jpnn.com - Berbicara tentang kelembagaan pelaksana pemilu, kita mesti kembali kepada UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Di dalam undang-undang ini dinyatakan adanya dua lembaga pelaksana pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
BACA JUGA: Menakar Parliamentary Threshold
Keberadaan KPU bahkan memiliki landasan konstitusional yang secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan KPU sebagai pelaksana pemilu, bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Tugas dan kewenangan KPU secara umum mencakup tiga hal: (1) menetapkan peraturan setiap tahapan Pemilu berdasarkan UU Pemilu; (2) merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan proses penyelenggaraan tahapan Pemilu berdasarkan UU Pemilu; serta (3) menegakkan ketentuan administrasi Pemilu.
BACA JUGA: Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif
Termasuk dalam tugas ini antara lain mendaftar, meneliti dan menetapkan partai politik dan perseorangan yang berhak sebagai peserta pemilihan umum, menetapkan anggota KPU Provinsi dari calon yang diajukan oleh Tim Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi, mengkoordinasikan kegiatan pemilihan umum, menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD dan DPD, mendaftar, meneliti dan menetapkan daftar calon anggota DPR dan DPRD, dan menetapkan keseluruhan hasil pemilu untuk semua daerah pemilihan.
Ada sementara pertanyaan yang muncul di kalangan anggota pansus terkait dengan penyelenggara pemilu ini, diantaranya adalah bagaimana memaknai “kemandirian” KPU selaku lembaga pelaksana pemilu, sejauhmana KPU memiliki kewenangan dalam menyusun peraturan tentang pemilu, dan sejauhmana kemandirian dalam pelaksanaannya?
BACA JUGA: Presidential Threshold, Masihkah Relevan?
Kemandirian KPU dimaknai dalam konteks mandiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tanpa intervensi dari pihak lain. Supporting sistem kesekjenan KPU maupun support pembiayaan dari kementrian Keuangan lebih dimaknai sebagai membantu memperlancar tugas-tugas KPU.
Sementara itu, dalam kewenangannya menyusun peraturan pelaksanaan, Pansus RUU Pemilu memandang bahwa batas peraturan yang disusun oleh KPU adalah juklak dan juknis yang berorientasi pada tercapainya tujuan teknis dalam penyelenggaraan pemilu, dengan mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu.
Dalam kerangka ini, maka dibutuhkan Forum Konsultasi KPU melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR dan Pemerintah, agar penerjemahan gagasan turunan dalam juklak dan juknis pemilu selaras dengan nafas dan filosifi peraturan yang ada dalam Undang-undang.
Ketentuan tentang hal ini mulai diterapkan pada UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sayangnya, sebagai lembaga pelaksana, KPU justru melakukan Judisial Review terhadap ketentuan Forum Konsultasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi, dengan alasan mengganggu kemandirian.
Namun demikian, DPR berharap Mahkamah Konstitusi memahami ruang batin dan filosofi tentang Forum Konsultasi tersebut, sehingga tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Kemandirian KPU dalam konteks ini seharusnya dimaknai dengan kemandirian dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pemilu, mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga menetapkan hasil-hasil pemilu, tanpa bisa dipengaruhi pihak manapun; bukan dalam hal penyusunan regulasi pemilu.
Karena betapapun regulasi pelaksanaan yang dibuat KPU tidak bisa terlepas dari Undang-undang tentang pelaksanaan pemilu yang menjadi rujukan utama dalam melaksanakan pemilu.
Selain menyebut KPU sebagai penyelenggara pemilu, UU Nomor 15 Tahun 2011 juga menyebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai institusi pengawas penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks perundangan, Bawaslu memiliki tiga tugas dan kewenangan berikut.
Pertama, melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahap proses penyelenggaraan pemilihan umum dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu.
Kedua, menerima dan mengkaji laporan mengenai dugaan pelanggaran ketentuan administrasi pemilihan umum dan dugaan pelanggaran ketentuan pidana Pemilu. Tiga pihak dalam masyarakat diberi hak untuk mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran Pemilu, yaitu Peserta Pemilu, Pemantau Pemilu yang terakreditasi, dan Pemilih Terdaftar.
Bila laporan itu dipandang memiliki bukti awal yang memadai, Bawaslu meneruskan laporan dugaan pelanggaran tersebut kepada KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota apabila menyangkut dugaan pelanggaran ketentuan administrasi Pemilu atau kepada Kepolisian Republik Indonesia apabila menyangkut dugaan pelanggaran ketentuan pidana Pemilu.
Dan ketiga, menyelesaikan sengketa administrasi pemilihan umum secara final dan mengikat kecuali untuk dua kasus sengketa. Kedua kasus yang dimaksud adalah sengketa administrasi penetapan peserta Pemilu dan sengketa penetapan daftar calon anggota DPR dan DPRD.
Putusan Bawaslu mengenai kedua jenis kasus ini tidak bersifat final karena KPU masih dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang putusannya bersifat final.
Hampir mayoritas anggota Pansus menghendaki adanya penguatan peran kelembagaan Bawaslu, untuk menjadi semacam Lembaga Peradilan Pemilu, yang memiliki kewenangan penuh dalam menyelesaikan kasus sengketa administrasi dan proses pelaksanaan pemilu.
Hal ini dimaksudkan untuk efektifitas penyelesaian kasus-kasus pemilu, agar tidak bertele-tele dan melampaui batas waktu pelaksanaan pemilu; serta yang terpenting juga adalah efisiensi biaya pemilu, baik bagi peserta pemilu maupun bagi pelaksana pemilu. Sebab semakin murah biaya pemilu, maka semakin minim efek psikologis terhadap dampak yang ditimbulkan oleh sengketa kasus-kasus pemilu.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan peran pengawasan Bawaslu? Tentu tidak adil jika Bawaslu telah menjadi Lembaga Peradilan Pemilu sementara masih memegang kendali atas pengawasan karena dikhawatirkan akan terjadi konflik interes.
Di sini banyak kalangan yang menginginkan agar peran pemantau pemilu ditingkatkan menjadi pengawas. Hal ini dalam rangka menjaring partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam pelaksanaan pemilu.
Selama ini, pemantau pemilu hampir hanya menjadi pelengkap penderita dalam pelaksanaan pemilu; tanpa peran yang berarti. Dengan diperkuatnya peran pemantau pemilu menjadi memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pelaporan temuan kasus ke Bawaslu, maka diharapkan akan semakin besar partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan.
Semakin besar partisipasi masyarakar dalam pemilu, maka kesadaran berpolitik masyarakat akan semakin tinggi dan pemilu menjadi “milik bersama” dalam ruang batin masyarakat. Dan dengan demikian maka angka partisipasi pemilu naik, dan pemilu akan berjalan lebih demokratis.
Dalam rangka menunjang kerja-kerja pemilu yang tidak ringan, secara kelembagaan KPU dan Bawaslu perlu kiranya ditambah keanggotaan komisionernya. Mengapa? Sebab tugas KPU dan Bawaslu disamping tugas-tugas yang telah dimandatkan undang-undang, mereka juga memiliki tugas kelembagaan pembinaan dan pengawasan kawasan wilayah terhadap struktur di bawahnya.
Atas dasar ini berkembang wacana penambahan anggota KPU dan Bawaslu menjadi 9 orang anggota, KPU Propinsi dan Bawaslu Propinsi antara 5-9 orang tergantung luas wilayah dan jumlah Kabupaten/ kota yang berada dalam wilayah kerjanya.
Demikian pula KPU Kabupaten/ Kota dan Bawaslu Kabupaten/ Kota, jumlahnya ditentukan antara 5-7 orang anggota sesuai besaran wilayah kerja dan banyaknya jumlah kecamatan yang menjadi wilayah kerjanya.
Sementara itu, pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden/ wakil presiden yang diseleggarakan secara serentak di sisi lain juga menuntut efisiensi dalam bangunan kelembagaan pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Dengan diselenggarakannya pemilu serentak, maka waktu yang dibutuhkan juga akan semakin singkat. Sehingga muncullah pemikiran untuk kiranya penyelenggara pemilu bersifat ad hoc, bukan permanen seperti selama ini.
Namun demikian, meskipun pelaksanaan pemilu serentak hanya membutuhkan waktu yang singkat, akan tetapi ada beberapa tugas yang membutuhkan kontinyuitas kerja seperti pengurusan Pengganti Antar Waktu, pengurusan perangkat pemilu, dan pengurusan peradilan pemilu yang membutuhkan kelembagaan yang permanen.
Kemungkinan besar dari berbagai pendapat yang berkembang, baik kelembagaan KPU maupun Bawaslu nantinya akan permanen sampai dengan tingkat propinsi, sedangkan mulai Kabupaten/ kota akan dibentuk kelembagaan yang bersifat ad hoc.
Tanpa bermaksud mendahului keputusan, maka penting kita hargai berbagai pendapat sedang dipertarungkan dalam rapat-rapat pansus; sambil berharap nantinya dapat diambil mana yang lebih mendekati pemenuhan kebutuhan dan tetap memegangi prinsip efisiensi.
*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menata Setara Nilai Kursi Parlemen
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam