayoritas, maka tak perlu putaran kedua,” katanya.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anas Bercanda Minta Jas Malah Dikasih Duit


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler