JAKARTA - Dugaan adanya aktifitas gerakan garis keras di Pondok Pesantren (Ponpes) Umar bin Khattab (UBK), Desa Sanolo, Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), tampaknya, bukan isapan jempolMenteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, tempat yang mencuat setelah terjadinya ledakan itu tidak memenuhi syarat sebagai sebuah ponpes.
"Saya ingin menegaskan, pondok pesantren Bima itu bukan pondok pesantren," kata Suryadharma di sela Peringatan Harlah NU ke- 85 di Gelora Bung Karno, kemarin (17/7)
BACA JUGA: MK Bantah Politisasi Kasus Andi Nurpati
Syarat sebagai ponpes, kata dia, antara lain ada kiai yang berpengaruh, ponpes itu terbuka, dan tidak eksklusif.Selain itu, sumber ajaran dalam sebuah ponpes juga jelas
Ciri lain dari ponpes, lanjut dia, adalah memberikan pengaruh kepada masyarakat di bidang kecerdasan, intelektual, budaya, dan pengembangan ekonomi
BACA JUGA: Syamsul Siap Hadiri Sidang Tanpa Kursi Roda
Misalnya adanya usaha kecil dan menengah di sekitar ponpesPonpes UBK juga disebut ilegal karena tidak terdaftar di kementerian agama
BACA JUGA: NU-SBY Saling Puji
"Kurikulumnya nggak jelas," kata SuryadharmaKetua umum PPP itu meminta masyarakat waspada dengan kemungkinan masuknya paham-paham keagamaan yang menyimpang, terutama berkaitan dengan radikalismeSaat ini, kata Suryadharma, tengah dikembangkan forum komunikasi umat beragama sehingga tidak ada gesekan antarumatSementara aparat penegak hukum diminta lebih jeli terhadap potensi aksi kekerasanMenurutnya, ormas-ormas Islam sudah ikut bekerja untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme.Terpisah, penyidik Detasemen Khusus 88 Mabes Polri terus mengembangkan keterkaitan ponpes di Bima dengan jaringan lain, termasuk alumni pelatihan ala militer di Jalin Jantho, Aceh"Dalam waktu dekat akan diadakan gelar barang buktiKalau memungkinkan di Jakarta, kalau tidak, cukup di Bima," kata Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar kemarin
Keterkaitan itu dilacak dari Uqbah alias Muhajir alias Mijihadul Haq yang juga pendiri Ponpes Umar Bin KhatabMujihadul kini sudah didakwa melakukan permufakatan, percobaan, atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan cara memberi bantuan sejumlah dana melalui Luthfi Haidaroh alias Ubaid, bendahara pelatihan militer di Aceh.
Dalam berkas tuntutan jaksa yang diperoleh Jawa Pos, sekitar bulan September 2009 Mujihadul datang menemui Ubaid di Jawa Timur, yang ketika itu meminta tolong mencarikan dana untuk jihadSetelah pertemuan, Mujahidul menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ubaid kepada Ustad Choiri dan Ustad Abrory (sudah tertangkap di Bima) mengenai kebutuhan bantuan dana untuk pesantren milik orang tua Ubaid dan dana untuk jihad fisabilillah.
Pada Bulan Desember 2009, Imron Baihaqi alias Abu Tholut alias Mustofa dan Ubaid menemui Mujihadul Haq di sebuah kantor JAT Bima, dan mengutarakan kembali perihal bantuan dana untuk jihadKemudian Mujihadul pun mencarikan dana dan mentransfer melalui bank.
Dana pertama yang dikirim sebanyak Rp 13.115.000 dan yang kedua - Rp 12.605.000, melalui Kantor Pos Cabang Bima ke rekening Bank Muamalat Shar-E nomor pelanggan 60192392039889901 atas nama Sus Hidayat PermanaSelain didakwa merencanakan dan melakukan permufakatan jahat, Mujihadul Haq juga didakwa menutupi adanya rencana tentang tindak pidana terorisme.
Akibat perbuatan tersebut Mujahidul Haq diancam pidana sesuai pasal 15 jo pasal 7 undang-undang No.15 tahun 2003 dan pasal 13 huruf (c) undang-undang No.15" tahun 2003(fal/rdl/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Datang, Stadion Melompong
Redaktur : Tim Redaksi