jpnn.com, JAKARTA - Berbagai aksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang belakangan menuai kontroversi dinilai hal biasa, bukan manuver politik.
Pandangan ini disampaikan oleh sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk "Politik bukan Panglima" di Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu (7/10).
BACA JUGA: Bela Panglima Soal Senjata, Fadli: Itu Kelemahan Pemerintah
Sejumlah aksi Jenderal Gatot yang disorot adalah mengenai isu impor 5.000 senjata api oleh institusi nonmiliter yang mengatasnamakan Presiden Joko Widodo, hingga nonton bareng film G30S-PKI.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, dalam konteks politik bukan panglima. Harus dibedakan antara institusi militer TNI dengan pimpinannya. Sebab, secara lahiriah, lembaga pertahanan tersebut sudah tidak boleh lagi berpolitik.
BACA JUGA: Politikus PKS Curiga Ada Skenario Jokowi-Gatot
"Soal polemik senjata, itu menurut saya memang ranah dia," ujar Bobby.
Anggota DPR dari Fraksi PKS, M Nasir Djamil juga berpandangan serupa. Apa yang dilakukan Jenderal Gatot menurutnya masih dalam koridor meskipun ada yang menilainya politis.
Apalagi, katanya, dalam posisinya sebagai Panglima TNI, wajar setiap tindakannya disorot publik. Termasuk hadir dalam beberapa forum hingga mengomentari sejumlah fenomena politik.
BACA JUGA: Kalau Pengin Berpolitik, Panglima TNI Diminta Lepas Jabatan
"Apa yang dilakukan Jenderal Gatot bukan asing menurut saya, itu sebagai bahagian tanggung jawabnya sebagai warga negara, di samping prajurit dan panglima, dia tentu harus merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi di negeri ini,” ucar Nasir.
Dia mengingatkan bahwa ditinjau dari filosofinya, TNI lahir dari rahim rakyat. Sehingga ketika rakyat mengalami berbagai persoalan, hal itu harus direspons oleh Panglima TNI.
"Dan orang mempersepsikannya macam-macam. Dia buat pernyataan, itu kemudian dinilai orang Panglima berpolitik, saya tidak melihatnya seperti itu," tegas politikus asal Aceh ini.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gatot Nurmantyo Dicap Mau Membuat Drama Politik
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam