Mardiyanto Juga Nikmati Upah Pungut?

Selasa, 21 April 2009 – 17:47 WIB
DINAS - Mendagri Mardiyanto saat berkunjung ke Aceh Tenggara beberapa waktu lalu. Berdasarkan hasil terbaru audit BPK, sepanjang 2006-2008, upah pungut yang digunakan untuk Mendagri saja mencapai Rp 8,76 miliar, termasuk di antaranya Rp 2,8 miliar untuk perjalanan dinas. Foto: Arsip JPNN.
JAKARTA - Mendagri Mardiyanto dan keluarganya disebut menikmati uang upah pungutHal itu terungkap dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Penunjang Pembinaan (DPP) tahun 2001 hingga 2008 pada Departemen Dalam Negeri yang diserahkan BPK ke DPR, Selasa (21/4).

Audit BPK atas DPP yang lebih sering disebut dengan uang upah pungut itu dilakukan mulai 25 Juli hingga 1 September 2008, dengan penanggung jawab audit auditor BPK Memet Wirahadikusumah

BACA JUGA: Mubarok Tuding JK Tak Dukung Kerja SBY

BPK memaparkan, dasar upah pungut adalah UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No
34 Tahun 2000

BACA JUGA: Pengacara Kelompok Palembang Kecewa

Selain itu, dalam rangka pelaksanaan UU tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

Adapun rincian hasil audit antara lain penggunaan DPP yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp 81.879.334.064,00
Selain itu, terdapat penggunaan uang upah pungut sebesar Rp 57.655.411.524,00 untuk pemberian dana talangan dan di antaranya sebesar Rp 9.364.746.877,00 tidak dapat dikembalikan (macet).

Sedangkan upah pungut yang diterima oleh Depdagri selama periode tahun 2001 hingga Agustus 2008, menurut catatan Bendahara Pengelola upah pungut sebesar Rp 326,435 miliar, sementara uang yang telah digunakan sebesar Rp 255,99 miliar, dengan saldo terakhir (per 26 Agustus 2008) sebesar Rp 70,44 miliar.

Namun dari laporan yang disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution ke DPR itu, BPK ternyata tidak meyakini kebenaran jumlah tersebut

BACA JUGA: Divonis 5 Tahun Karena Bantu Kelompok Palembang

"Karena sistem pengendalian intern pengelolaan DPP sangat lemah seperti pencatatan dan pelaporan yang tidak tertib," tulis BPK dalam laporannya.

Selain itu, BPK juga menempatkan pengelolaan DPP dilakukan di luar mekanisme APBN, karena Depdagri beranggapan bahwa dana tersebut diterima dari Pemda dan sudah dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah penyetor dalam pertanggungjawaban APBD yang bersangkutan.

Dari laporan hasil audit BPK atas upah pungut setebal 35 halaman itu, terungkap bahwa penggunaan DPP sebesar Rp 104,40 miliar tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak wajar/patut, tidak sah, dan tidak didukung dengan bukti-bukti pertanggungjawaban serta terjadi penyalahgunaan).

Jumlah tersebut antara lain digunakan untuk dana operasional atau dana taktis Mendagri dan pejabat Eselon I Depdagri sejak tahun 2001 sampai dengan Agustus 2008 sebesar Rp 78,98 miliarPemberian dana taktis periode 2006 sampai 2008, sesuai pendapat BPK, tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, karena tidak ada keputusan Mendagri yang menetapkan pejabat mana yang berhak atas dana taktis dari DPP dan berapa jumlahnyaSedangkan selebihnya digunakan untuk berbagai pengeluaran kepada pihak lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kurun waktu 2006-2008 misalnya, untuk Mendagri saja upah pungut yang digunakan mencapai Rp 8.760.157.920Penggunaannya antara lain untuk perjalanan dinas Rp 2,8 miliar, penjahitan pakaian Rp 219 juta, untuk pribadi Mendagri Rp 750 juta, serta kegiatan operasional Rp 3,36 miliar.

Dalam kurun waktu yang sama, upah pungut juga mengalir ke isteri Mendagri baik selaku Ketua Tim Pengerak PKK maupun Ibu Asuh STPDN yang jumlahnya mencapai Rp 1.07 miliarUang sebesar itu antara lain , untuk pribadi Rp 15 juta, penjahitan Rp 3,5 juta dan kegiatan operasional Rp 165,5 jutaTotalnya mencapai Rp 1,37 miliar.

BPK juga melaporkan, hasil pemeriksaan secara uji petik atas bukti pengeluaran biaya tersebut diketahui terdapat pengeluaran operasional/taktis Mendagri dan istri Mendagri yang ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi.

Dari hasil audit BPK atas upah pungut tahun 2008 yang digunakan untuk keperluan pribadi Mendagri dan keluarga, antara lain untuk biaya pengadaan pakaian Mendagri Rp 155,9 juta, biaya tol, BBM dan parkir Rp 193,4 juta, biaya kesra dan pendukung kesehatan Rp 51,5 juta, biaya pengadaan handphone Rp 37,95 juta, biaya peralatan pesta pernikahan putra Mendagri Rp 60 juta, biaya cetak foto Rp 5 juta dan biaya operasional kediaman Rp 100 jutaJumlah totalnya mencapai Rp 603.799.000,00.

Sedangkan saat Mendagri dijabat Moh Ma'ruf, berdasarkan audit atas upah pungut pada 2007 diketahui pengeluaran upah pungut untuk keperluan pribadi antara lain untuk pembelian kado pernikahan putri Mendagri yang jumlahnya Rp 133 juta, biaya keperluan pernikahan putri Mendagri Rp 50 juta, bantuan transport dalam rangka pernikahan putri Mendagri Rp 18,5 juta, biaya open house Mendagri Rp 48,4 juta.

Selain itu, upah pungut di era Ma'ruf juga digunakan untuk pengadaan nasi box di rumah pribadi Mendagri Rp 154,4 juta, biaya perawatan Moh Ma'ruf di Singapura dan besuk di Bandung Rp 305,5 juta, pengadaan alat rumah tangga Mendagri dan biaya renovasi rumah pribadi Rp 157,34 juta, biaya pengeluaran 40 hari orangtua istri Mendagri Rp 98,5 juta, biaya cuci gorden rumah Moh Ma'ruf di Bandung Rp 18,5 juta serta biaya ulang tahun istri Mendagri Rp 14,7 juta.

Karenanya, dalam rekomendasi atas hasil audit, BPK juga meminta Mendagri untuk mengusulkan kepada Presiden untuk merubah PP Nomor 65 Tahun 2001, guna meninjau kembali keberadaan Biaya Pemungutan Pajak Daerah (Upah Pungut) itu.

Meski demikian, audit BPK atas penggunaan upah pungut itu bukannya tanpa hambatanDari laporan BPK ke DPR juga terungkap, sampai dengan pemeriksaan berakhir, Bendahara DPP tidak memberikan Buku Kas Umum (BKU) yang manual (hard copy file) dengan alasan yang tidak jelasHal tersebut beresiko terhadap keakuratan data yang disampaikan, karena dengan mudah dapat dimanipulasiHambatan lain adalah Bendahara DPP tidak dapat menyajikan bukti-bukti pertanggungjawaban DPP secara lengkap dan tepat waktu.

Selain itu, Tim Audit juga mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu lama untuk melakukan konfirmasi, dan atau meminta keterangan kepada pihak-pihak terkait seperti Bendahara DPP dan para penerima DPP, dikarenakan beberapa hal di antaranya adalah para penerima DPP tidak bertugas atau tidak aktif lagi di Depdagri(ara/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BPK Ungkap Borok Otda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler