“Melalui pencarian data lewat media dan jaringan di daerah, termasuk alamat, rekan sejawatnya, bahkan tetangganya, kami berkesimpulan bahwa 30 persen yang layak menjadi hakim ad hoc,” kata Jamil Mubarok dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) saat jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jalan Kalibata, Jakarta, Minggu (14/2).
Selain Jamil, hadir pula Koordinator Divisi Hukum ICW Illian Deta Arta Sari, Purnomo Satrio P (LEIP), dan Muji Kartika Rahayu (KRHN)
BACA JUGA: Jangan Tebang Pilih Soal Penunggak Pajak
Jamil menyebutkan, temuan KPP pada hakim yang tidak direkomendasikan karena keahliannya diragukan, kurang memiliki pengalaman di isu hukum, berafiliasi dengan partai politik tertentu, serta memiliki harta kekayaan yang tidak wajar.“Termasuk usianya yang dianggap terlalu tua jika terpilih menjadi hakim ad hoc Tipikor yang mendekati batas usia pensiun hakim agung dan ditengarai terlibat mafia hukum,” ujarnya.
Sehubungan dengan itu, pada kesempatan sama Illian dari ICW menuntut pada Panitia Seleksi (Pansel) hakim ad hoc Tipikor agar membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada para pendaftar calon hakim yang lainnya pada seleksi tahap ke dua dan ketiga sehingga keberadaan Pengadilan Tipikor tidak mengkhawatirkan meloloskan para koruptor.
Sementara itu, Muji Kartika Rahayu mengkritik kerja Pansel yang dinilai tidak maksimal
“Pansel harus mampu untuk mengklarifikasi catatan-catatan yang ada terhadap calon tersebut,” katanya.
Karena itu, KPP mendesak kepada Pansel Hakim Ad Hoc MA agar tidak berorientasi pada tuntutan pemenuhan jumlah hakim yang dibutuhkan dengan 61 posisi
BACA JUGA: ICW Sebut Mantan Menlu Terseret Korupsi
Termasuk tidak melakukan kompromi terhadap para calon yang berintegritas buruk.Pada kesempatan itu juga, KPP mempertanyakan kerja Pansel Hakim Ad Hoc yang dianggap secara sembunyi-sembunyi melakukan seleksi dan minimnya publikasi
BACA JUGA: SBY Tak Akan Berani Tekan Ical
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pagi Ini, Pagaralam Masih Terisolir
Redaktur : Antoni