jpnn.com - Kamis (31/5), film Lima yang diproduseri Lola Amaria resmi rilis di bioskop. Sebelum tayang, film tersebut menuai kontroversi karena diberi rating 17+ oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Artinya, hanya boleh ditonton mereka yang berusia 17 tahun atau lebih. Padahal, isinya mempromosikan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Kini, Lola yang juga menjadi sutradara bersama empat sineas lain berharap ada langkah dari masyarakat dan pemerintah. Berikut obrolan Jawa Pos dengan sutradara 40 tahun itu.
BACA JUGA: Lola Amaria Apresiasi Antusiasme Penonton Film Lima
Ketika pertama kali membuat film, siapa yang mau disasar?
Saya inginnya untuk semua umur. Sebab, konsep film sudah kami matangkan dengan detail agar aman dan relevan untuk memberikan pendidikan tentang toleransi dan nilai-nilai Pancasila.
BACA JUGA: Soal Kontroversi Film Lima, Lola Amaria: Semoga Balik Modal
Riset apa saja yang dilakukan?
BACA JUGA: Dorong Sineas Indonesia Perbanyak Film Bertema Pancasila
Kami total melakukan observasi, diskusi, dan wawancara. Kami berdiskusi dengan tokoh agama, pengamat, ahli hukum, akademisi, psikolog, dan pakar pendidikan supaya isi film terjaga dan sesuai dengan realitas serta nilai-nilai Pancasila. Kami juga melakukan preview tertutup dengan mengundang perwakilan elemen-elemen masyarakat yang relevan dengan konten film.
Bagaimana setelah diberi rating 17+ oleh LSF?
Saya awalnya kaget. Menurut saya, pendidikan toleransi dan nilai-nilai positif harus dilakukan sejak dini. Kalau hanya untuk 17 tahun ke atas, mereka yang berusia kurang dari 17 tahun tentu tidak mendapat pendidikan itu. Dari hasil survei dan preview tertutup, para peserta menilai konten film ini aman dan mudah dicerna oleh mereka yang berusia di bawah 17 tahun lho.
Langkah apa saja yang sudah dilakukan?
Kami sempat mediasi dua kali antara saya sebagai pembuat film, LSF, pengamat, dan para pakar supaya kategori bisa diubah. Bahkan, ada salah seorang kiai peserta preview tertutup yang keberatan dengan kategori 17+. Dia berpendapat bahwa Lima bisa mendidik santrinya agar bisa bersikap toleran dan anti radikalisme.
Apakah berhasil?
Sayangnya tidak. Pihak LSF menawarkan solusi bisa diturunkan ke 13 tahun ke atas, dengan catatan ada pemotongan di bagian film tentang sila pertama. Saya tentu tidak mau. Sebab, film bisa kehilangan esensi, terlebih tentang toleransi. Saya ingin pesan film tersampaikan secara utuh. Ya akhirnya tetap tak dipotong dan kategorinya 17 tahun ke atas.
Apa rencana selanjutnya?
Sekarang, saya benar-benar berharap masyarakat bisa menekan supaya pemerintah menjadikan Lima sebagai tontonan wajib. Misalnya, mendiknas atau bahkan presiden. Dulu pemerintah Indonesia kan bisa menjadikan film Pengkhianatan G 30 S/PKI sebagai film wajib walaupun penuh adegan kekerasan? Untuk film yang kontennya sangat mendidik, saya rasa Lima perlu jadi tontonan wajib.
Siapa lagi yang harus bergerak agar film bisa ditonton secara luas?
Saya juga ingin masyarakat menggalang dukungan dari berbagai lembaga pendidikan yang notabene sangat mendukung agar film ini bisa ditonton siswa-siswi sekolah. Pendidikan toleransi harus mendapat perhatian dari lembaga pendidikan karena sangat penting di kondisi zaman saat ini.
Bagaimana dengan media sosial?
Di fanpage Facebook Generasi Lima, kami sudah mendapat dukungan dari berbagai komunitas yang concern pada pendidikan toleransi dan nilai-nilai Pancasila. Sampai 28 Mei lalu, ada sekitar 300 petisi yang meminta agar film ini menjadi tontonan segala usia. (len/c18/na)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prisia Nasution: Kenapa Takut Bicarakan Ideologi Negara?
Redaktur & Reporter : Adil