Masuk Pungli Terbesar, Ini Reaksi Pemkot Surabaya

Kamis, 25 Desember 2014 – 23:48 WIB
Kepala ORI Jatim Agus Widiarta menunjukkan rekaman video hasil investigasi tentang pungli di kelurahan dan kecamatan di Surabaya. Juneka/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - SURABAYA – Ketua Ombudsman RI (ORI) Danang Girindrawardana mengumumkan bahwa pihaknya menemukan tindak pungutan liar (pungli) dalam rantai birokrasi di Surabaya. Hasil itu merupakan investigasi ORI Jawa Timur yang didokumentasikan dalam sebuah video. Berdurasi 10 menit 33 detik, video tersebut sudah diperlihatkan kepada para pejabat pemkot yang menghadiri acara rilis ORI di Jakarta pada Senin (22/12).

Video tersebut berisi penggalan-penggalan investigasi ke kantor unit pelayanan terpadu satu atap (UPTSA); dinas koperasi, perindustrian, dan perdagangan; serta dinas kebudayaan dan pariwisata. Juga ada enam kecamatan (Genteng, Karangpilang, Lakarsantri, Sukolilo, Gubeng, Krembangan) serta lima kelurahan (Kaliasin, Kebraon, Bangkingan, Semolowaru, Barata Jaya).

BACA JUGA: Jual Tanah Orang, Kades Ditangkap

Dalam rekaman itu, di Kelurahan Bangkingan terlihat seorang petugas perempuan kebingungan menentukan tarif pengurusan izin mendirikan minimarket. Dia sampai meminta saran kepada pejabat kecamatan soal besaran uang yang harus dikeluarkan si peminta izin.

Rekaman itu memang tidak menyebutkan secara jelas jabatan perempuan tersebut. Wajahnya juga disamarkan. Dia hanya terlihat mengenakan baju batik didominasi merah. Perempuan itu menelepon dengan ponsel yang kabel charger-nya masih tersambung. Beberapa bagian gambar yang memperlihatkan identitas diburamkan.

BACA JUGA: Gerebek Arena Judi, Oknum Polisi dan TNI Ikut Diamankan

Pada rekaman berikutnya, di kelurahan lainnya, tampak seorang pegawai perempuan mengenakan baju Korpri. Dia tidak menyebutkan secara jelas nominal rupiah yang harus dibayarkan peminta izin. Tetapi, dia menjelaskan bahwa kebutuhan kelurahan itu cukup banyak sehingga pungutan dari pengusaha tersebut akan dipakai untuk menutupi operasional. ”Ya, dipakai ini itu. Setahun ratusan juta itu hanya untuk biaya pegawai,” kata perempuan tersebut.

Lalu, ada sesi yang menunjukkan petugas Satpol PP Kecamatan Karangpilang bisa membantu pengurusan surat keterangan domisili usaha (SKDU). Tarifnya dipatok Rp 500 ribu. Dia menjanjikan bisa menjamin usaha pembukaan sebuah minimarket tanpa ada gangguan. ”Sambil diurus izinnya, sudah bisa berjalan usahanya,” ujar oknum satpol PP itu.

BACA JUGA: Dihantam Pakai Balok, Anak Buah Inul Daratista Meninggal

Terdapat pula rekaman pegawai negeri sipil (PNS) di UPTSA yang bisa menjanjikan pengurusan izin dalam waktu cepat. Petugas itu bertemu dengan tim investigasi dari ombudsman yang sedang menyamar di kantin UPTSA. Tapi, pertemuan tersebut tidak bisa lama dan minta dilanjutkan sore di sebuah warung makan di depan Unair (Universitas Airlangga). Hingga mendekati waktu yang dijanjikan, lokasi pertemuan dipindah ke sebuah coffee shop di Tunjungan Plaza.

Kepala ORI Jatim Agus Widiarta menuturkan, dari laporan pegawainya disebutkan bahwa pertemuan itu tidak hanya melibatkan petugas UPTSA. Ada seorang PNS di lingkungan dinas cipta karya dan tata ruang yang turut serta. Mereka berdua menjanjikan bisa mengurus izin usaha ritel modern dengan relatif cepat. ”Biayanya sampai Rp 110 juta,” kata Agus saat ditemui di kantornya, Jalan Embong Kemiri, kemarin.

Uang Rp 110 juta itu dipakai untuk pengurusan satu paket komplet izin usaha. Mulai izin domisili, surat keterangan rencana kota, izin mendirikan bangunan, sampai dokumen lingkungan. Lama pengurusan hanya tiga bulan. ”Biaya itu juga sudah termasuk ongkos koordinasi. Entah apa maksudnya koordinasi itu. Apakah dengan atasan atau bagaimana?” imbuh Agus.

Hanya, yang membuat dia heran, ada seorang oknum di lingkungan Satpol PP Surabaya yang terlibat. Dalam penelusuran di kecamatan dan kelurahan, petugas satpol PP itu juga disebut. ”Dia bukan petugas biasa. Tapi, punya eselon,” tambah Agus.

Agus menuturkan, bukti rekaman dan hasil analisis dalam bentuk dokumen itu sudah diserahkan kepada perwakilan Pemkot Surabaya pada Senin (22/12). Tujuannya, pemkot bisa melakukan perbaikan internal. ”Kami tidak punya niat merusak. Hanya ingin memberikan masukan bahwa ada celah yang harus diperbaiki,” imbuhnya. Dengan alasan itu pula, identitas para oknum pungli tersebut disamarkan.

Celah yang mudah mengundang pungli, antara lain, pengurusan SKDU. Surat tersebut memang tidak terkait langsung dengan pengurusan izin usaha yang dikeluarkan pemkot. Tapi, SKDU diperlukan untuk pengurusan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan pengurusan pembuatan akta perusahaan.

Sayangnya, penerbitan SKDU tidak jelas. Ombudsman menemukan ada lurah yang bisa membuat. Tapi, ada juga camat yang menerbitkan. Selain itu, tidak jelas retribusi yang dikenakan. Aturan yang masih abu-abu itulah yang dimanfaatkan pejabat di lingkup kelurahan atau kecamatan untuk mengais rupiah.

Aturan yang masih samar-samar juga ditemukan dalam pengurusan izin pendirian minimarket. Sejauh ini dewan pernah menggedok perda tentang penyelenggaraan toko modern. Tapi, perda tersebut belum diterapkan.

Kepala Badan Koordinasi Pelayanan dan Penanaman Modal yang membawahkan UPTSA Eko Agus Supiadi Sapoetro menuturkan bahwa asas praduga tidak bersalah dikedepankan dalam mengungkap masalah tersebut. Dia juga belum sepenuhnya yakin bahwa orang yang ditemui ombudsman itu benar-benar petugas UPTSA. ”Bisa jadi itu orang luar atau biro jasa yang mengaku-ngaku pegawai kami,” ujar dia.

Di UPTSA ada 91 pegawai. Sebanyak 42 orang di antaranya berstatus PNS. Selebihnya bukan. Eko menuturkan, dirinya turut hadir dalam rilis ORI di Jakarta itu. Selain dia, ada asisten administrasi umum Hadisiswanto Anwar dan Kepala Inspektorat Sigit Sugiharsono. ”Kami segera menindaklanjuti hasil investigasi itu,” ujar dia.

Secara terpisah, Kepala Satpol PP Surabaya Irvan Widyanto mengungkapkan bahwa laporan dari ombudsman itu akan dilihat lebih cermat lagi. Dia juga meminta laporan tersebut diperjelas dengan menyebutkan nama oknum petugas yang terlibat. ”Kalau memang benar-benar terbukti salah, tentu saja akan kami sanksi dengan tegas,” ujar dia.

Namun, Irvan berharap jangan hanya karena ulah satu orang saja mencoreng nama seluruh petugas Satpol PP Surabaya. Selain itu, dia khawatir jangan-jangan ada orang yang mengatasnamakan satpol PP.

Hasil investigasi ORI juga menyebut bahwa enam kecamatan dan lima kelurahan yang mereka sisir masuk dalam zona merah. Tandanya, di wilayah tersebut tingkat kepatuhannya rendah. Banyak penyimpangan yang terjadi berkenaan dengan prosedur, kompetensi, bertindak tidak patut, tidak kompeten, dan pungli.

Dikonfirmasi tentang berita itu, Kanti Budiarti sebagai camat Sukolilo mengelak. ”Sejauh ini yang saya tahu di Kantor Kecamatan Sukolilo tidak ada pungli dalam hal pengajuan perizinan,” paparnya.

Hal yang sama disampaikan Suwarti, lurah Semolowaru. Dia juga mengatakan bahwa di instansi yang dipimpinnya tidak ada pungutan liar. ”Semuanya gratis. Kalau tidak percaya, silakan tanya penduduk yang pernah mengurus di sini,” ungkap perempuan asli Jogjakarta tersebut.

Menindaklanjuti berita itu, Kanti maupun Suwarti menyatakan sudah berkoordinasi dengan stafnya. ”Saya sudah memanggil Kasi Trantib dan menanyakan soal pungli. Sejauh ini tidak terdapat indikasi tersebut,” papar Suwarti. ”Jika ada pungutan, mungkin dari calo. Kan ada biro jasa yang memberikan pelayanan untuk mengurus izin usaha,” ungkap Kanti.

Kanti berharap sebaiknya temuan tersebut disertai penunjukan oknum yang terlibat. Dia mengaku, jika seperti itu, sulit menindaklanjutinya.

Sementara itu, Kecamatan Karangpilang langsung merespons dugaan mala-administrasi di wilayah tersebut. Camat Karangpilang Hermanto menyatakan, pihaknya ingin terbuka dalam pelayanan publik. Jika ada oknum pegawai yang melakukan pungli, dia meminta disebut nama pelakunya. ”Agar kami bisa melakukan tindakan,” terang dia.

Kalau hanya disebut ada pungli, dia bingung siapa yang melakukannya. Lembaga yang menginvestigasi kasus tersebut harus detail dalam menjelaskan identitas pelaku sehingga masalahnya bisa jelas.

Kecamatan Gubeng berbuat serupa. Camat Gubeng Achmad Widyantoro mengumpulkan anak buahnya dan bertanya kepada mereka apakah ada yang melakukan mala-administrasi. ”Mereka menjawab tidak ada yang melakukan tindakan itu,” kata dia.

Dia yakin praktik seperti itu dilakukan para calo yang mengaku memberikan fee kepada petugas kecamatan. Padahal, tidak ada uang yang diberikan kepada pegawai. Uang tersebut mereka ambil sendiri. Pihaknya, kata dia, sudah beberapa kali melarang calo datang ke kantor kecamatan.

Di sisi lain, temuan dugaan pungli liar perizinan di lingkungan pemkot mendapat atensi dari DPRD Surabaya. Sejumlah komisi langsung mengagendakan pemanggilan terhadap instansi yang ditengarai marak pungli.

Komisi A juga langsung membuka layanan pengaduan terhadap laporan dugaan pungli. ”Hasil temuan Ombudsman RI layak ditindaklanjuti. Karena itu, kami siap menampung laporan-laporan dari masyarakat jika praktik tersebut masih ada,” kata Ketua Komisi A DPRD Herlina Harsono Njoto kemarin.

Sejatinya, kata Herlina, saat ini pihaknya juga tengah menelusuri sejumlah dugaan pungutan perizinan di lingkungan pemkot. Yang saat ini ditelusuri adalah dugaan tarikan pemberian izin reklame dan RHU (rumah hiburan umum). ”Sebenarnya, kami sudah memanggil sejumlah instansi. Namun, karena tidak semua dinas hadir, kami tunda pekan depan,” katanya.

Dari sejumlah laporan yang diterima komisi A maupun sejumlah komisi lain di dewan, praktik pungutan terkait dengan perizinan di lingkungan pemkot sebenarnya masih banyak. Termasuk pungli untuk aktivitas tanpa izin. ”Contohnya kasus dugaan reklamasi di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya). Di sana, izin jelas tidak ada. Tapi, kenapa bisa tetap dilakukan? Informasinya sih memang ada permainan,” katanya. (jun/lyn/lum/c6/ayi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gadis ABG Kritis Usai Pesta Miras


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler