MAKI Lawan Kabareskrim dan Jaksa Agung

Senin, 17 September 2018 – 10:53 WIB
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. Foto: Hendra Eka/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan gugatan praperadilan melawan Kepala Bareskrim Polri dan jaksa agung. Gugatan dilayangkan karena berlarut-larutnya penuntasan perkara dugaan korupsi kondensat TPPI-SKK Migas.

"MAKI telah mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register perkara nomor 19/Pin.Prap/2018/PN. Jkt. Pst," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Senin (17/9).

BACA JUGA: KPK Harus Jerat Nama Lain di Vonis Budi Mulya

Boyamin menjelaskan materi gugatannya adalah termohon I kabareksrim dan termohon II jaksa agung, telah menangani perkara korupsi dan pencucian uang dalam penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).

Bareskrim menetapkan Raden Priyono dan Djoko Harsono sebagai tersangka. Berdasar kronologi perkara korupsi a quo, kata Boyamin, pada 2009 SKK Migas menunjuk langsung penjualan kondensat bagian negara kepada TPPI.

BACA JUGA: MAKI Laporkan Ketua MA ke KY, Begini Alasannya

Proses tersebut tidak sesuai aturan keputusan BP Migas Nomor: KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara.

Kemudian, Keputusan Kepala BP Migas Nomor: KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara sehingga melanggar ketentuan Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi dan atau Pasal 3 dan Pasal 6 UU Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003.

BACA JUGA: MA Pindahkan Hakim Praperadilan Kasus Century ke Jambi

Dia menambahkan berdasar hasil perhitungan kerugian negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui kerugian negara USD 2,7 miliar atau setara Rp 38 triliun.

Menurut dia, dugaan korupsi perkara a quo telah memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagaimana dirumuskan tindak pidana korupsi dan TPPU. Serta telah memenuhi kecukupan alat bukti yaitu sudah terdapat minimal dua alat bukti. Berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh termohon II.

Namun, sampai saat ini belum dilakukan penyerahan tahap II (tersangka dan barang bukti) dari termohon I kepada termohon II. "Sehingga keduanya tidak mampu menuntaskan penanganannya dan justru saling melempar tanggung jawab," katanya.

Dalam penanganan kasus, kata dia, penyidik Bareskrim menyatukan berkas tersangka Raden dan Djoko. Berkas sudah dinyatakan lengkap oleh termohon II. Namun, saat termohon I akan melakukan penyerahan tahap II (tersangka dan barang bukti) Raden Priyono dan Djoko, termohon II menolak.

Alasannya karena tidak bersamaan dengan tersangka Honggo Wendratno yang berkasnya terpisah. "Alasan termohon II jelas mengada-ada, tidak bisa diterima oleh hukum dan undang-undang mana pun," kata dia.

Bahwa termohon I telah melakukan kegiatan memanggil tersangka Raden dan Djoko untuk dilakukan penyerahan tahap II. "Namun, ditolak termohon II sehingga tersangka Raden dan Djoko disuruh pulang. Hal ini sungguh ironis dan pelanggaran HAM," ujarnya.

Boyamin mengatakan, termohon I tidak melakukan kegiatan penyerahan tahap II kepada jaksa. Termohon I tidak cukup mengirim surat akan melakukan penyerahan tahap II, namun tidak disertai tindakan nyata membawa tersangka dan barang bukti dibawa ke kantor termohon II.

"Dengan demikian termohon I telah melakukan penghentian penyidikan materil dan secara diam–diam, karena dengan jelas termohon I dan termohon II telah melanggar pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP," katanya.

Pasal 8 ayat 3 huruf b berbunyi, dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
?
Menurut Boyamin, termohon II telah melakukan tindakan menghalang-halangi termohon I dengan cara hingga saat ini tidak menjawab surat penyerahan tahap II yang dikirimkan termohon I. "Sehingga dapat dikualifikasikan telah melakukan turut serta atau menyuruh melakukan penghentian penyidikan secara materil," jelasnya.

Boyamin mengatakan para termohon dalam menangani perkara dugaan korupsi a quo tidak menjalankan amanat peraturan internal yang semestinya mengikat. Misalnya, Peraturan Kapolri untuk termohon I , serta Peraturan Jaksa Agung untuk termohon II.

"Di mana di dalamnya mengatur termohon II untuk menagih termohon I untuk melakukan penyerahan tahap II jika perkara telah dinyatakan lengkap (P21)," ujarnya.

Boyamin melanjutkan, karena termohon telah menghentikan penyidikan perkara a quo secara tidak sah dan melawan hukum, maka harus dihukum untuk melanjutkan pelimpahan tahap II kepada termohon II.

"Karena termohon II telah turut serta atau menyuruh menghentikan penyidikan perkara a quo secara tidak sah dan melawan hukum, maka termohon II harus dihukum untuk menerima penyerahan tahap II dalam hal ini tersangka dan barang bukti," pungkas Boyamin. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Reaksi Yasonna soal PN Jaksel Perintahkan KPK Jerat Boediono


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler