jpnn.com, REYHANLI - Malang nian nasib Mazin Yusif. Kehidupan remaja 13 tahun di Reyhanli, Turki selatan itu berubah seketika, Selasa (4/4) kemarin.
Yusif tidak akan pernah melupakan suara ledakan yang didengarnya pagi itu. Ledakan yang diikuti kepulan asap berwarna kuning dan biru itulah yang mengubah hidupnya. Kini dia hanya tinggal berdua dengan sang nenek yang dirawat di Reyhanli State Hospital di Turki.
BACA JUGA: Hubungan Memanas, Turki Sebut Jerman Bermuka Dua
’’Mereka mengatakan kepada saya bahwa kakek saya, sepupu-sepupu saya, dan anak mereka meninggal dunia,’’ kata Yusif.
Yasir dan Ahmed adalah dua sepupunya yang disebut menjadi korban dalam serangan gas beracun tersebut. Yasir yang masih pengantin baru meninggalkan seorang istri. Namun, Ahmed mati bersama istri dan anak kembar mereka.
BACA JUGA: Suriah Tuding Turki Khianati Komitmen Perdamaian
Total, Yusif kehilangan 19 kerabat pada Selasa lalu. Dia sendiri nyaris kehilangan nyawa. Sebab, pagi itu dia berada sangat dekat dengan gas beracun yang tersebar bersamaan dengan suara ledakan. ’’Saya melihat bom meledak di dekat rumah kakek. Tanpa alas kaki, saya langsung berlari ke sana karena melihat kakek tersengal-sengal seperti kehabisan napas,’’ ungkapnya.
Saat berusaha menolong sang kakek, Yusif lantas pingsan. ’’Saya terbangun di atas sebuah tempat tidur. Saya telanjang. Saya tidak ingat apa-apa,’’ katanya.
BACA JUGA: Tegang, Polisi Mengamuk di Klinik Kejiwaan
Beruntung, nyawa Yusif masih tertolong. Bahkan, dia tidak perlu menjalani perawatan intensif karena kesehatannya pulih dengan cepat. Kini dia tinggal menunggu neneknya, Aisha Al Tilawi, sehat kembali.
Baik Yusif maupun Al Tilawi mengatakan bahwa pesawat militer yang menjatuhkan bom berisi gas saraf itu melintasi Khan Sheikhun sekitar pukul 06.00. Saat itu sebagian warga, terutama anak-anak, masih tertidur. Itulah yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa.
’’Tak bisa terungkapkan dengan kata-kata,’’ ujar Othman Al Khani, saksi sekaligus aktivis kemanusiaan setempat. Sebagai salah satu sukarelawan yang kali pertama mengulurkan tangannya untuk menolong para korban, dia melihat langsung kengerian Selasa pagi itu.
Kepada Al Jazeera, dia mengakui bahwa menyaksikan anak-anak mengembuskan napas terakhir adalah bagian paling menyakitkan. Hani Ahmed Al Qutaini, sukarelawan Syrian Civil Defence atau White Helmets, mengatakan tidak pernah menyaksikan kepanikan yang sama sebelumnya.
Semua orang di sekitar lokasi ledakan takut dan bingung. Saat tiba di lokasi, di kanan-kiri Al Qutaini anak-anak dan orang dewasa terlihat bergelimpangan. Sebagian meninggal dunia dan sebagian lainnya sedang berjuang melawan maut.
’’Tidak semua anggota kami dilengkapi topeng gas atau masker antigas. Kami berusaha menolong sebanyak-banyaknya orang. Tapi, peralatan kami juga terbatas,’’ papar Al Qutaini.
Sembari mengevakuasi para korban yang masih bisa bernapas, dia mengatakan mendengar suara empat ledakan lagi di lokasi yang tidak terlalu jauh. Dia yakin siapa pun yang melancarkan serangan maut itu memang menarget warga sipil. (cnn/aljazeera/hep/c15/any/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenkeu Akui Terduga Pendukung ISIS Eks Pegawainya
Redaktur : Tim Redaksi