Lagu Baru untuk Hatta Rajasa

Senin, 02 November 2009 – 23:31 WIB
LAGU lamaNyanyian itulah yang terdengar selama dua hari Rembuk Nasional, 29-30 Oktober 2009 lalu yang diprakarsai Menko Perekonomian, Hatta Rajasa di Jakarta

BACA JUGA: Tidak Kesepian Sampai Kesepian

Tak ada hal baru
Ibarat penyakit, sakit bangsa ini masih yang kemarin-kemarin juga

BACA JUGA: Kabinet itu Seumpama Rumah

Untuk “sakit” pun rupanya kita tidak kreatif.

Misalnya, komplen tentang ketersediaan listrik yang suka “mati lampu” bak lirik lagu dangdut itu
Lalu, soal infrastruktur, ketenagakerjaan versus investasi, dana murah perbankan, perda tumpang tindih, kepastian hukum dan sebagainya.

Sebetulnya, tanpa acara Rembuk Nasional itu pun, masalah-masalah barusan sudah diketahui semua pihak

BACA JUGA: Karma Politik Golkar yang Faksional

Tapi, okelahMudah-mudahan saja dapat menjadi modal berharga untuk merumuskan program 100 hari kabinet baruBayangkan, hingga sekarang kita belum mendengar adanya program jangka awalPadahal, pelantikan para menteri sudah sekian waktu juga.

Lagi pula, dengan aspirasi 2.873 peserta, mulai menteri, gubernur, DPRD, eselon I departemen/lembaga, asosiasi, Kadin, tokoh masyarakat, LSM dan akademisi, rasanya forum itu sudah representative.

Jika kita ingat-ingat tim ekonomi Orde Baru dipimpin oleh Wijoyo Nitisastro pun pernah merumuskan trilogi pembangunan, yakni stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan dan pemerataanLogika yang dibangun akan mustahil pertumbuhan ekonomi bergerak apabila stabilitas politik dan keamanan tergangguPemerataan pun sulit tanpa adanya pertumbuhan.

Akibatnya, politik menjadi panglimaStabilitas keamanan kadang jadi alasan bagi pihak yang mencoba mengkritik pembangunan meski kadang ditemukan penyimpangan dalam inplementasinyaSyukurlah, era yang “menakutkan” itu tinggal menjadi sejarah belaka.

Yang menjadi pertanyaan, masihkah kini strategi itu relevan? Faktanya, Indonesia relatif amanKabinet didukung koalisi partai politik di DPR sehingga kekuatan oposisi nyaris lemahMungkin, soal kepastian hukum masih dikeluhkan investor, termasuk iklim anti-korupsi jangan sampai melemahDiharapkan perseteruan Polri dan KPK mereda, termasuk antara Kejaksaan dan KPK.

Masalah lain adalah manakah yang prioritas, pertumbuhan atau pemerataan? Yang mengultuskan pertumbuhan akan selalu mengatakan “apanya” yang hendak dimeratakan jika tak ada yang bertumbuh? Kedengarannya logisTetapi, siapa sih yang menimati pertumbuhan itu selama ini? Mengapa teori U yang katanya akan tiba pada tahap pemerataan jika pertumbuhan sudah berjalan tapi tak juga menetes ke lapis bawah?

Pertumbuhan ekonomi memang pernah mencapai 7% di era Orde Baru sampai Indonesia dipuja-puji sebagai “Macan dari Asia.” Namun sudah menjadi fakta pula bahwa pertumbuhan yang sukses itu juga menuai multikesenjangan antara wilayah Barat-Timur, Kota-Desa, sektor padat modat-padat karya, pengusaha kuat-lemah dan sebagainya.

Harapan trickle effect down, menetes setelah bertumbuh, hanya ada dalam teoriNyatanya, rezim ekonomi konglomerasi bertumbuh, tapi banyak rakyat yang tetap miskin dan papa.

Nah, ibarat pepatah, kakek tak mau kehilangan tongkat dua kaliDalam bahasa metafora pula, jangan sampai terjadi efek “kanibalis.” Istilah untuk melukiskan betapa selama ini program ekonomi dapat berefek buruk dan menimbulkan masalah sosial, hukum dan keamananMengejar pertumbuhan terlalu bergairah, tapi muncul side effect di bidang sosial, hukum dan keamanan.

Apabila dilihat di lapangan, kerap terjadi bagaimana lahan pertanian dan hutan konservasi menciut setelah investasi lahan sawit dan industri kayu berlangsung besar-besaranDibarengi pula pembangunan lapangan golf dan propertyAkibatnya, produksi pangan berkurang, lingkungan terusik, banjir tiba, petani urbanisasi dan menjadi buruh pabrik atau menganggur di kota yang kian padatGiliran berikut muncul efek kriminalitas.

Sering pula terjadi betapa proyek infrastruktur, entah berupa jalan bagus, bandara, pelabuhan dan sebagainya, sebelum dan sesudahnya telah menaikkan harga tanahTragisnya, tanah penduduk setempat habis dibeli orang berduit karena dia tahu wilayah itu akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomiCelakanya, rakyat mantan pemilik tanah itu kian tergusur dari pusat petumbuhanPindah semakin ke pedalamanDan semakin miskin.

Dengan kata lain, pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang berduit dan “memiskinkan” mayoritas rakyat yang sejak semula sudah miskin dan melarat.

Dalam kasus seperti yang dideskripsikan, dan gemar terjadi, sesungguhnya program perekonomian secara langsung dan tak langsung telah bersikap “kanibalis” terhadap program Polhukam dan KesraKarena itu, diharapkan ketiga Menko itu tak hanya mengkoordinasi menteri di jajarannya saja, tetapi juga saling sinergi antar-Menko dan antar-Menteri.

Masih belum lekang dari kenangan kolektif, ketika pemerintah cqMenko Polhukam dan Panglima TNI pernah mengirimkan tentara menumpas gerakan separatis di AcehTerlepas kita semua adalah penjaga wilayah NKRI, tetapi “perang” itu telah menimbulkan “luka-luka” ekonomi dan sosial yang dahsyat di Aceh.

Untunglah, kemudian berdamai, dan inilah jalan terbaikTak ada jalan lain, dan saya kira ini “lagu baru”  bahwa kanibalisme antarproram,  cukuplah terjadi di masa lalu saja**

BACA ARTIKEL LAINNYA... Merajut yang Terpecah-Belah


Redaktur : Auri Jaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler