Membedah Manfaat IA-CEPA Indonesia dan Australia

Selasa, 11 September 2018 – 00:01 WIB
Presiden Joko Widodo menerima kunjungan resmi Perdana Menteri Australia the Hon.Mr.Scott Morrison MP di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/8) siang. Foto: FB Setkab RI

jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder Indosterling Capital William Henley

 

BACA JUGA: Faisal Basri: Kemiskinan di Indonesia Belum Terselesaikan

Pertemuan antara Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Istana Bogor, Jumat (31/8), memiliki makna penting dalam berbagai dimensi.

Apalagi, Morrison baru menduduki jabatan PM selama beberapa hari. Satu makna yang jauh lebih penting di atas itu adalah kesepakatan kedua negara mendeklarasikan tuntasnya perundingan dagang Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). 

BACA JUGA: Menanti Konsistensi Pemerintah Tekan Impor

Kementerian Perdagangan dalam rilis kepada media menyatakan penyelesaian IA-CEPA merupakan tonggak sejarah baru dalam hubungan ekonomi kedua negara.

"IA-CEPA bukanlah free trade agreement (FTA) biasa, tetapi sebuah kemitraan komprehensif kedua negara di bidang perdagangan barang, jasa, investasi serta kerja sama ekonomi," kata Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita. 

BACA JUGA: Membedah Efek THR dan Gaji ke-13 PNS

Setelah ini, kedua negara akan menuntaskan detail naskah perjanjian dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Penandatangan direncanakan berlangsung pada November mendatang. Lalu, seberapa besar manfaat penuntasan IA-CEPA, khususnya bagi perekonomian Indonesia?

Menurut catatan sejarah, relasi dagang antara Indonesia dan Australia telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Pemerintah Australia melalui Konsulat Jenderal Australia di Makassar mencontohkan hubungan antara pesisir Australia Utara dan Pulau Sulawesi, terutama Kota Makassar, secara garis besar ditentukan oleh perdagangan mulai pertengahan abad ke-18.

Pelaut-pelaut andal dari Kota Makassar menyeberangi Laut Arafura setiap tahun demi berdagang dengan penduduk asli Australia.

Komoditas-komoditas yang jadi andalan saat itu adalah teripang, mutiara, dan cangkang kura-kura. 

Seiring berjalan waktu, hubungan dagang kedua negara semakin mesra. Indonesia rajin mengirim barang-barang berupa pakaian jadi dari tekstil dan kayu olahan.

Sementara itu, Australia selalu menjadi pemasok utama komoditas gandum dan daging sapi.

Indonesia dan Australia juga melakukan ekspor dan impor berupa minyak mentah dan hasil minyak. 

Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun lalu Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan sebesar 3,49 miliar dolar AS.

Terlepas dari defisit tersebut, Kementerian Perdagangan melaporkan nilai perdagangan kedua negara Januari-Juni 2018 sudah mencapai 4,07 miliar dolar AS.

Terlepas dari fakta di atas, penandatangan kesepakatan penyelesaian negosiasi IA-CEPA merupakan angin segar di tengah ketidakpastian perekonomian global.

Ketidakpastian itu dipicu perang dagang antara dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.

Fakta tersebut menghadirkan kekhawatiran berupa tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. 

Tidak hanya itu, kesepakatan pekan lalu diyakini bakal meningkatkan ekspor Indonesia ke Australia.

Sebab, negara yang kondang karena gelaran turnamen tenis Grand Slam Australia Open itu membebaskan bea masuk impor menjadi nol persen untuk produk-produk Indonesia.

Dengan demikian, produk-produk Indonesia berupa otomotif, kayu, tekstil, dan lain-lain, dapat diakselerasi. 

Pembebasan bea masuk merupakan kemewahan yang harus benar-benar bermanfaat bagi Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menyosialisasikan kepada pelaku usaha besar, menengah, dan kecil, perihal peluang besar tersebut.

Apalagi, kondisi perekonomian Australia relatif stabil sehingga kebutuhan terhadap produk-produk yang tidak dapat dihasilkan secara mandiri akan terus tinggi. 

Selain sosialisasi, hal yang tidak kalah penting adalah menggenjot produktivitas di sektor-sektor yang berpeluang besar merajai ekspor Indonesia ke Negeri Kanguru.

Sejauh ini, pakaian jadi dari tekstil dan kayu olahan, masih menjadi andalan. 

Namun, tantangan untuk itu tidaklah mudah. Apalagi, industri tekstil dan kayu dihadapkan pada deretan tantangan yang tak kalah berat.

Tekstil dalam negeri harus bertahan dari serbuah produk-produk Tiongkok yang berkualitas, namun memiliki harga yang jauh lebih murah.

Selain itu, untuk kayu, ketersediaan bahan baku menjadi kendala mengingat hutan semakin gundul akibat pembalakan liar. 

Hal lain yang patut dicermati saksama adalah pemberian insentif bagi pengusaha berorientasi ekspor, terutama ke Australia. Insentif yang diberikan dapat dalam berbagai bentuk.

Misalnya diskon tarif listrik maupun pengurangan tarif pajak yang harus dibayarkan.

Banyak skema insentif yang dapat diberikan dengan harapan gairah pengusaha meningkatkan ekspor ke Negeri Kanguru tetap tinggi.

Sejatinya, masih banyak manfaat yang dapat dipetik dari kesepakatan IA-CEPA. Manfaat-manfaat itu jika dicermati dengan seksama merupakan kemenangan bersama bagi kedua negara. Tidak hanya di kalangan elite, tetapi juga masyarakat biasa. 

Sebuah kemenangan penting di saat dunia sedang bergerak tak tentu arah akibat ketidakpastian yang belum ada kejelasan hingga tulisan ini diselesaikan. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Makan Bakmi Sambil Nonton Konser QAMI? Ke Bakmitopia Aja


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler