jpnn.com, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus dugaan suap Bupati Buton nonaktif Samsu Umar Abdul Samiun terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terus bergulir di Pengadilan Tipikor pada Rabu (16/8).
Sidang tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan saksi ahli, Maruarar Siahaan yang merupakan mantan hakim MK periode masa jabatan 2003-2008 dan saksi fakta, Ketua DPRD Kabupaten Buton, La Ode Rafiun.
BACA JUGA: Ahli: Ini Bukan Suap, tapi Penipuan
La Ode saat pilkada lalu merupakan ketua Tim Pemenangan pasangan Umar Samiun-La Bakry yang selama proses pilkada hingga selesai terus mendampingi sang bupati.
Kehadiran Rafiun dalam persidangan menjelaskan tentang proses jalannya Pilkada Buton, proses pengajuan gugatan di MK sampai pada proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) sesuai dengan keputusan MK.
BACA JUGA: Hanya Papasan di Hotel, Bantah Bahas Sengketa Pilkada
Keterangan Rafiun dalam persidangan tak lain menyangkut kapasitasnya sebagai ketua tim pemenangan pasangan dengan akronim Oemar-Bakry ini.
“Pilkada saya sebagai ketua tim sukses dan ketua partai PPRN. Saya ditunjuk oleh gabungan partai dan dipercayakan kepada kami sebagai ketua tim. Dalam Pilkada Buton pasangan Umar Samiun-La Bakry diusung tiga partai politik yakni, PPRN, PAN, PDK,” jelas Rafiun di hadapan majelis Hakim yang dipimpin Ibnu Basuki Widodo.
BACA JUGA: Saksi Ungkap Peran Advokat Paksa Umar Samiun
Dijelaskan, dalam proses pilkada yang digelar pada Agustus 2011 silam hasil perolehan suara yang diperoleh pasangan Oemar-Bakry hanya sebanyak 28 ribu lebih.
Sedangkan pasangan Agus Feisal Hidayat-Yaudu Salam Ajo sebanyak 38 ribu lebih dan menjadi pemenang dalam Pilkada.
“Hasil rekapitulasi perhitungan suara pada Pilkada pasangan Umar-Bakry 28 ribu lebih, Agus 38 ribu lebih. Jadi pemenangnya Agus yang pertama,” katanya.
Merasa ada kecurangan dalam proses pilkada, pasangan Umar-Bakry selanjutnya mengajukan gugatan ke MK dengan sejumlah bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Proses pengajuan gugatan tersebut karena pihak Umar-Bakry merasa pihak KPU Buton telah melakukan sejumlah pelanggaran.
“Setelah itu kami mengajukan gugatan ke MK dan saya saat itu yang mengumpulkan bukti. Keyakinan kami KPU tidak melakukan verifikasi, proses pelipatan suara sudah disiasati oleh KPU hingga ada kertas suara yang sudah tercoblos duluan. Kalau tidak ada kecurangan maka pasangan Oemar-Bakry bisa lebih unggul dalam Pilkada. Termasuk juga ada penggelembungan suara. Itulah dasar kami mengajukan gugatan ke MK,” paparnya.
Rafiun dalam kesempatan itu juga menjawab pertanyaan Penasehat Hukum Bupati Buton, Saleh terkait dengan adanya posko di Jakarta yang bertempat di Apartemen Juanda.
Di Posko tersebut, lanjut Rafiun merupakan tempat dikumpulnya para saksi yang berasal dari desa-desa dan kecamatan-kecamatan di Buton.
“Bukti-bukti yang akan kami bawa ke MK juga di kumpulkan di posko (apartemen Juanda, red). Kami juga kumpulkan bukti-bukti tentang calon independen. Misalkan nama saya dipakai satu calon, tapi setelah di cek ternyata ada juga calon lain yang menggunakan nama saya. Jadi kami berkesimpulan bahwa KPU memang tidak melakukan verifikasi,” urainya.
Pada puncaknya adalah proses putusan MK yang membuktikan dalam fakta persidangan memang ditemukan bukti-bukti yang dimaksud.
Alhasil, MK pun memutuskan untuk membatalkan keputusan KPU Buton, memerintahkan untuk melakukan PSU, memerintahkan kepada KPU untuk melakukan verifikasi terhadap calon independen dan partai politik.
Nah, setelah dilakukan verifikasi terhadap pasangan calon independen dan partai politik terbukti ada beberapa pasangan calon yang memang tidak memenuhi persyaratan untuk diloloskan menjadi calon bupati dan wakil bupati.
“Olehnya itu KPU Provinsi Sultra memecat ketua KPU Buton dan seluruh anggotanya. Dan selanjutnya menunjuk komisioner KPU yang baru untuk melakukan tahapan-tahapan verifikasi,” pungkasnya.
Selanjutnya, KPU kemudian melaksanakan perintah MK mengenai pelaksanaan PSU. Dalam proses PSU, perolehan suara pasangan Agus Feisal Hidayat-Yaudu Salam Ajo dan pasangan Oemar-Bakry mengalami kenaikan dari perolehan suara yang sebelumnya.
Namun, perolehan suara Umar-Bakry lebih unggul dibandikan perolehan suara pasangan Agus Feisal Hidayat-Yaudu Salam Ajo.
“Setelah proses PSU selesai kemudian dilaporkan ke MK, dan berdasarkan fakta persidangan kami yakin menang dalam perkara di MK. Dalam proses gugatan hingga pengambilan keputusan tidak pernah ada komunikasi-komunikasi yang dibangun antara Umar Samiun dengan pihak lain untuk mempengaruhi hasil karena memang kami sudah yakin menang,” pungkasnya.
Sementara itu, saksi ahli mantan Hakim MK, Maruarar Siahaan dihadirkan oleh Penasehat Hukum untuk menjelaskan mengenai proses beracara hingga proses pengambilan keputusan terhadap perkara gugatan Pilkada di MK.
“Di MK itu gugatan Pilkada banyak sekali yang masuk. Makanya dari sembilan hakim dibagi menjadi tiga panel dengan masing-masing tiga orang hakim. Perkara-perkara itulah yang dibagi kepada para hakim panel untuk ditangani,” kata Maruarar Siahaan.
Dalam proses pengambilan keputusan, hakim panel hanya menyajikan data-data dan rekomendasi yang kemudian dimusyawarahkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang terdiri dari sembilan hakim MK untuk proses pengambilan keputusan.
“Jadi tidak bisa hakim panel mengambil keputusan hanya memberikan rekomendasi saja, tapi juga menyajikan data-data yang kemudian dibahas dalam RPH. Nanti sembilan hakim memberikan suara untuk proses pengambilan keputusan,” jelasnya.
Lebih lanjut, dalam proses pengambilan keputusan, ketua Hakim Panel tidak mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan. Tetapi, kewenangan ketua Hakim Panel hanyalah sebagai moderator dalam memimpin persidangan.
“Semua hakim memiliki suara yang sama baik ketua panel maupun anggota. Panel hanya menyerahkan rekomendasi sesuai fakta-fakta untuk diserahkan ke RPH. Jadi tidak ada yang dominan. Dalam pengambilan keputusan etiknya tidak boleh satu hakim mempengaruhi hakim yang lain dan itu tidak akan pernah terjadi,” tegasnya.
Maruarar juga menjawab pertanyaan dari penasehat hukum terkait dengan hasil putusan dalam persidangan Akil Mochtar beberapa tahun silam mengenai Pilkada Buton.
Dalam putusan tersebut, menyatakan bahwa Umar Samiun diduga memberikan sejumlah uang untuk membatalkan permohonan pemohon.
Padahal, dalam kenyataannya, posisi Umar Samiun di MK adalah sebagai pemohon.
“Tidak pernah ada dalam alur perkara seorang pemohon berubah menjadi termohon meskipun ada putusan sela. Kalau jadi seperti itu bisa kacau karena akan banyak nomor nantinya. Tetap tidak ada berubah. Posisi masing-masing pihak harus tetap, pemohon dan termohon. Dan putusan MK final dan tidak bisa dirubah. Mengikat dalam tiga hal, punya kekuatan bukti, mengikat dan eksekutorial,” tutupnya.
Usai persidangan, Umar menjelaskan bahwa fakta dalam persidangan sudah mulai menemui titik terang.
Terlebih mengenai posisi termohon dan pemohon dimana dalam amar putusan sidang Akil Mochtar terkait Pilkada Buton menyebutkan bahwa dia memberikan sejumlah uang merubah keputusan hakim MK.
“Tadi sudah jelas keterangan dari ahli bahwa posisi seseorang tidak akan berubah dari pemohon menjadi termohon. Didalam amar putusan menyebutkan bahwa saya memberikan sejumlah uang untuk menolak permohonan pemohon. Nah, sementara posisi saya adalah sebagai pemohon. Jadi bagaimana mungkin saya memberikan uang untuk menolak permohonan saya sendiri,” pungkasnya. (rmo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terungkap Cerita Pertemuan Akil di Buton
Redaktur & Reporter : Natalia