Mencapai Ujung Barat Indonesia Sabang Lewat Samudera Hindia

Minggu, 07 Juni 2015 – 04:26 WIB
CAKRAWALA BIRU: Suasana Pantai Ibouh di Pulau Rubiah. Foto: Aqwam Fiazmi Hanifan/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Sejarah mencatat, Sabang adalah kota para pelaut. Tak afdal jika saya tak memasukinya dari arah laut.

Sabang, Pulau Weh, berada di ujung barat Sumatera. Sejatinya, ada dua akses untuk bisa mencapainya.

BACA JUGA: Wow, Pementas Reog Ponorogo Beraksi di Atas Motor

Lewat udara dengan memakai pesawat dari Bandara Kuala Namu, Medan, atau jalur laut menyeberang melintasi Samudra Hindia dari Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh. Yang terakhir itulah yang saya pilih.

Papan usang berwarna kuning langsung menyambut saat kapal hendak bersauh di Pelabuhan Balohan.

BACA JUGA: Menikmati Pegunungan, Bukit, Keramahan, dan Ninja Negeri Sakura

’’Selamat datang di kawasan pelabuhan bebas Sabang.’’ Kesuraman terasa menghinggapi dari pelabuhan di kota ini. Tak ada kebanggaan dari masa lalu yang bisa ditampakkan.

Pulau Weh punya sejarah masa lalu yang bisa dibanggakan. Seorang ahli bumi Yunani, Ptolomacus, Sinbad Si Pelaut, dan Marco Polo konon pernah mengunjunginya.

BACA JUGA: Sejarah Dinamakannya Masjid Kemayoran di Surabaya

Pada masa penjajahan kolonial. Lokasi Sabang yang strategis membuat Belanda membangun sebuah dermaga. Sejak 1895, Sabang pun bergeliat menjadi pelabuhan bebas. Posisi sebagai pulau terluar di Selat Malaka menjadikan Sabang lebih sering disinggahi kapal dagang asing ketimbang Singapura. Di Nusantara, nama Sabang lebih harum daripada Sunda Kelapa.

Sabang yang dulu merupakan desa nelayan berubah jadi kota terpenting di jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia. Tapi, itu dulu. Sejak 1985, Orde Baru mengalihkan pelabuhan bebas dari Sabang ke Batam. Akibatnya, kota tersebut kini sunyi dan sepi.

Jika Anda pencinta bangunan-bangunan kuno, berkunjunglah ke Sabang. Ada sekitar 80 gedung bergaya neoclassic dan art nouveu bekas Belanda yang masih utuh berderet rapi sepanjang jalan. Suasana yang damai dan tenang semakin mengukuhkan suasana pada masa silam.

Di Sabang memang tidak ada angkot atau motor yang ugal-ugalan. Bunyi klakson kendaraan yang terjebak dalam kemacetan tak akan kita dengar. Jalanan di kota ini teramat hening. Aspalnya mulus tanpa lubang. Jujur saja, saya belum menemukan kerusakan aspal yang berarti. Kenyamanan itulah yang membuat saya bisa menggeber motor dengan kecepatan 50–60 kilometer per jam tanpa henti.

Hanya butuh waktu beberapa jam untuk bisa mengelilingi seluruh lokasi wisata di sana. Maklum, luas Pulau Weh hanya 150 km2. Jalanan di Sabang berkelok, naik dan turun. Menyisir jurang, menelusuri pantai, dan menembus hutan.

Berkeliling di Sabang, Anda harus berhati-hati pada dua hal: babi hutan dan sapi. Merekalah penguasa jalanan. Beberapa kali saya sempat celaka karena mereka menyeberang dengan seenaknya. Huh!

’’Di sini, kecelakaan rata-rata karena sapi dan babi apalagi kalau malam. Karena tak ada lampu jalan, harus hati-hati, Bang,’’ ucap Zainal, warga lokal.

Reyhan Gufrian, mahasiswa semester akhir jurusan psikologi Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, mengamati Sabang selama tiga bulan. Dia menelisik soal happiness index. Suatu hal yang rumit dan kompleks. Hasil penelitiannya, bagi penduduk Sabang, kebahagiaan adalah ketenangan.

Sosok itulah yang menemani saya berkeliling Sabang. Saya sempat tertegun saat melihat banyak sepeda motor terparkir dengan kunci kontak yang masih tergantung. ’’Di sini sudah biasa. Mau ditaruh semalaman juga motor itu gak akan hilang,’’ katanya.

Keamanan merupakan faktor penting fondasi dasar ketenangan. Alangkah terkejutnya saya saat datang ke Polres Sabang dan melihat laporan kasus kriminal yang terjadi di pulau itu. Per bulan hanya berkisar belasan kasus. Itu pun kebanyakan adalah kasus perkelahian. Bukan pencurian atau pembunuhan.

Saat konflik, Sabang adalah daerah merah, basis GAM. Di pulau itu juga terdapat markas militer TNI-AL. Namun, kedua pihak sepakat menahan kontak tembak.

Di Sabang, malam adalah siang dan siang adalah malam. Kebanyakan aktivitas dilakukan saat malam. Kultur sebagai bekas kota nelayan masih membekas di sana. Saat siang datang, kesunyian akan menghinggapi. Saya sempat sulit mencari rumah makan yang buka siang.

’’Jika malam tiba, masyarakat di sini tak pernah mencoba gaduh atau riuh. Kebahagiaan yang mereka rasakan didapat dari rasa sunyi, tenang, dan sepi yang mereka ciptakan saat berinteraksi,’’ ungkap Reyhan.

Eksotisme pantai-pantai di Sabang, khususnya di pesisir pantai barat, jadi daya tarik wisatawan. Pantai pasir putih yang menghampar dipadu ketenangan ombak dan siluet warna hijau tosca yang tempias membayang dari dasar laut selalu jadi primadona. Banyak resor di sepanjang Pantai Kasih, Pantai Sumur Tiga, dan Pantai Ano Itam.

Sayangnya, kebanyakan resor itu dimiliki orang asing. ’’Saya senang di Sabang. Dua hal yang selalu saya promosikan: ketenangan dan kedamaian. Orang senang dengan hal itu. Biarkanlah pulau ini tetap terasing,’’ ucap warga negara Belanda pemilik bungalo, Casa Nemo.

Sabang adalah lokasi tepat bagi kaum urban kota untuk menghilangkan penat. Namun, yang menjadi soal, bisakah Anda mendapat kebahagiaan dalam ketenangan di Sabang? Mengutip filsuf Jean Paul Sartre, ’’Jika Anda merasa tak bahagia di tempat sesuatu yang tenang, berarti ada yang salah dalam diri Anda.’’ (*/c5/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejarah Masjid Kemayoran, Bikin Belanda Risi saat Dengar Azan dan Pengajian


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler