Mengintip Geliat Prostitusi di Bogor Jelang Lebaran

Ada PSK Spesial Ramadan, Panti Sosial Jadi Kendala

Selasa, 16 Agustus 2011 – 08:08 WIB

Dunia prostitusi acap menyuguhkan fenomena unikPasalnya, saat semua PSK kawasan Puncak, Bogor, ramai-ramai pulang kampung, kupu-kupu malam musiman malah berdatangan.

Laporan: FREDY K -YUSKA

DAERAH Puncak memang telah dikenal di seantero Jabodetabek sebagai sarang prostitusi terbesar dan termurah

BACA JUGA: Pusing Menghadapi Murid yang Lebih Hafal Lagu Kebangsaan Malaysia

Cukup dengan membayar Rp200 ribu sekali kencan atau short time, para lelaki hidung belang sudah bisa mengisap madu sang kupu-kupu malam dengan tambahan Rp50.000 hingga Rp100 ribu untuk menyewa kamar atau vila per malam.

Seakan sudah menjadi tradisi, di saat beberapa pekerja seks komersial (PSK) pulang kampung, justru beberapa PSK musiman atau disebut PSK edisi spesial Ramadan, malah muncul dan marak beredar menjelang Lebaran
Sebab, para pemberi jasa kenikmatan sesaat itu hanya datang dan beroperasi pada bulan puasa hingga H-1 Idul Fitri.

Modus operandinya pun cukup terselubung

BACA JUGA: Disertasi Selamat setelah Bertemu Sumarlin di Lapangan Tenis

Karena mereka tidak mangkal di pinggir jalan dan di lokalisasi ilegal seperti Gang Semen
Untuk dapat mem-booking para PSK tersebut, lelaki hidung belang cukup datang ke hotel melati di sepanjang Jalan Raya Puncak

BACA JUGA: Apa Mau Dia, Bawa-bawa Nama Bapak?

Kemudian sang penjaga hotel akan menawarkan wanita kepada pengunjung dengan cara memberitahu ciri-ciri fisik sang PSK yang dikehendaki sesuai keinginan tamu.

Apabila sudah terjadi kesepakatan, si tamu pun tak perlu menunggu lama, karena 15 menit kemudian, sang PSK akan tiba di kamar dengan diantar oleh ojek atau mobil mucikarinyaFenomena seperti ini memang sudah lazim di daerah PuncakPasalnya, PSK edisi spesial tersebut merupakan kiriman dari tempat karaoke mewah dan beberapa hotel berbintang di Jakarta.

Seperti halnya Dhea (bukan nama sebenarnya, red)Perempuan asal Cisaat, Kabupaten Sukabumi, ini hanya datang ke Puncak saat Ramadan tibaSebab, perempuan berusia 24 tahun ini juga bekerja sebagai pemandu lagu (PL) pada salah satu hotel bintang lima di kawasan Gajah Mada, Jakarta PusatSekilas, orang pun tak akan menyangka bila Dhea adalah seorang PSK musiman, karena dari handphone, pakaian hingga sepatu yang ia kenakan merupakan merek ternama, dan hanya digunakan oleh gadis metropolis

Kepada Radar Bogor (Grup JPNN), Dhea mengatakan, ia bekerja sebagai PSK musiman karena karaoke hotel tempatnya bekerja tutup sejak pekan pertama RamadanSedangkan, Dhea tetap harus mengirim uang kepada keluarganya di CisaatSebenarnya, selain sebagai PL, gadis dengan empat tato di tubuhnya ini juga merangkap sebagai wanita panggilan, dengan tarif Rp500 ribu sekali kencan.

"Aku ke sini diajak teman dan tinggal bersama di kontrakan sampai Lebaran, mau gimana lagi kan harus ngirim dana ke keluargaSetelah itu aku kembali ke Jakarta untuk bekerja di tempat karaokeAku nggak mau lama-lama bekerja di sini, karena bayarannya terlalu murahLagipula Desember nanti aku ingin tunangan dengan pacar aku, tapi aku tak tahu kapan akan berhenti jadi PSKSebab semua lelaki sama saja, tukang bohong," jelasnya sambil mengutak-atik Blackberry Gemini Hitam 3G di tangan kanannya.

Menurut Dhea, pekerjaan tersebut sudah ia lakoni sejak lulus SMA pada 2005 laluDengan bekerja sebagai PSK, dia mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya selama merantau ke JakartaBahkan, Dhea juga mampu menyewa kamar kost dengan fasilitas mewah bertarif Rp2,5 juta per bulan.

"Saya ke Jakarta pas lulus SMA, awalnya ditawari kerja sebagai pelayan kafe, kemudian saya malah jadi pemandu laguAkhirnya karena ingin mengikuti kehidupan glamor Jakarta, saya terjun sebagai wanita penghibur," ujarnya sambil mengisap sebatang rokok.

Hal senada diungkapkan Shinta (bukan nama sebenarnya, red)Wanita asal Cianjur berusia 23 tahun ini menuturkan, menjadi PSK musiman merupakan kegiatan yang ia lakoni sejak dua tahun belakanganSebab, Shinta ingin mengimbangi gaya hidup glamor ala metropolitan Jakarta.

"Sebenarnya bukan kebutuhan ekonomi, karena orangtua saya bukan orang susahTapi agar saya bisa membeli barang-barang bermerek mulai dari HP hingga sepatu sendiriSoalnya nggak mungkin kalau saya minta ke orangtua, karena mereka tahunya saya bekerja sebagai model di Jakarta," tuturnya.

Shinta mengaku, pasca Idul Fitri, ia akan kembali ke ibukota untuk melakoni pekerjaannya sebagai PL yang sudah dua tahun dijalani"Setelah Lebaran saya mau balik lagi ke Jakarta dan menjadi PL, kalau jadi wanita panggilan di sana uangnya lebih banyakKarena, paling murah Rp500 ribu per kencan, tidak seperti di sini hanya Rp200 ribuSaya juga tak tahu sampai kapan jadi PSK, jujur saya bingung harus kerja di mana," paparnya sambil menenggak segelas bir

Lain di Puncak, lain pula di Kota BogorKondisi ironi akan nampak saat sang surya mulai beranjak dari langit BogorMenyisiri jalan-jalan protokol, mulai Jalan Pajajaran, Suryakencana, Kapten Muslihat hingga menepi ke kawasan Tugu Kujang, hati seakan tertipuBogor bukanlah kota halal dan berimanBagaimana tidak, Ramadan yang harusnya dijadikan sebagai momen untuk berlomba-lomba mencari kebajikan, ternyata masih dimanfaatkan untuk berbuat zina

Beberapa jalan yang seharusnya sepi dari kepungan PSK, saat ini masih saja beroperasi layaknya hari-hari biasaDi Jalan Pajajaran misalnyaJalan yang menjadi kebanggaan masyarakat Bogor ini biasa dikatakan tiada hari tanpa PSK dan wariaBeberapa titik seperti kawasan Tugu Kujang, sejak sepekan Ramadan, masih menjadi pangkalan hidup puluhan wanita jadi-jadian (waria, red)Umumnya, waria-waria ini adalah buangan dari wilayah luar Bogor

Sebut saja Tini (30), nama samaranWaria yang mengaku sudah lima tahun mangkal di kawasan Tugu Kujang ini bercerita, dahulu sebelum bekerja sebagai pemuas homoseks, ia adalah kuli bangunan di Jakarta Pusat:Sudah lima tahunan, MasDulunya saya sering mangkal di Stasiun Jakarta Kota, tetapi terus-terusan di razia,” ungkapnya

Hari-hari Tini memang tak jauh berbeda dengan waria-waria yang lain di kota hujanSiang biasanya mereka menikmati kasur di beberapa kontrakan di wilayah Bogor UtaraHidupnya pun tidak jauh berbeda dengan orang normalHanya, kecenderungan ucapan, tutur kata, tingkah dan perilaku mereka terlihat kemayu menyerupai perempuan“Sebenarnya kita juga tidak ingin hidup seperti ini, MasKita juga ingin hidup normal seperti manusia pada umumnyaTetapi, mau kerja apalagi,” ucapnya

Tidak hanya kawasan Tugu Kujang yang sering dijadikan tempat mangkal pria-pria yang mengalami kelainan seks iniTini mengatakan, saat Ramadan ini, justru waria-waria dari Jakarta lebih condong lari ke Bogor ketimbang DepokBeberapa lokasi di Bogor yang menurutnya menjadi pangkalan waria di antaranya Terminal Bubulak, Pajajaran, Ciheuleut, Empang dan Pasar Anyar“Kalau tertangkap paling kita hanya didata, kemudian dilepas lagi setelah ditahan semalaman,” tuturnya

Lalu bagaimana penuturan para PSK? Tidak jauh dengan lokalisasi waria, kira-kira dua kilometer dari Tugu Kujang, tepatnya di pangkalan ojek berseberangan dengan Kantor Polsek Bogor Timur, ada lokasi yang sering dijadikan PSK untuk mencari mangsaSaat malam tiba, kisaran pukul 21:00 hingga 03:30 dini hari, wanita-wanita berberpakaian mini dengan dandanan ala biduan dangdut nampak menghiasi emperan Jalan Pajajaran

Sebut saja Ani (32), wanita berambut ikal asli Solo ini mengaku jika pelariannya ke jurang prostitusi tak lain lantaran minimnya lapangan pekerjaanSetahun sudah waktu hidupnya ia habiskan untuk membayar nafsu pria-pria hidung belang yang melintas di PajajaranPenuturannya nyaris sama dengan TiniHanya, yang berbeda adalah cara membalas libido pelanggan-pelanggannyaTetapi, cerita pilu juga mengiringi perjalanannya kariernya di ranah lokalisasi“Kadang ada juga yang rese bayarnya dikitPadahal, sebelum berangkat ke hotel udah pasang harga pas,” kata Ani sembari menata baju mininya yang malam itu tertiup angin

Saat ditanya berapa harga pasaran yang ia tawarkan, Ani mengaku untuk pelanggan lama ia memasang Rp250 ribu short timeUntuk pelanggan baru ia jatuhkan harga Rp300 ribu sampai Rp400 ribu“Itu bayaran bersihUrusan hotel yang nanggung ya mereka (pria hidung belang, red),” katanya

Ani Cs biasa menyeret pelanggan-pelanggannya ke sebuah hotel yang tidak jauh dari tempat dia mangkalUntuk harga hotel melati tersebut, kena biaya sebesar Rp 125 ribu“Kalau nginep lain tarip dongYa, kalau untuk yang baru bisa kena Rp 700 ribu sampai Rp1 juta,” bebernya

Meski di bulan Ramadan seperti saat ini, Ani mengaku tidak henti-hentinya mencari pelangganMenurutnya, mendekatnya lebaran dan beban berat dua tiga orang anak yang ia miliki menjadi dorongan utama baginya untuk kejar setoran setiap malamnyaSaat ditanya banyaknya razia yang digelar pemkot akhir-akhir ini, Ani sama sekali tidak takutAlasannya, sangat simple ia ungkapkan“Ah, palingan juga ditahan semalam habis itu dilepasinDisuruh berhenti mangkal, emang mau dicariin kerja apa,” tanya janda yang mengaku bercerai dua tahun lalu itu

Semakin menjamurnya kawasan lokalisasi di kota hujan sampai saat inipun masih belum mampu tertangani dengan baikPokok permasalahan pelik bukan terletak pada minimnya giat razia yang digelar aparat trantib sajaNamun, masalah sulit justru terletak pada tindak lanjut dari giat operasi yang sebenarnya sudah diagendakan rutin.

Kasatpol PP Kota Bogor Yan Yan Rusmana mengaku stres jika dikepung sejumlah pertanyaan wartawanAkan dikemanakan PSK jika memang sudah ditertibkanToh, sampai dengan saat ini, pemkot belum mempunyai wadah pembinaan bagi para PSK, apalagi wariaKondisi ini diakuinya menjadi pilihan sulit Satpol PP dalam membersihkan bisnis terlarang tersebut“Kalau razia, kita gelar rutinNah, persoalannya akan dikemanakan PSK tersebut setelah ditangkap dan didata di Dinsosnakertrans,” ungkapnya, sembari geleng-geleng kepala.

Mantan Camat Bogor Selatan ini mengatakan, jika prostitusi sudah terlanjur menjadi budaya di kota hujan“Hanya kalau di Bulan Ramadan mereka sembunyi-sembunyiKalau untuk emperan sudah kita tertibkan rutin, meski masih ada beberapa titik yang membandel,” ungkapnya.

Tahun ini saja, Satpol PP terbilang kewalahan lantaran budget anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan razia minimTercatat, sampai semester pertama 2011, pihaknya sudah menggelar enam razia di sentral lokalisasiPadahal, jatah anggaran yang diplotting dari pemkot hanya untuk empat razia saja“Kita bahkan sudah paksakan dua kali razia lantaran banyak keluhan dari wargaNah, ini harus menjadi catatan penting dalam rapat anggaran,” ungkap Kasi Penyidikan dan Penindakan Satpol PP Kota Bogor Bugi Setiawan.

Bugi juga menyebutkan hasil penjaringan setiap tahunnya selalu meningkatPSK yang terjaring tidak hanya wanita tengah baya saja, tetapi juga anak-anak usia dini“Kemarin, kita tangkap ABG usia 14 tahunSangat memprihatinkan memang, mereka biasanya mengaku tidak punya biaya untuk sekolah,” katanya

Bahkan, Bugi juga menyebutkan beberapa PSK terpaksa mangkal dalam kondisi sakit lantaran terpojok untuk memenuhi kebutuhan hidup“Solusinya sebenarnya terlatak pada pembinaan sebagai bentuk tindak lanjut raziaSemasa belum ada panti social untuk pembinaan, jumlah PSK akan sulit ditekan,” ungkapnya

Lantas, bagaimana pandangan para ulama Bogor menyikapi masalah ini? Wakil Ketua MUI Kota Bogor Asep Wadud mengatakan masalah prostitusi sebenarnya hanya menuntut ketegasan dari pemkot sajaJika ada keseriusan untuk membersihkan, tentu jumlah mereka tidak akan membludak setiap tahunnya“Kenapa banyak dari mereka berasal dari luar BogorItu karena di Bogor justice bagi mereka lemah,” katanya.

Ditanya mengenai solusi yang bisa ditawarkan kepada pemkot, Asep mengatakan jika memang wanita-wanita tersebut membandel, harus ada pembinaan yang baik“Minimal dengan menyediakan wadah khusus pemberdayaan bagi merekaMereka juga manusia yang butuh perlindungan dan kebutuhan hidup,” tawarnya

Menyoal mengenai panti sosial, sebenarnya pemkot sudah berkali-kali mewacanakanNamun, masalah utama selalu datang dari ketersediaan anggaran yang minim“Kalau untuk lahan sebenarnya banyakNah, tinggal kemauan walikota untuk serius atau tidak mengetuk anggaran pembangunan,” ungkap Anggota Komisi A DPRD Kota Bogor Ani Sumarni.

Solusi lain ditawarkan Sekretaris Umum DPD Partai Golkar Kota Bogor Heri CahyonoPolitisi muda ini mengatakan pemkot harus mengalokasikan APBD untuk menangani masalah-masalah sosialKata dia, bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari masyarakat kota bogor, pada saat pemilu tidak sedikit dari mereka juga menyalurkan aspirasinya dan tentu kontrinusi mereka dalam berdemokrasi harus diapresisasi dengan memperjuangkan nasibnya agar kembali kejalan yang benar

“Tidak ada satupun makluk di dunia ini yg merasa nyaman hidup dan menekuni dunia hitam, jika mereka bisa memilih mereka pasti ingin hidup normal bekerja layaknya manusia normal dan menjalani kehidupan apa adanya,” katanyaHeri mengemukakan munculnya PSK tidak terlepas dari modernisasi kota hujan yang menyulap kondisi budaya sedemikian rupa(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kampoeng Ramadan Jogokariyan, Ikon Jogjakarta di Bulan Suci


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler