Jennifer Perrott adalah salah satu sutradara film pendek Australia yang film terbarunya ‘The Ravens’ mendapat penghargaan di Asia Pacific International Filmmaker Festival and Awards 2016. Baru-baru ini, Jennifer meluangkan waktunya untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari Australia Plus.

Kapan anda menyadari bahwa membuat film adalah panggilan jiwa anda?

BACA JUGA: Video: Sapi Australia Disiksa di Vietnam

Saya kuliah komunikasi di Universitas Teknologi Sydney (UTS) karena awalnya saya ingin jadi penulis. Dan lalu ada mata kuliah wajib ‘produksi film’di tahun pertama dan waktu itu saya berpikir ‘saya ingin jadi penulis bukan pembuat film’ tapi begitu saya dapat kesempatan untuk menyutradai film, saya langsung jatuh cinta pada pekerjaan ini. Jadi begitulah ceritanya

Apa yang membuat anda jatuh cinta pada film?

BACA JUGA: Festival Sup Bebaskan Kota ini dari Kemiskinan

Saya pikir itu karena ide penyampaian cerita dengan gambar yang ada di film. Tapi kembali waktu saya kecil, waktu SD saya sempat mengarahkan drama sekolah, jadi mungkin memang sudah ada bibit itu sedari kecil. Lagipula saya suka menulis skenario.

Ceritakan film pendek terbaru anda, ‘The Ravens’.

BACA JUGA: Kehidupan Juru Masak Stasiun Peternakan di Internet

Film ini berkisah tentang tentara Australia yang berjuang untuk kembali ke kehidupan keluarga setelah perang yang dituturkan lewat mata anak perempuannya yang masih muda.

‘The Ravens’ baru saja mendapat penghargaan Platinum Asia Pasifik 2016 untuk Kategori Film Pendek dan nantinya akan  diputar di Festival Film Melbourne. Walau cuma film pendek, film ini membutuhkan banyak dana, karenanya dalam proses pembuatannya..saya menjadikannya seprofesional mungkin dan melibatkan orang-orang yang benar-benar kompeten, termasuk memilih artis cilik yang berperan di film ini.

Terus terang film ini terinspirasi oleh pengalaman saya pribadi sebagai anak veteran perang. 'The Ravens' karya Jennifer Perrott menangi Penghargaan Platinum Asia Pasifik untuk kategori film pendek di Asia Pacific International Filmmaker Festival and Awards 2016.

Supplied; Jennifer Perrott

Saat film dibuat, apakah anda tahu bahwa film itu akan masuk nominasi penghargaan?

Tentu saja tidak, saya tak pernah tahu. Anda benar-benar tak bisa tahu soal itu. Festival bisa jadi sulit bergantung pada panel jurinya dan juga bergantung pada film lain yang ada di festival itu, jadi sangat sulit untuk memprediksi festival film. Ya, anda benar-benar tak bisa tahu sebelumnya.

Menurut anda, bagaimana film bisa berperan dalam hubungan Australia-Indonesia?

Wah ini pertanyaan yang susah. Jadi begini, di film pendek saya yang terbaru ‘The Ravens’, saya menampilkan PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pasca Trauma). Nah gangguan ini menimpa siapa saja dari berbagai profesi, dan saya menulis ‘The Ravens’ se-universal mungkin yang saya bisa, dan saya tak mau mengaitkan film ini dengan perang atau konflik tertentu sehingga film ini tetap bisa relevan dan universal sepanjang masa. Saya pikir dengan alasan seperti itu, saya harap sebuah film bisa relevan dengan berbagai latar belakang dan pesannya mudah dipahami siapa saja dimana saja, termasuk di Indonesia.

Bagaimana cara seorang Jennifer Perrott membuat pencinta film menonton film garapannya?

Saya pikir anda harus membuat film sebaik mungkin. Salah satu kunci yang membuat film sukses adalah penonton menyukai karakternya dan mereka juga suka ceritanya. Dan itulah bagi saya ukuran sebuah film bisa dibilang sukses. Memang beberapa film lebih mudah dipasarkan seperti film blockbuster produksi Hollywood, dan beberapa film memang harus didistribusikan dengan cara lain dan bergantung pada penilaian dari mulut ke mulut untuk mempublikasikannya, tapi itu bukan ukuran kesuksesan. Walau tak saya pungkiri, film saya masuk kategori yang kedua.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak turis Indonesia kunjungi Vivid Sydney

Berita Terkait