Memburu Tax Gap

Minggu, 20 Februari 2011 – 00:02 WIB

JAWABANNYA meyakinkan"Jangan curiga begitu,” kata Tjiptardjo kepada pers usai RDP dengan Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (17/2) lalu

BACA JUGA: Ahmadiyah Bubar, Mungkinkah?

Mantan Dirjen Pajak itu berkata bahwa bisa rumah (mewah)  dan kebun (binatang), miliknya yang “wah” itu adalah hasil kerja selama 32 tahun bekerja di Dirjen Pajak
“Istri saya juga bekerja,” katanya.

Benar tidaknya klaim Tjiptardjo tersebut hanya dirinya, dan Tuhan lah, yang tahu

BACA JUGA: Membaca Mesir, Melirik Cina

Namun kita kembali terperangah ketika  Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) mengungkapkan temuannya soal transaksi janggal ratusan aparat pajak lainnya.

Syahdan, menurut PPATK, di lingkungan Ditjen Pajak sedang ditelisik rekening milik 3.616 pejabat dan 12.089 anggota keluarga mereka
Di Bea Cukai 1.245 pejabat dan 3.408 famili mereka.

Rupanya, banyak pejabat Ditjen Pajak melakukan transaksi tunai dalam kisaran Rp500 juta hingga Rp27 miliar per pejabat, baik rekening pribadi maupun istri dan anak tanpa didukung dasar transaksi yang memadai.

Sejauh ini baru Gayus Tambunan yang diproses di meja hijau

BACA JUGA: Gaji Besar Korupsi Juga

Selebihnya? Tak heran jika Gayus pernah kecewa, dan disampaikannya saat membela diri di pengadilan, bahwa hanya ikan teri seperti dirinya, Arafat, Sri Sumartini, Alif Kuncoro, Humala, dan Maruli, (yang) ditangkapYang lain, mengapa belum juga diproses?

***
Seraya menunggu langkah hukum yang tak pilih bulu, kini ada pula Hak Angket Mafia Perpajakan DPR RIKe arah mana gerangan hak angket ini melangkah? Apakah juga akan mengusut pengakuan Gayus maupun temuan PPATK?

Masalahnya, karena “mafia perpajakan” itu berlangsung mulus karena dalam prakteknya, nilai pajak pengusaha boleh “ditukang-tukangi.”  Kira-kira separonya tak terekam dalam pertumbuhan ekonomi, karena setengahnya dinikmati oleh sejenis “Gayus Tambunan” dan jaringannya serta  pebisnis “hantu” itu.

Bulu tengkuk kita bergidikAda 15.000 pegawai Ditjen Pajak yang kontak dengan wajib pajakBukan generalisasi, tetapi posisi mereka rawan, atau berpotensi  terlibat seperti dilakukan oleh Gayus.

Darmin Nasution semasih menjadi Dirjen Pajak pernah mensinyalir bahwa potensi penerimaan pajak yang hilang (tax gap) diperkirakan sekitar 35%Wow, sekira Rp 300 triliun.

Efeknya, pertumbuhan tergangguHak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur berkurang pula.

Korupsi ala Gayus, jika kelak terbuktikan di pengadilan, termasuk berbagai kasus suap dan korupsi lainnya akan berefek kepada kualitas dan percepatan pembangunan karena digerus tax gap.

Suap memang menguntungkan pengusahaMisalnya, ketika pajak mereka direndahkan, bisa membeli keputusan DPR, vonis hakim, tapi berakibat buruk kepada khalayak ramaiBiaya sosialnya terlalu mahal, sehingga betapa “jahat” dan layak disebut sebagai musuh publik.

Sekelas Presiden Obama pun risauTax gap di AS sekitar US$ 3 miliar, yakni nilai selisih antara kewajiban pajak dengan pajak yang dihimpunLalu ia bentuk the Volcker Task Force, sejenis pengawas pajak tetapi di luar Departemen KeuanganTak seperti KPP (komite pengawas pajak) di sini yang justru di bawah kementerian Keuangan

Kewenangan Ditjen Pajak yang sekaligus berfungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif memang terlalu besarSemestinya, cukuplah fungsi eksekutif sajaYakni memungut pajak dan mengawasi kepatuhan wajib pajak

Khusus fungsi legislatif dan yudikatif mestinya dipisahkan sajaLalu, dibuat badan baru di luar Ditjen Pajak tapi tetap di bawah Kementerian Keuangan

Adapun fungsi legislatif adalah kewenangan Ditjen Pajak mengeluarkan aturan pelaksanaan UU Perpajakan dan memberikan tafsirnyaSedang fungsi yudikatif yaitu menangani keberatan atas Surat Ketetapan Pajak.

Terpusatnya ketiga kekuasaan itu akan merangsang Dirtjen Pajak memacu target sehingga menimbulkan sengketa pajakEh, yang mengadili “orang pajak” juga.

Harus  ada great wall, tembok pemisah antar ketiga fungsi ituKewenangan yang terpusat, dan monopolistik, memang cenderung menuju abused of power.

***

Lagi-lagi pertanyaan kita ke arah mana gerangan hak Angket Mafia Perpajakan akan bermuara? Seriuskah hak angket ini menumpas “mafia perpajakan?” Maklum, sekitar 80% APBN atau sekitar Rp 800 triliun bersumber dari penerimaan pajak.

Mudah-mudahan saja tak beralih menjadi “kegaduhan politik”,  karena secara hukum, baik kepolisian dan KPK juga sedang menangani kasus iniApalagi jika menjadi bargaining politik menjelang isu reshuffle kabinet, sangatlah disayangkan.

Syahdan, regulasi perpajakan yang diatur dalam sebuah UU produk DPR pada 2007 silam, penuh dengan “lubang-lubang” yang perlu direvisiInti soalnya, UU itu membuka sengketa pajak dan restitusi ke arah yang oleh banyak pengamat dilukiskan mengandung ketidak-pastian hukum.

Hingga akhir 2010 lalu saja masih tertunggak 9300 perkara pajakPadahal, Jepang yang jauh lebih banyak wajib pajaknya hanya mencatat 300-an kasusDi Jepang malah dikenal ada jurisprudentie, yang memungkinkan sengketa pajak yang kasusnya sama dan sebangun mengakomodasi kasus yang sama dan sebangun pula.

Sementara di sini, dianggap satu beda dengan yang lain, karena peradilan pajak kita tidak berakhir di Mahkamah Agung, yang justru mestinya membawahkan semua system peradilan khusus di Indonesia.

Tak heran jika sengketa pajak kita penuh multi-interpretasi dan keberatan dari wajib pajakJika Ditjen Pajak menolak keberatan wajib pajak, maka wajib pajak akan berjuang harus menang di peradilanSebab jika kalah, akan kena denda pula 100% dari pajak yang dikenakan.

Situasi itulah yang membuka peluang menuju negosiasi atau “mafia perpajakan.”  Pajak bisa dikurangi sepanjang saling mengangguk dalam “negosiasi” seperti telah dilakukan Gayus Tambunan.

Syukurlah, Menteri Keuangan Agus Martowardojo telah merilis  kebijakan pajak yang berlaku tahun iniYakni, melimpahkan fungsi pembuatan kebijakan pajak dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Jika selama ini kebijakan dan regulasi pajak dipegang oleh Dirjen Pajak, sekarang dialihkan kepada BKFSelama ini Ditjen Pajak berwenang mengurus administrasi dan pemungutan pajak, sehingga memungkinkan untuk kongkal kong dengan para wajib pajak.

Tapi bagaimana dengan keharusan Peradilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung? Kita harapkan hak angket DPR fokus kepada berbagai hal yang menumpas peluang terjadinya mafia pajakBukannya “gaduh politik” belaka(**)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Impor Pangan & Impor Revolusi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler