Maaf Ya, Menteri dan Kepala Dinas Sama Saja

Selasa, 17 Mei 2011 – 17:20 WIB
Sulistyo. Foto: Net

SEJUMLAH kabupaten/kota meraih angka kelulusan peserta Ujian Nasional (UN) SMA/MA sebesar 100 persenSecara nasional, angkanya pun cukup fantastis, yakni 99,22 persen

BACA JUGA: Saya Tahu, Tapi Tak Bisa Mengatakan

Apakah angka ini menggambarkan membaiknya mutu pendidikan di tanah air? "Tidak," begitu jawaban Prof Dr Sulistyo.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu bahkan mengaku tidak kaget dengan tingginya angka persentase kelulusan UN tahun ini
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jateng itu pun menanggapi dingin tingkat kelulusan di sejumlah kabupaten/kota yang mencapai 100 persen.

Dia juga menyoroti amburadulnya pengurusan sertifikasi guru

BACA JUGA: Saya Masih Waras

Kooptasi kepentingan politik oleh penguasa di tingkat lokal, dianggapnya biang masalah
Berikut wawancara wartawan JPNN, Soetomo Samsu, dengan Sulistyo di Jakarta, Selasa (17/5).

Gegap gempita siswa merayakan angka kelulusan yang cukup tinggi terjadi di banyak daerah

BACA JUGA: Menpora Malah Ciptakan Masalah

Tanggapan Anda?
Saya menilai, masih saja ada anggapan bahwa keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari tingginya angka kelulusan atau nilai Ujian NasionalIni membahayakan.Buat apa nilai sembilan atau 10 jika anak-anak tidak bisa mengatasi hidup dengan nilai-nilai dasar.

Maksud Anda?
Selama ini sudah terbangun persepsi bahwa tingkat kelulusan UN merupakan parameter keberhasilan pendidikanDengan adanya anggapan ini, maka mulai dari siswa, orang tua, guru, pihak sekolah, dan termasuk bupati/walikota, akan berlomba-lomba mengejar angka kelulusan yang tinggiBupati/walikota akan mengukur prestasinya berdasar hasil UN

Dampaknya, anak-anak akan berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan cara-cara yang menyuburkan benih-benih koruptif, manipulatif, tak sportif, tidak bertanggung jawabDan bupati/walikota berupaya membangun pencitraan dengan angka kelulusan yang tinggiJadi semata untuk prestasi instan selama lima tahun berkuasa, bukan untuk berpikir jangka panjangMenteri dan kepala dinas pendidikan juga seperti itu.

Lantas, aspek mana yang harus segera dibenahi?
Mestinya pemerintah cepat instrospeksi, membuat indikator yang jelas mengenai keberhasilan pendidikanJangan keberhasilan pendidikan semata dilihat dari hasil UNKami sedang melakukan penelitian, apakah kriteria kelulusan dengan sistem baru (gabungan nilai UN dengan nilai ujian sekolah) sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikanKalau gegap gempita merayakan kelulusan, tentu itu bukan pertanda kualitas membaik.

Saya kira harus ada pembenahan komprehensif, termasuk memperbaiki sikap mentalIni sulit diharapkan bisa dilakukan kabupaten/kota, karena bupati/walikota merupakan produk politik, yang tidak bisa menghargai sistem pendidikan untuk jangka panjangMereka (bupati/walikota) hanya berpikir lima tahun, mengejar prestasi instan, hanya lima tahun selama berkuasaSulit diharapkan bisa meraih mutu pendidikan yang baikMereka hanya mengejar prestasi instan, sekedar untuk pencitraan.

Apa tidak bisa berharap dari para guru, untuk menghindari politisasi di tingkat lokal?
Bukan hanya guru, tapi juga pengawas sekolah dan kepala sekolah, harus dibudayakan sikap membentuk peserta didik yang punya kemampuan membangun masa depanBukan semata membangun kemampuan siswa menyelesaikan soal Ujian NasionalSaya berpikir, mengapa korupsi masih saja subur, ya karena dampak dari pendidikan yang hanya mengejar nilai ujian yang tinggiPerubahan sikap mental harus dimulai dari guru dan kepala sekolah, serta pengawasIni perlu kerja keras jangka panjang, yang tidak cocok diserahkan kepada penguasa politik lima tahunan.

Maaf ya, menteri dan kepala dinas juga sama sajaMereka tak pernah berpikir setelah lima tahun bagaimanaYang penting selama lima tahun kekuasaan itu nyamanDi daerah sangat parah, apalagi jika incumbent maju lagi di pemilukada

Bagaimana perhatian pemerintah untuk peningkatan mutu guru?
Bicara guru, sungguh saya prihatinTerus terang saya tidak melihat adanya keseriusanUntuk sertifikasi guru misalnya, juga tak terlalu menggembirakanKuota belum terpenuhi, penentuan urutan juga belum bagusGuru-guru yang sudah tua malah belum diajukan, yang muda malah duluan diajukan.

Berarti sumber masalah di daerah?
Ya, kabupaten/kota yang punya kewenangan untuk menetapkan, tapi tidak sesuai dengan azas keadilanTunjangan profesi selama lima bulan juga belum dibayar, untuk 2011 ini.

Untuk usulan sertifikasi guru, ini kasuistis terjadi di beberapa daerah saja, atau merata?
Hampir merataAmbil contoh di Jawa TimurPenetapan sudah terpenuhi kuotanya, tapi saya dapat info beberapa guru tua tidak masuk kuotaJawa Tengah juga belum terpenuhi kuotanya dan guru-guru dengan masa kerja tua tidak dimasukkanGuru agama, di bawah kementrian agama, tambah rumit lagi.

Langkah apa yang sudah dilakukan PGRI?
Kami sudah kirim surat ke daerahTapi kabupaten/kota malah bilang, itu kewenangan pusatPadahal itu kewenangan daerah untuk mengusulkanKalau sudah tidak kooperatif seperti itu, kami hanya bisa menggerutu.

Sekedar itu?
Kalau demo, nanti dibilang kita gemar demoTapai kalau tak demo juga tak didengarKami melarang guru-guru untuk demo, kecuali sangat terpaksaKalau penetapan sertifikasi berbau KKN, ya kami gak bisa larang (guru menggelar aksi demo, red).

Anda juga duduk di DPD, bukankah bisa dijadikan jalur perjuangan?
Teman-teman di DPD terus memperjuangkanTapi pernah ada rapat kerja, ada keputusan, menterinya tak mau menekenSetelah beberapa bulan, setelah diperbaiki, baru mau teken.

Keputusan raker mengenai apa?
Ah...tidak perlu saya sebutkanAda lahToh wawancara juga belum tentu dimuat(sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yakinlah, Sepakbola Nasional Pasti Lebih Baik Tanpa Nurdin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler