jpnn.com, JAKARTA - Industri manufaktur berperan penting dalam implementasi konsep circular economy atau ekonomi berkelanjutan. Selain akan menjadi tren dunia, konsep tersebut dinilai mempunyai kontribusi besar dalam penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.
Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Teddy Caster Sianturi mengemukakan, fly ash dan bottom ash (faba) sebagai limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik, sebenarnya masih dapat dimanfaatkan lagi menjadi substitusi bahan baku, sumber energi ataupun bahan baku sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BACA JUGA: Ya Ampun, Ternyata Ada 560 Ribu Warga Belum Nikmati Listrik
“Dalam perkembangannya faba dapat diolah menjadi produk lain yang bermanfaat seperti genteng atau produk lain seperti paving block. Masalahnya, prosedur yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlalu rigid, karena didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 tahun 2014 yang memasukkan faba sebagai limbah B3, dan dilakukan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup,” jelas Teddy.
Pemerintah sudah beberapa kali menggulirkan sejumlah paket penyederhanaan peraturan dalam bentuk paket kebijakan ekonomi.Namun khusus untuk faba masih tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Dengan dikategorikan sebagai limbah B3, prosedur yang harus dilalui dirasa sangat sulit oleh pengusaha yang bergerak dalam industri tersebut.
BACA JUGA: Mau Sampai Kapan Bergantung pada Industri Batu Bara?
Batu bara dijadikan alternatif sumber energ karena menurut Teddy, terjadi transformasi kebutuhan energi dari tahun-tahun sebelumnya. Tadinya hanya mengandalkan pada minyak dan gas bumi yang terbukti telah membebani APBN, beralih pada batu bara yang cadangannya lebih besar.
Diperkirakan masih dapat dipergunakan sampai 50 tahun ke depan, dibanding cadangan migas yang hanya akan bertahan sekitar 20 - 30 tahun ke depan, dengan demikian pemanfaatan batu bara adalah sebagai local wisdom.
BACA JUGA: Produksi Batu Bara Tumbuh 12,14 Persen
Sejalan dengan hal tersebut, sejumlah industri seperti TPT, petrokimia, semen, dan pupuk, dan berbagai manufaktur lainnya juga mulai mengganti sumber energinya ke batubara. Termasuk juga PT PLN (Persero) banyak membangun PLTU yang energi primernya adalah batubara. Dengan tingginya penggunaan batubara, maka faba yang tidak termanfaatkan, akan menumpuk menjadi berbentuk gunung.
BACA JUGA: Iwan Fals Ikut Komentari Kasus Ikan Asin, Hahaha
Sementara itu banyak pembangunan infrastruktur yang dapat memanfaatkan Faba sebagai bahan dasar atau campuran, untuk pembangunan jalan dan sebagainya.
“Itu sebabnya, apabila ada arahan, nantinya Kementerian Perindustrian akan berinisiatif mengajukan Peraturan Presiden yang dapat mengakomodasi kepentingan pihak industri. Diharapkan Menteri Koordinator Perekonomian ataupun Menteri Koordinator Maritim dapat mewadahi menteri-menteri terkait. Dengan demikian tujuan pengendalian polusi udara tetap terjaga, tetapi di sisi lain faba juga dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat,” papar Teddy.
Di sisi lain, munculnya berbagai pemberitaan yang menyebutkan posisi Indonesia, khususnya DKI Jakarta, tingkat polusinya cukup tinggi, menjadi peluang bagi industri memanfaatkan berbagai sumber energi, di luar fosil dan batubara, yakni energi baru dan terbarukan (EBT).
Sebab disinyalir salah satu penyebab buruknya kualitas udara di Jakarta, adalah berasal dari asap kendaraan bermotor, serta pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat di Jakarta dan sekitarnya.
Executive Vice President (EVP) Corporate Communication PT PLN (Persero) I Made Suprateka menanggapi soal polusi tersebut, bahwa bukan PLTU yang menjadi salah satu pencemar buruknya kualitas udara di DKI Jakarta akhir-akhir ini.
Mengingat lokasi PLTU dan PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok terletak di bagian utara Jakarta. Demikian pula PLTU Batu Bara Lontar ada di Provinsi Banten.
Perihal radius sebaran dampak emisi PLTU batubara SOX atau NOX terjauh adalah 30 km, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batu Bara Lontar Banten, yang jaraknya 70 km dari pusat kota Jakarta.
Saat ini menurut Made, sejumlah PLTU yang pembangunannya dilakukan baik oleh PT PLN (Persero) ataupun oleh para perusahaan sebagai IPP (Independent Power Producer), kebanyakan sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, di mana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan, sehingga dapat dicegah penyebarannya.
Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim (hanya 2%) dari produksi energi batubara dari operasional PLTU. Dari batubara yang dikonsumsi, maksimal hanya 20% yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sementara dari 20% PLTU tersebut, hanya 2% yang berpotensi menghasilkan polusi.
“Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Hal tersebut dapat disaksikan juga pada Shanghai Energy Power Plant, di mana pembangkit listrik di Shanghai tersebut, tingkat kebersihannya setara atau sama dengan rumah sakit. Ada pun suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT,” jelas Made. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Batu Bara Pegang Kendali Pertumbuhan Ekonomi
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad