jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Sosial Yayat Ruhiyat mengatakan perguruan tinggi tidak hanya memegang peranan dalam hal pendidikan, namun juga pada aspek sosial. Sebab perguruan tinggi yang dikelola profesional akan melahirkan nilai dan kepercayaan bagi publik. Untuk mewujudkan hal tersebut, perguruan tinggi harus dikelola orang-orang yang memiliki kompetensi mumpuni.
“Pentingnya peran sumber daya manusia (SDM) dalam suatu organisasi mesti didukung pula oleh organisasi yang sehat dan kuat,” kata Yayat Ruhiyat seperti dilansir dalam siaran pers diterima Selasa (26/2).
BACA JUGA: Pemimpin dan Idealisme Keagrariaan
Jika dihubungkan dengan perguruan tinggi, kata dia, maka dapat dikatakan semua orang yang bekerja dan terlibat di dalamnya merupakan aset yang perlu dikelola dengan baik agar dapat mewujudkan visi dan misi perguruan tinggi.
Menurutnya, mencari orang yang tepat dengan keterampilan yang tepat untuk posisi yang tepat adalah tantangan paling mendasar dalam manajemen SDM pada organisasi apa pun, apalagi perguruan tinggi.
BACA JUGA: Kemenristekdikti Siapkan Rp 5 Miliar untuk Perguruan Tinggi Inovatif
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa orang yang menduduki jabatan apapun, khususnya untuk pemimpin perguruan tinggi/rektor, hendaknya memiliki kemampuan dan kompetensi yang mumpuni agar layak menduduki jabatan tersebut.
Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah disparitas. Terdapatnya perbedaan kualitas pada institusi pendidikan di Indonesia, seperti kualitas SDM, fasilitas yang ditawarkan, dan kemampuan bersaing dengan institusi internasional.
BACA JUGA: Bantu Perguruan Tinggi Siapkan Tenaga Ahli di Bidang Pertambangan
Hal tersebut, kata dia, membuktikan bahwa dibutuhkan kemampuan dan kompetensi khusus untuk mengelola perguruan tinggi, khususnya untuk perguruan tinggi di Indonesia yang juga dipimpin akademisi. Pemimpin perguruan tinggi sebagai pejabat struktural yang memiliki atasan dan bawahan juga tetap sebagai akademisi yang tugas utamanya mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat sesuai Tridharma Perguruan Tinggi.
Pertajam Mekanisme
Sementara itu, dalam kasus pemilihan rektor (pilrek) Universitas Padjadjaran (Unpad) periode 2019-2024, yang hingga kini masih tertunda, setidaknya ada empat hal yang dirumuskan dalam rapat pleno Majelis Wali Amanat (MWA), beberapa waktu lalu, yang diketuai Rudiantara.
Pertama, proses pilrek Unpad terus berjalan melanjutkan dari 3 calon yang telah ditetapkan MWA.
Kedua, berkenaan dengan perbaikan tata kelola dalam penyelenggaraan pilrek, seluruh pemangku kepentingan Unpad, mulai masyarakat, regulator, Senat Akademik, dosen, tenaga kependidikan, alumni dan lainnya, diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan dan/atau pengaduan terhadap ketiga Calon Rektor (calrek).
Ketiga, MWA sepakat membuat sistem dan proses pengaduan (whistle blowing system) untuk hal-hal yang berkaitan dengan MWA, khususnya terkait pilrek. Hal ini sejalan dengan rekomendasi yang diberikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tentang penanganan dan pengaduan.
“Keempat, setelah menampung dan menindaklanjuti masukan/pengaduan, jika tidak ada perubahan atas calrek, maka pilrek Unpad 2019-2024 dijadwalkan dilakukan pada pertengahan Februari 2019. MWA telah mengkaji semua opsi proses pemilihan Rektor sedemikian rupa, sehingga Rektor Unpad periode 2019-2024 akan ditetapkan dan dilantik sebelum masa akhir jabatan Rektor Unpad saat ini,” ujar Siti Karlinah, anggota MWA Unpad.
Sementara itu, Keluarga Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (KA-IP UNPAD) menyatakan keprihatinan akan kuatnya aroma kepentingan sesaat dalam pilrek Unpad.
“KA-IP Unpad meminta dengan tegas agar seluruh anggota MWA dan Panitia Pemilihan Rektor (PPR) menjaga marwah Unpad dari kepentingan pribadi yang sempit dan sesaat,” ungkap Ketua KA-IP UNPAD Ervik Ari Susanto.
Ervik menegaskan keprihatinan alumni Ilmu Pemerintahan UNPAD itu mencuat seiring berlarut-larutnya dan kisruh dalam pilrek Unpad.
Picu Kecurigaan Publik
Kemelut pilrek Unpad Bandung masih terus berlangsung. Bukan hanya tereliminasinya sejumlah calrek yang sudah terpilih, melainkan juga waktu pengunduran pemilihan ulang yang tidak berujung pangkal.
“Sejumlah pihak mengatakan, inilah bentuk ketidakberdayaan Rudiantara selaku Ketua MWA Unpad dan Mohamad Nasir, Menristekdikti. Dengan jatah 7 suara atau setara 35 persen dalam pilrek, Nasir dan Rudiantara, bisa membuat Unpad seolah tidak berdaya,” ungkap Chaidar Maulana Wardhana, Koordinator Lapangan (Korlap) Aliansi Masyarakat Peduli Unpad.
Awalnya, pilrek Unpad lancar-lancar saja. Namun, kekisruhan dan kasak-kusuk mulai terjadi ketika rektor yang juga petahana masuk delapan besar tidak lolos alias tereliminasi dalam tiga besar.
Pilrek pun akhirnya terkatung-katung hingga tiga kali diundur dengan berbagai alasan. Kedua menteri ini sangat berperan atas tarik ulurnya proses pilrek.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Rp 2,7 Triliun untuk Revitalisasi Proyek Mangkrak di Perguruan Tinggi
Redaktur & Reporter : Friederich