jpnn.com - PROKLAMASI kemerdekaan Indonesia malah jadi petaka bagi Lamira. Dia terpaksa angkat kaki dari tanah airnya lantaran indehoi dengan sinyo Belanda
Paras perempuan kelahiran Surabaya, 1853 ini cukup menawan. Ibunya Jawa, ayah keturunan Portugis. Namanya Lamira.
BACA JUGA: Bung Karno: Zonder Mengerti Urusan Wanita, Tak Akan Bisa Menyusun Negara
Orang lama bilang, nasib bagaikan roda pedati. Kadang di atas, ada kalanya di bawah. Sesekali nyamping.
"Pada akhir 1870-an, Lamira bekerja sebagai pembantu rumah tangga Johannes. Sekitar 1880, Johannes dan Lamira pun hidup dalam pergundikan di Kediri," tulis Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
BACA JUGA: Ketika Sumpah Pemuda Diikrarkan Bung Karno Sedang Apa?
Johannes dua tahun lebih muda dari Lamira. Laki-laki yang bertugas sebagai pengganti kepala kantor panitera luar biasa pengadilan di Kediri itu lahir pada 1885.
Setelah punya anak tiga, Johannes mendadak meninggal pada 23 Agustus 1886. Usianya masih terbilang muda, 31 tahun. Ketika itu Lamira sedang mengandung anak keempat dari Johannes.
BACA JUGA: MENCEKAM...Dalam Suasana Seperti ini Sumpah Pemuda Dilahirkan
Empat anak Lamira diadposi oleh keluarga Johannes, dengan status disamakan dengan orang Eropa.
Namanya juga kembang desa, tak berselang lama Lamira menjalin hubungan lagi dengan seorang Eropa. Tak disebut siapa namanya. Kali ini mereka resmi menikah dan punya beberapa anak.
Pendek kisah, Indonesia merdeka. Penguasa berganti. Segala yang berbau kolonial dimusuhi. Lamira pun terpaksa angkat kaki dari negerinya sendiri.
"Setelah dekolonialisasi, ia terpaksa meninggalkan Indonesia untuk tinggal dan menetap selama bertahun-tahun di Belanda," tulis Reggie Bay.
Menurut salah seorang cucunya, sambung Reggie, meski terbuang jauh di negeri orang, Lamira hidup dengan bahagia di Belanda. Sang kembang desa wafat di Den Haag, Belanda pada 1959 dalam usia 105 tahun. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Niat Meliput Kongres, WR Supratman Malah Jadi Bintang Sumpah Pemuda
Redaktur : Tim Redaksi