Membaca Mesir, Melirik Cina

Sabtu, 05 Februari 2011 – 00:50 WIB

KAIRO dalam tayangan televisi masa kini mirip dengan suasana Jakarta 1998Puluhan ribu demonstran di Tahrir Square menjerit-jerit menggugat rezim Husni Mubarak mundur

BACA JUGA: Gaji Besar Korupsi Juga

Suasana ini mengingatkan saya menjelang 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto lengser dari tahtanya atas desakan puluhan ribu mahasiswa yang menguasai kawasan Gedung DPR-MPR RI di Senayan Jakarta.

Saya ingat gelora mahasiswa menceburkan diri ke kolam air mancur di Senayan merayakan suksesi dari Soeharto kepada BJ Habibie
Pekik sorak sorai reformasi bergemuruh di jalanan, radio, suratkabar dan televisi.

Toh kemenangan itu bersimbah darah, air mata dan api

BACA JUGA: Impor Pangan & Impor Revolusi

Beberapa mahasiswa Trisakti tewas kena peluru aparat
Orang-orang marah, memperkosa gadis tak berdosa, menjarah mal dan pertokoan lalu membakarnya, seperti halnya di Kairo.

Memang belum tahu, apakah Jumat (4 Februari) ini Mubarak sudi lengser

BACA JUGA: Gayus Bajingan yang Herois

Maklum, pembela Mubarak juga bangkit melawan masyarakat yang anti rezim Mesir ituApalagi banyak faksi berbeda di kubu anti-Mubarok, suatu hal yang tak mengental pada Mei 1998 lalu di JakartaJika pun Mubarak mundur mungkin lebih alot

Berbeda dengan Jakarta, semenjak demonstrasi besar mahasiswa pada 12 Mei 1998, sepuluh hari kemudian, Soeharto lengser.  

Tapi harus dicatat bahwa kesalahan Mubarak dan Soeharto samaKeduanya tidak tahu kapan harus turun dari singgasana sampai badai reformasi berembus kencang dan memorak-morandakan rezim yang berkuasa sekitar 30-an tahun itu.

Rezim Mubarak juga penuh kolusi korupsi dan nepotisme, yang hingga kini pun belum steril dari Indoneia, justru setelah 13 tahun Soeharto lengserTikai politik juga tak putus sejak era Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY di awal Tahun Kelinci ini.

Saya masygul menonton “perang” antara KPK dan DPR, semoga hanya topan dalam gelasTapi seteru dan sekutu politik dalam  kasus Mafia Pajak dan Bank Century bagai api dalam sekamMungkin kian merah membara menjelang Pemilu 2014.

Berbagai tokoh agama telah berseru tentang Indonesia yang bersih dan damaiPemerintah telah bertikhtiar tetapi masih banyak bengkalaiHarga bahan pokok naik, juga BBM walau cabai sedikit meredaTapi inflasi menghadang, apalagi krisis pangan akibat anomaly musim masih menghantui.

Barangkali tak ada salahnya jika Indonesia melirik Cina yang unik dalam hal ideology politik versus perekonomianBayangkan, jika negara komunis itu berani  menerapkan kapitalisme dan ekonomi pasar yang ditabukan oleh MarxismeInvestor asing “well come”, bahkan mencapai US$ 100 miliar pada 2010, yang tak ada bandingannya  di dunia dewasa ini.     

Produk Cina di seluruh dunia rata-rata 30% hingga 50% lebih rendah dari harga barang negara mana punUpah di Cina kompetitif  berpadu dengan penggunaan teknologi tinggi sehingga cost produksi menjadi rendah.

Tak heran jika banyak industri di banyak  negara kolapsSejumlah perusahaan Amerika Serikat terpaksa merumahkan 2,7 juta buruhnya 10 tahun terakhirDefisit neraca perdagangan Amerika terhadap Cina terus menanjak dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan ekonomi Cina berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu rata-rata dua digit, minimal 10%Dengan mematok nilai tukar yuan, Cina membuat Amerika tidak berkutik yang dilanda ledakan pengangguran.

***

Pelajaran apa gerangan yang bisa dicuplik oleh Indonesia? Syahdan, kemajuan ekonomi, pertahanan, politik, dan teknologi Cina terletak pada kualitas sumber daya manusianya yang berakar dari budaya tradisionalnya.

Salah satunya adalah ajaran Konfusius yang mengajarkan bahwa negara harus dibangun berdasarkan kekeluargaan yang hierarkis dan otokratisPemimpin jadi teladan, dan rakyat mematuhinyaMirip filosofi berbagaiu kebudayaan dan peradaban di Indonesia

Bahkan, patung Konfusius berdiri megah di lapangan Tiananmen, yang menginspirasi pembangunan di CinaDulu di era Revolusi Kebudayaan ala Mao, ajaran Konfusius hendak digusur, tetapi kemudian kembali dinyalakan oleh Deng Xiaoping.

Toh, Konfusianuisme sejalan dengan petua (tulis tangan) Mao Zedong bahwa “Wei Renmin Fuwu” (Mengabdi untuk Rakyat) yang antara lain terpampang di Gedung Zhongnanhui, tempat para pejabat Cina bekerja dan bermukim.

Jadi walaupun investor asing dianggap sebagai “tamu terhormat” yang dipermudah segala urusannya, tetapi harus mengakomodasi filsafat Wei Renmin Fuwu.

Indonesia juga punya filosofi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945, yang bisa menjadi “ruh” kemajuan,  termasuk sikap terhadap investor asingAjaran para leluhur penuh dengan makna social, dan bukan individual, yang ujung-ujungnya adalah kesejahteraan rakyat.

Tidak mustahil Indonesia mengikuti jejak Cina dan India sebagai pusat ekonomi duniaKapitalisme yang individual sudah terkena “tsunami” di mana-mana, jadi harus berpadu dengan sosialisme, kepentingan masyarakatIni yang selama ini “salah kaprah” di Indonesia.

Saya merasa proses demokratisasi politik di Indonesia rada overdosis dibanding kemandegan di bidang ekonomiPanggung politik penuh intrik dan tikai yang menyedot waktu dan energy, hatta program ekonomi dan penegakan hukum agak tersendat.    

Terjadi pula “sandera menyandera” antarelit dan partai politik yang sangat mahal jika dikonversi ke rupiahTahun-tahun berlalu sia-sia tapi pertumbuhan ekonomi bagai jalan di tempat.

Saya pikir tiba masanya moratorium pertikaian politikTiba saatnya berbicara dan beraksi di bidang ekonomi.  Jika tidak segera banting setir, saya gamang Indonesia terjerumus ke kancah konflik politik, yang bermula pula di Mesir(**)



BACA ARTIKEL LAINNYA... Negara Tak Urus Cabai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler