jpnn.com - JAKARTA - Sejak 1999, hingga saat ini ada penambahan delapan provinsi baru. Yakni Banten, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Gorontalo, Papua Barat, Maluku Utara, Bangka Belitung, dan termuda Provinsi Kalimantan Utara.
Mayoritas dari delapan provinsi itu dinilai berhasil mengalami kemajuan, dibanding ketika masih menjadi bagian dari wilayah provinsi induknya masing-masing.
BACA JUGA: Sayangkan Visi-Misi Bidang Hukum Capres Belum Konkret
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyebut, dari delapan provinsi itu yang masih masuk kategori gagal yakni Banten dan Maluku Utara. Untuk kasus Banten, itu pun lebih disebabkan faktor kepemimpinan, yakni dipimpin Ratu Atut Chosiyah, yang belakangan terjerat kasus korupsi.
"Yang lain oke. Gorontalo oke, Kepri juga oke apalagi di sana ada Batam. Jadi untuk provinsi hasil pemekaran memang relatif berhasil, dibanding kabupaten (hasil pemekaran)," ujar Robert Endi Jaweng kepada JPNN di Jakarta, kemarin (4/6), sesaat setelah pertemuan di Kantor Wapres membahas soal pemekaran daerah.
BACA JUGA: PKS Ancam Keluar dari Koalisi jika Prabowo Minta-minta
Robert menjelaskan, provinsi-provinsi baru relatif berhasil lantaran berbagai faktor. Antara lain, faktor SDM di tingkat provinsi lebih baik dibanding di kabupaten. "Tentu pendidikannya lebih baik, sarana dan prasarananya juga lebih baik. Jadi provinsi baru cukup siap ketika menjalankan roda pemerintahannya dan fungsi pelayanannya," ujar Robert.
Dijelaskan juga bahwa berhasil tidaknya daerah baru hasil pemekaran, entah itu provinsi, kabupaten, atau kota, sangat tergantung dari figur kepala daerahnya. Jika kepala daerahnya punya visi yang baik dalam upaya menyejahterakan rakyatnya, berani dan tegas, inovatif, biasanya daerah anyar itu akan berhasil.
BACA JUGA: Dipimpin Gubernur, Tim Pemenangan Raup Keuntungan
"Contohnya Kubu Raya, Tarakan, Cimahi, Kota Banjar, Lombok Utara, itu bisa bagus karena faktor kepemimpinan," ujarnya.
Nah, dalam kaitannya dengan sosok pemimpin di daerah baru hasil pemekaran ini, Robert mengatakan, partai politik mempunyai peran penting. Pasalnya, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, pencalonannya harus diusung parpol.
"Jika parpol-parpol mencalonkan kadernya yang bagus-bagus, maka yang terpilih juga pasti yang bagus. Nah, pemimpin yang bagus akan membawa keberhasilan daerahnya," papar pria asal Flores, NTT, itu.
Sebelumnya, dalam berbagi kesempatan, para petinggi Kemendagri menyebut, 78 persen daerah otonom baru, gagal. Seperti diketahui, terdapat 220 daerah otonom baru sejak 1999, yang delapan di antaranya provinsi, yang lain kabupaten/kota.
Namun, hasil evaluasi yang dilakukan Kemendagri itu sempat menuai polemik. Sebagian kalangan menilai, angka itu wajar lantaran daerah-daerah itu masih berusia muda, masih tahap berbenah.
Itu pun diakui Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan. Dia pernah mengatakan, memang ada tren, semakin tambah usia, daerah otonom makin membaik. "Tambah umur tambah kemampuan dan pengalaman," ujarnya beberapa waktu lalu.
Seperti pendapat Robert, Djohermansyah juga menyebut, untuk provinsi-provinsi baru, termasuk kota, relatif berhasil. Mayoritas yang gagal adalah kabupaten anyar.
Mendagri Gamawan Fauzi sendiri juga pernah mengatakan, hasil evaluasi daerah otonom baru hasilnya jeblok, karena memang mereka masih berusia muda, yakni di bawah tiga tahun saat dilakukan evaluasi.
"Daerah ini masih berusaha menyusun organisasi, pola kerja, dan memenuhi sumber daya manusia," kata Gamawan.
Sedang Guru Besar dari Universitas Indonesia Eko Prasojo, pernah mengatakan, mayoritas daerah otonom gagal lantaran proses pembentukannya kental dengan kepentingan elite, bukan untuk niatan membangun daerah.
Kepentingan elit dimaksud, yakni hanya sebagai upaya menciptakan lapangan kerja baru untuk kader partai politik di DPRD dan kursi-kursi empuk di birokrasi. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Sita Mobil dan Apartemen Terkait TPPU Bappepti
Redaktur : Tim Redaksi