Menneg BUMN: BI Terlambat

Larangan Transaksi Valas Derivatif

Senin, 23 Februari 2009 – 08:44 WIB
JAKARTA - Kasus transaksi valas derivatif yang membelit beberapa perusahaan pelat merah mendapat perhatian khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengatakan, otoritas perbankan terlambat mengantisipasi meluasnya transaksi valas derivatif yang bersifat spekulatif"BI (Bank Indonesia, Red) terlambat melarang," ujarnya akhir pekan lalu.

Menurut Sofyan, keputusan BI untuk melarang transaksi derivatif yang bersifat spekulatif pada Januari lalu cukup terlambat

BACA JUGA: Kebijakan Ekonomi Tidak Tepat, Kesengsaraan Meningkat

"Padahal produk ini sudah dijual sejak 2007," katanya.

Karena keterlambatan tersebut, perbankan yang beroperasi di Indonesia bebas menjual produk transaksi derivatif spekulatif hingga akhir tahun lalu
Akibatnya, paling tidak empat BUMN dan banyak perusahaan swasta lainnya terjebak

BACA JUGA: Pasar Modern Hambat UMKM

"Ini juga terjadi di banyak negara Asia, tidak hanya di Indonesia," terangnya.

Menurut Sofyan, dalam transaksi derivatif model accumulator, jika Rupiah bisa menguat menguat di bawah Rp 10.000 per USD, maka perusahaan akan mendapat gain dari bank penjual produk.

Namun jika Rupiah melemah hingga di atas Rp 10.000 per USD, maka perusahaanlah yang harus membayar selisihnya kepada bank penjual produk
"Dalam model accumulator, selisih ini bisa jadi double, triple, dan seterusnya

BACA JUGA: Depkeu Ubah Tarif BM

Sehingga, ruginya banyak sekali," jelasnya.

Sofyan mengatakan, berdasar penelusuran Kementerian BUMN, produk dengan risiko tinggi tersebut hanya dijual oleh beberapa bank asing dan swasta"Bank BUMN tidak ada yang melakukan itu," ujarnya.

Sekretaris Kementerian Negara BUMN Said Didu menambahkan, beberapa bank yang menjual produk derivatif bersifat spekulatif harus disorot"Dengan model ini, bank mendapatkan gain dari selisih transaksiIni juga tidak sesuai dengan fungsi utama bank yang harusnya fokus pada intermediasi," katanya.

Menurut Said, sejak awal 2008, pihaknya sudah dua kali mengirimkan surat edara kepada BUMN-BUMN yang memiliki exposure besar terhadap valas, agar berhati-hati dengan potensi gejolak fluktuasi nilai tukar dengan melakukan analisis risiko yang sangat tajam"Jadi, sejak awal sebenarnya kami sudah mengingatkan," terangnya.

Berdasar laporan yang masuk ke Kementerian BUMN, empat BUMN yang sempat terjebak dalam transaksi derivatif adalah PT Timah, PT Antam, PT Danareksa, dan PT Elnusa (anak usaha Pertamina)Antam dikabarkan memiliki transaksi yang paling besar dibanding BUMN lainnya.

Namun, menurut Sofyan Djalil, dari keempat BUMN, tinggal Danareksa yang belum menuntaskan transaksi, sedangkan tiga lainnya sudah selesai"Kami cukup puas dengan penyelesaian tersebutTapi soal nilai kerugian, saat ini masih dikumpulkan," ujarnya.

Ketika dikonfirmasi, Dirut PT Antam Alwinsyah Lubis mengatakan, pihaknya sudah menutup semua posisi terbuka dalam transaksi derivatifNamun, terkait nilai kerugian, dia enggan berkomentar"Saat ini masih diaudit oleh Ernst and Young (konsultan keuangan), Maret nanti baru diketahui hasilnya," katanya(owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Untuk Menghindari Spekulasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler