Mematikan Industri Gula Rafinasi, Indonesia Bergantung Impor

Senin, 19 Juni 2017 – 11:20 WIB
SIDAK: Ketua Komisi VI DPR RI, Bowo Sidik Pangarso, didampingi Kepala Perum Bulog Divre NTB, H. Achmad Ma’mun mendatangi Gudang Bulog untuk penyimpanan gula pasir, bawang putih dan beras Raskin,Selasa (13/6). Ilustrasi : Lukmanul/Radar Lombok

jpnn.com, JAKARTA - Sektor industri makanan dan minuman adalah termasuk yang paling tinggi menyumbang nilai ekspor. Jika terjadi hambatan pada pasokan gula kepada industri makanan dan minuman, maka sektor ini akan terpuruk.

Pernyataan tersebut disampaikan Ekonom Senior Faisal Basri menyikapi berkembangnya opini yang memposisikan gula rafinasi sebagai musuh petani.

BACA JUGA: Faisal Basri: Dosa Apa Gula Rafinasi Dijadikan Musuh Petani?

Lihat: Faisal Basri: Dosa Apa Gula Rafinasi Dijadikan Musuh Petani?

Menurut Faisal Basri, wacana gula rafinasi adalah musuh petani dan berbahaya untuk konsumsi, justru berbanding terbalik pada fakta bahwa gula rafinasi adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.

BACA JUGA: Lelang GKR Bisa Ciptakan Harga Gula Terbaik

"Harga raw sugar jauh lebih rendah dibanding harga gula kristal putih (GKP). Jika ini tidak dilakukan hati-hati, maka stok kebutuhan gula industri yang nota bene merupakan sektor yang tumbuh 8,5 persen per tahun, akan mengalami perlambatan. Mematikan industri gula rafinasi akan membuat ketergantungan kita penuh pada gula impor," ujar Faisal Basri, Minggu (18/6).

Faisal Basri mengungkapkan, pada Januari 2017, Ketua APTR, Soemitro Samadikoen sudah menyurati Presiden Jokowi bahwa pemerintah melalui Bulog tidak perlu lagi mengimpor gula kristal putih, karena stok gula dalam negeri masih mencukupi.

BACA JUGA: Kebijakan Pemerintah Lelang Gula Didukung Penuh Petani Tebu

Namun, temuan Satgas Mafia Pangan di Makassar dan beberapa tempat lainnya terkait gula rafinasi, justru akan menjadi faktor utama yang akan mengubur target pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK 2017.

Pasalnya, sektor makanan dan minuman yang menjadi konsumen utama gula rafinasi sepanjang 2011-2015 adalah industri yang tumbuh sekitar 8,5 persen per tahunnya. Artinya pasokan gula juga meningkat sebesar itu.

Persoalannya pasokan gula dalam negeri sangat kecil karena persoalan ketersediaan lahan tebu.

Menurutnya, ketimbang terjebak dalam ketergantungan impor yang berpotensi memboroskan devisa dan terbukti bocor dimana-mana karena selalu ada jumlah illegal yang ikut bersama ijin impor, maka gula rafinasi adalah solusi penting untuk menutup kebutuhan industri makanan dan minuman.

Berita masih terus berhembus mengenai gula rafinasi, padahal gula rafinasi 100 persen aman untuk konsumsi rumah tangga. Dalih menjaga pasokan gula menjelang Lebaran, soal salah tafsir aparat hukum mengenai gula rafinasi malah mengancam target pertumbuhan ekonomi nasional 2017 yang dipatok 5,1 persen oleh pemerintah.

Produksi yang berkurang, lalu kembali ke skema impor gula kristal putih yang harganya tinggi, otomatis harga produksi juga naik. Sementara kebocoran yang timbul dari penerbitan kuota impor gula sangat tinggi, sehingga pasar kebanjiran pasokan gula impor illegal.

"Ini yang benar-benar akan menyengsarakan petani tebu dan industri gula. Pengangguran yang ditimbulkan dari gulung tikarnya induistri pengoilah gula rafinasi juga adalah persoalan tersendiri yang harus dipikirkan oleh pemerintah,” kata Faisal Basri. (zul/rmol/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidak, Satgas Pangan Temukan Gula Rafinasi dan Makanan Kedaluwarsa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler