Lolongan Mistis Jasad Ricky dari Balik Reruntuhan

Kamis, 19 November 2009 – 06:41 WIB

Ada banyak kisah menyentuh tentang para korban gempa di kawasan Gunung Tigo, Kabupaten Padang PariamanEnam potongan kisah berikut ini didapat wartawan Jawa Pos Nany Wijaya dalam dua perjalanannya ke bukit yang longsor dan mengubur hidup-hidup ratusan warga daerah itu.


Jarak antara tempat saya bertemu kembali dengan bidan Wirda sampai ke reruntuhan rumah Bu Nur, sebenarnya cukup jauh

BACA JUGA: Kesedihan Bidan yang Kehilangan Empat Pasien Hamil

Tetapi, karena medan yang dilalui sudah relatif baik, meski belum normal, panjangnya jarak dan teriknya matahari tak terlalu terasa
Berbeda sekali dengan hari ketujuh pascagempa.

Dengan begitu, saya bisa lebih "menikmati" perjalanan karena tak perlu buru-buru

BACA JUGA: Bangun Sekolah Tahan Gempa Sekaligus Rescue Center

Bisa menengok ke kiri dan ke kanan, sembari mengingat-ingat apa dan siapa saja yang pernah saya temui di perjalanan pertama dulu.Sementara otak saya merangkai puing-puing kenangan yang belum sempat saya tulis itu, tiba-tiba mata saya tertambat pada sebuah pagar besi bercat pink (lagi-lagi) yang masih tegak, walau sudah tak utuh lagi.

"Bukankah itu rumah keluarga Ira, yang ibu dan pamannya terbawa longsor berikut rumahnya" tanya saya kepada Iyut yang berjalan di samping saya.Dengan penuh semangat reporter Padangtv itu mengangguk
Kemudian, tanpa dikomando, kami berdua bergegas ke tempat itu

BACA JUGA: Mud Max Lapindo, Dokumenter atau Propaganda?

Secuil teras depan yang masih tersisa di pinggir jurang masih adaPotongan tiang-tiang penyangga kanopi teras masih berserakanDi salah satu sudut terlihat beberapa potong baju dan kebaya yang dibiarkan teronggokDulu, pada hari ketujuh pascagempa, baju-baju itu tidak adaBegitu pula rumah kayu di balik pagar yang tinggal secuil ituTetapi kini, rumah itu utuh kembaliSepertinya diperbaiki dengan kayu-kayu sisa reruntuhan bangunan.

Di sepanjang jalan dari Korong Patamuan sampai Korong Koto Tinggi, Kecamatan V-Koto Timur, Padang Pariaman, banyak penduduk yang membangun kembali rumahnya dari kayu-kayu bekas reruntuhanIni mereka lakukan sejak hari keempat pascagempaYakni, setelah trauma, duka, dan rasa takut mulai mereda.

Ini bukan karena tinggal di rumah "meski tambal sulam dan serbadarurat" lebih nikmat daripada tinggal di tenda, meski bagus dan mewah (seperti sumbangan Rotary Club)Tetapi, karena inilah salah satu sifat baik orang-orang MinangMereka ingin segera bangkit dan berkaryaTak betah berdiam diri berlama-lamaDan, inilah sebabnya, mengapa roda kehidupan di daerah-daerah di Sumatera Barat yang dihajar gempa bisa segera pulih

Sambil berdiri di sisa teras yang kini posisinya di bibir jurang, saya mencoba mengingat IraWanita muda yang sepanjang siang hari ketujuh pascagempa dulu, menangis di situSementara calon suaminya turun ke dasar jurang dengan berpegang pada potongan kabel listrik, yang diikatkan di potongan tiang rumah.
 
Di bawah sana, dengan ditemani seorang saudara Ira, pada hari ketujuh itu, lelaki muda tersebut mengais-ngais timbunan tanah sisa longsor untuk mencari jasad calon ibu mertuanya"Ada jenazah yang bisa ditemukan" tanya saya kepada seorang lelaki yang sedang melepas lelah di depan rumah darurat di samping potongan pagar itu.Dengan ekspresi wajah yang mendadak berkabut, sedih, dia menggelengMelihat wajah itu, saya dan Iyut yakin bahwa dia pasti anggota keluarga Ira

Ternyata benarDia adalah kakak ipar IraNamanya UlahKepada kami, dia menceritakan bagaimana ibu mertua dan paman istrinya ikut terkubur longsor"Mereka sedang santai di lantai atasDi sini dulu kan kami membangun dua rumah, berdampinganTiba-tiba terdengar suara gemuruhRumah kami seperti diseret ke bawah sana dengan cepatJadi, tak sempat lagi kami menolong," tuturnya dalam bahasa daerah Padang Pariaman, yang bercampur bahasa Indonesia.

Lantas di mana Ira" "Sudah menikahSekarang tinggal dengan suaminya di Padang," jelasnya.Sebelum meninggalkan lokasi itu, sekali lagi saya berdiri di pinggir jurang yang menelan keluarga IraMencoba mengingat lagi, saat-saat ketika suami Ira mengais-ngais tanah mencari jasad calon mertuanya.

Dari jurang yang jauhnya sekitar 1 kilometer itu, lelaki tersebut berteriak minta dikirim cangkulMendengar permintaan yang hanya sayup-sayup, tentu Ira bingungBagaimana mengantarkannya" Dia cuma seorang perempuanOrang lain yang ada di sekitarnya juga perempuan, termasuk saya dan IyutSatu-satunya lelaki di situ adalah Zainul, remaja berumur 17 tahun yang berjalan menemani kami sejak di tengah perjalanan

Zainul ini anak muda yang bernasib cukup baikDia bersama Johny, anak Bu Nur yang saya ceritakan kemarin, tergerus longsoran bukit sampai sejauh 1 kilometerKetika gempa terjadi, dia sedang berbincang dengan JohnyBegitu bumi yang diinjaknya bergetar kencang, dia lari ke tengah jalanSama sekali tak disangkanya, kalau jalan yang dia injak justru yang akan meluncur dan menggulungnya sampai ke dasar jurang

Setelah terseret dan nyaris terkubur lebih dari tiga jam, dengan merangkak ke atas, dia berhasil menyelamatkan diriDia sendiri tidak tahu, refleks apa yang membuatnya berupaya sendiri untuk kembali ke atas"Mungkin Allah menghendaki saya selamat," ujar remaja yang sehari-hari (sebelum gempa) tinggal di pesantren ituPengalaman itulah, yang membuatnya segera merespons permintaan suami IraDengan sigap diambilnya cangkul yang ada di dekat Ira berdiriDengan satu tangan bergelayut di kabel listrik tadi, dia meluncur ke bawahSesaat kemudian, dia naik lagi dan melanjutkan perjalanan bersama kami sampai ke rumah Bu Nur.

Begitu turun dari rumah Ulah, kami melihat mobil kami di seberang jalanDengan demikian, kami bisa melanjutkan sisa perjalanan sambil naik mobilLumayan, menghemat kulit.Belum lama mobil melaju, saya melihat sebuah surau yang hampir robohSaya minta berhenti untuk memotretSaya tertarik untuk memotret karena halaman surau itu adalah lapangan voli

Ketika memotret, mata saya menangkap seorang lelaki kurus, lelah, kuyu, tak punya ekspresi, duduk sendirian di bangku kayu di samping masjidDi sampingnya ada sebuah tas kresek hitam, yang tampaknya berisi pakaian yang cuma sepotong.Karena saya tak yakin dia bisa berbahasa Indonesia, saya minta Iyut menyapanyaHehe.Iyut pun agak gelagapan karena pak tua itu lebih banyak menggunakan bahasa daerah Padang Pariaman yang kentalKami pun harus minta bantuan Sukri Umar, Pimred Pos Metro Padang yang memang asli Padang Pariaman.

Dari ceritanya kepada Sukri kami tahu bahwa pak tua itu bernama Amrullah dan memang malang nasibnyaDia punya dua anakYang sulung tinggal di Korong Teluk Bayur, Padang Pariaman jugaSi bungsu, Ricky Cardo, 21, tinggal dengan diaIstrinya sudah lama meninggalSore itu Ricky santai di halaman rumahTepatnya di kaki parabolanyaTiba-tiba gempa datang dan langsung menggulung Ricky berikut rumah dan parabolanyaSampai sebulan, tak ada yang menemukan jasad Ricky.

Tetapi, seminggu sebelum saya datang, beredar kisah tentang adanya hantu di bekas rumah AmrullahHantu itu menyerupai RickyHantu itu mengetuk-ngetuk potongan pintu rumah Amrullah.Pada saat yang sama, seorang pemuka agama di kampung itu mimpi didatangi RickyBersamaan dengan itu, kakak dan sahabat Ricky juga mimpi yang samaBahkan, dalam mimpi itu, si sahabat merasa seakan Ricky minta agar ditolongCerita yang terkesan mistis itu menjadi semakin seru ketika seorang relawan dari Laskar Merah Putih yang baru tiba di daerah itu mendengar suara lolongan minta tolong dari reruntuhan rumah Amrullah.
 
Warga rupanya tidak suka dengan cerita mistik seperti ituRelawan itu pun lantas dituduh menyebarkan fitnahUntung si sahabat segera bertindakDengan membawa anjing peliharaannya, dia datangi lagi reruntuhan rumah AmrullahYang mengejutkan, anjing itu menemukan rahang manusiaKarena ketakutan dan tak punya alat untuk menggali, sahabat Ricky itu menghubungi relawan Laskar Merah Putih yang poskonya tak jauh dari situ.

Belum dalam menggali, relawan menemukan sepotong tubuh yang masih berpakaianPinggangnya hampir putus dan satu kakinya hilangItulah memang jasad RickyYang juga mengejutkan, posisi jasadnya ternyata sama persis dengan apa yang dilihat dan diimpikan kakaknyaKepada Amrullah, kami berikan sedikit uangDengan dua tangan gemetar, dia terima uang ituKemudian, sambil mengucap syukur dengan bibir bergetar dan air mata berlinang, uang itu diangkat ke kepalanya"Sudah dua hari saya tidak makan, tidak minumTidak ada bantuan lewat," keluhnya.

Kami lantas melanjutkan perjalanan, tetapi tak jauh karena mendung semakin tebalKami khawatir ada longsor susulan meski warga sudah meyakinkan tak akan ada longsorAlasan warga, sudah beberapa kali hujan turun walau tidak deras.Dalam perjalanan pulang, kami bertemu segerombol lelaki yang mengeraskan jalan dengan reruntuhan bangunan bertembok.
 
?Ini kerja suka relaTidak ada yang membayar kamiDaripada nganggur, karena memang belum ada yang dikerjakan, ya kami mengeraskan jalanLumayan, bisa dilalui mobilKalau tidak ada mobil lewat, kami tidak bisa jualan kelapa ke kota," kata Basuardi, salah seorang dari mereka.

Dari lelaki berumur 38 tahun inilah saya tahu betapa berartinya bantuan yang kami kirimkan dengan helikopter kepada bidan Wirda dulu"Kami ini tinggal di dekat bu bidan," tambah teman Basuardi.Perjalanan turun tak saya sia-siakanSaya nikmati betul pemandangan di kanan kiri jalan yang masih hancur ituTermasuk jurang-jurang baru dan perbukitan yang sudah bopeng-bopeng akibat longsorJauh di sebelah kiri saya terlihat beberapa atap rumah yang terletak di bibir jurangSaya ingat, di situ dulu ada perhelatan yang urung karena sebagian tamu dan orang-orang yang sedang menyiapkan pesta tewas digulung longsor.

Calon pengantinnya sendiri selamatBegitu pula Misna, kakak si pengantin perempuan dan bayinya, Ronald, yang baru berumur delapan bulanDia sempat terseret longsor hingga beratus-ratus meter dan terkubur hingga sebatas bawah hidung selama sembilan jam"Alhamdulillah, kami berdua bisa diselamatkanTetapi, memang sudah agak tengah malam ketika kami ditolong," kenangnya ketika bertemu saya di dekat reruntuhan rumah adiknya, pada hari ketujuh pascagempa.

Hari itu dia sengaja datang kembali ke reruntuhan rumah ituUntuk apa? "Saya mau mengambil TV di rumah ituMasih utuhJuga beberapa barang lain yang masih utuh," katanya.Mungkin barang-barang itu memang sangat berarti bagi wanita berumur 43 tahun ini, sehingga dia merasa perlu mengambilnyaPadahal, untuk mencapai rumah itu lagi, kita harus berjalan di atara reruntuhan rumah tetangganya, yang sewaktu-waktu bisa ambrol dan meluncur ke jurang.

Sampai hari ketujuh itu, tenda kuning merah yang sedianya untuk perhelatan masih tegak berdiriTapi, posisinya sudah benar-benar di bibir jurangTetapi, ketika saya melawati lagi daerah itu, tendanya sudah tak terlihatYang ada hanya reruntuhan rumahnyaSebelum benar-benar sampai di bawah, kami bertemu seorang bapakDengan sepeda motor bebeknya yang sudah rusak di sana-sini, dia duduk merenung di pinggir jurang

?Anak perempuan saya nyaris mati di situ, BuDia sudah tergulung longsorYa, dengan sepeda motor iniUntung dia tersangkut batang kelapa, sehingga tak sampai terkuburDia sekarang ada di rumahRumah kami di atas sanaMau ke sana" Mari saya antar," ajaknyaRintik hujan mulai turunKami benar-benar harus kembali ke PadangKalau toh harus hujan, semoga tak terlalu lebatAgar tak ada longsor susulan yang menimpa Gunung Tigo dan sekitarnyaSudah terlalu banyak yang kehilangan anggota keluarga karena terkubur hidup-hidup(leak)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Silakan Pilih, Haji Maktab atau Haji Balad


Redaktur : Auri Jaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler