Manajemen Sumber Daya Air Perlu Pembenahan

Kamis, 08 November 2018 – 20:40 WIB
Warga antre air bersih. Foto: JPG/Pojokpitu

jpnn.com, JAKARTA - Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun dan Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) menyelenggarakan diskusi pakar dengan tema Peranan Regulasi Dalam Hak Air Atas Tanah di Indonesia.

Beberapa figur hadir dalam acara itu. Di antaranya, peneliti CRPG Mova Alafghani, ekonom Unversitas Indonesia Faisal Basri, Fani Wedahuditama dari Global Water Partnership South East Asia, serta Gunawan Wibisono dari Universitas Muhamadiyah Malang.

BACA JUGA: Penyusunan RUU SDA Harus Melibatkan Semua Stakeholder

Selain itu, hadir juga Pamantauan Direktorat Bina Penatagunaan Sumber Daya Air Sigid Hanandaja serta  Direktur Pengembangan SPAM Dirjen Cipta Karya Agus Ahyar dan Staf Khusus Wakil Presiden Togar Arifin Silaban.

Sebagaimana diketahui, saat ini DPR tengah membahas RUU Sumber Daya Air (SDA) sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia dan memberlakukan kembali Undang-Undang No 11 tahun 1974 tentang Pengairan.

BACA JUGA: RUU SDA Sebaiknya Difokuskan Membuat PDAM Lebih Sehat

Pemberlakuan kembali UU No. 11/1974  dalam praktiknya belum dapat menjawab seluruh persoalan kekinian tentang pengelolaan, khususnya tentang pengusahaan air.

Fani Wedahuditama dari Global Water Partnership South Eas Asia menilai draft Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) belum menjamin hak asasi manusia atas air seperti sanitasi dan akses terhadap air bersih.

BACA JUGA: SPAM dan AMDK Harus Dibahas dalam Bab Terpisah di RUU SDA

Saat ini, sebanyak 70 juta jiwa penduduk belum memiliki akses kepada layanan sanitasi layak.

Sementara itu, berdasarkan data JMP pada 2017, sebanyak 30 juta orang Indonesia masih buang air sembarangan (BABS).

Dia menambahkan, draft RUU SDA juga belum cukup mengakomodasi penyediaan air minum berbasis masyarakat.

Sampai saat ini tercatat sekitar 12.254  sistem air berbasis masyarakat yang dibangun lewat program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) melayani sekitar 15,6 juta penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi dan 365 kabupaten.

Tahun 2020 direncanakan terbangun 20.000 SPAM dengan target 22,1 juta jiwa terlayani air minum yang aman.

Perhitungan tersebut di luar SPAM yang dibangun di luar proyek Pamsimas. Dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa sistem berbasis masyarakat diproyeksikan untuk melayani sampai 60 persen penduduk Indonesia dan sisanya akan terlayani melalui sistem perpipaan PDAM.

Isu lain yang juga banyak mendapat sorotan masyarakat adalah pasal 63 dalam draf RUU (versi April 2018) tentang kewajiban masyarakat dalam menggunakan sumber daya air, khususnya huruf F

Peneliti CRPG Mova Alafghani mengatakan, pasal 63 f dan penjelasannya multitafsir, khususnya pengertian sekitar sumber air.

“Artinya, tidak ada batasan jarak yang jelas siapa saja yang boleh mengakses dan yang tidak. Ketidakpastian ini dapat menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya,” kata Mova, Kamis (8/11).

Menurut Mova, pemberian akses atas sumber air yang berada di tanah yang dikuasai oleh masyarakat berpotensi membahayakan pengguna sumber air, membahayakan pengguna air minum, tidak sesuai dengan konsep water safety plan (WSP), mengacaukan sistem perizinan, melanggar hak atas air dan memicu konflik.

Karena itu, sambung Mova, ketentuan tentang air perpipaan dan sanitasi di dalam RUU SDA seharusnya dibuat lebih detail.

Caranya dengan mempertimbangkan target pemerintah 100 persen akses air minum dan nol persen BABS pada 2019 yang memerlukan aturan memadai.

Hal lain yang yang dianggap perlu penyempurnaan antara lain definisi air minum yang masih menyatukan antara air minum perpipaan (SPAM) sebagaimana terdapat pada penjelasan pasal 51.

Ekonom UI Faisal Basri mengatakan, industri AMDK hanya menggunakan sebagian kecil dari ketersediaan air.

Menurut dia, yang harus dibenahi seharusnya manajemen sumber daya air, bukannya pembatasan melalui pengelolaan pemerintah (BUMN/ BUMD).

“Justru seharusnya BUMN menjalankan fungsi negara sebagai penyedia air bagi masyarakat. Namun, pencampuran definisi air pada RUU SDA ini malah memberi peluang bagi BUMN menjalankan fungsi korporate, yaitu berbisnis AMDK. Ini akan mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat,” jelas Faisal. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Faisal Basri: Kemiskinan di Indonesia Belum Terselesaikan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler