Menyongsong Pemilu Serentak 2019

Senin, 08 Mei 2017 – 05:30 WIB
Lukman Edy. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Pemilu sebagai perwujudan dari sistem demokrasi merupakan sarana atau mekanisme ideal dalam rangka proses peralihan kekuasaan secara damai dan tertib. Dengan penyelenggaraan pemilu, maka diharapkan bahwa proses peralihan kekuasaan dalam suatu negara akan dapat berjalan dengan baik.

Dalam praktek sistem pemilu yang dijalankan di Indonesia belakangan ini, fakta telah mencatat bahwa model pemilu secara langsung telah membawa sejumlah dampak positif. Salah satunya adalah lahirnya pemimpin bangsa, baik presiden maupun sejumlah kepala daerah yang didasarkan atas pilihan mayoritas masyarakat Indonesia.

BACA JUGA: Undang-Undang Pemilu dan Konsolidasi Demokrasi

Menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang termasuk dalam rezim pemilu adalah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta pemilihan presiden dan wakil presiden.

Dalam praktiknya selama ini, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD ditempatkan dalam satu rezim yang sering diistilahkan dengan pemilu legislatif. Demikian juga dengan pemilihan presiden dan wakil presiden juga ditempatkan serta diselenggarakan secara tersendiri dalam rezim pemilihan presiden dan wakil presiden.

BACA JUGA: Pemilu Elektronik, Kenapa Tidak?

Perkembangan pemilu di Indonesia dapat dikatakan sangatlah pesat. Penyelenggaraan pemilu awalnya hanya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum.

Tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu terakhir yang telah dilaksanakan dengan sistem tersebut adalah pemilu 2014 kemarin.

BACA JUGA: Memperkuat Kelembagaan Pelaksana Pemilu

Pada periode selanjutnya nanti, Pemilihan Umum di Indonesia akan mengalami perubahan. Hal ini terkait dengan adanya permohonan yang diajukan oleh Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak pada 10 Januari 2013 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka uji materi (judicial review) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI 1945. Pasal yang diajukan ialah Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.

Pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur waktu pemungutan suara presiden dan wakil presiden yang dilangsungkan setelah pemilihan legislatif, serta syarat memenuhi presidential threshold.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Pemohon diantaranya adalah biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Pelaksanaan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara terpisah selama ini dirasakan kurang mendukung bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih efisien dan efektif.

Bahkan pemohon memaparkan analisis terjadinya politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis jika pemilu dilakukan secara terpisah. Menurutnya, setidaknya akan dapat terjadi 4-5 kali politik transaksional ini dalam Pemilu, yakni pada saat mengajukan calon anggota legislative; pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka memenuhi ketentuan Presidential Treshold; setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden, untuk membentuk koalisi baru pada putaran pemilu kedua; pada saat penyusunan cabinet; serta pada saat membentuk koalisi di DPR.

Beragam kelemahan dari mekanisme pemilu secara terpisah dapat dilihat pula dari persoalan waktu, besarnya biaya yang dibutuhkan dan juga tenaga yang harus dicurahkan oleh penyelenggara pemilu dalam melaksanakan pesta demokrasi.

Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif selama ini telah mengakibatkan tidak tegakkannya atau tidak diperkuatnya sistem Presidensial. Pemilu tidak serentak lebih memungkinkan terjadinya pragmentasi di tubuh legislatif yang akan menyebabkan stabilitas politik dan control yang tidak efektif terhadap pemerintahan.

Berikutnya, pemohon juga memberikan logika yang didukung oleh penjelasan original intent dari pemohon tentang pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 yang dimaknai adanya keharusan pelaksanaan serentak pemilu legislatif dan pemilu presiden/ wakil presiden.

Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-IX/2013 yang memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak legislatif dan presiden/ wakil presiden pada tahun 2019 yang akan datang.

Beberapa waktu yang lalu pada saat Pansus RUU Pemilu melakukan audiensi ke Mahkamah Konstitusi, didapati keterangan bahwa yang dimaksud dengan Pemilu serentak adalah pelaksanaan pemilu presiden/ wakil presiden dan pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam satu hari, satu waktu; bahkan dengan disertai penjelasan penggambaran 5 kotak suara sekaligus.

Kelima kotak suara tersebut adalah kotak suara untuk pemilu DPR, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu DPD, pemilu DPRD Propinsi, serta pemilu DPRD kabupaten/ kota. Dengan penjelasan ini, maka tidak ada lagi tafsir lain atas makna “pemilu serentak” kecuali yang telah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut.

Sebelumnya sempat muncul penafsiran bahwa yang dimaksud serentak adalah pada tahun yang sama, atau dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang sama, atau dilaksanakan dengan perangkat pemilu yang sama; namun kesemuanya dimentahkan oleh penjelasan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Setelah jelas desain pemilu serentak pada tahun 2019, maka langkah awal yang patut dipikirkan dalam rangka menindaklanju putusan MK tersebut adalah bagaimana kemudian agar undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden dapat disatukan dalam satu bentuk undang-undang.

Karenanya perlu diapresiasi upaya pemerintah yang telah mengajukan revisi UU Pemilu kali ini dengan menyatukan tiga Undang-undang tentang penyelenggaraan pemilu sekaligus, yakni UU Pemilu DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ kota; UU Pemilu Presiden dan wakil presiden; serta UU tentang Penyelenggara Pemilu.

Langkah selanjutnya yang perlu segera dilakukan adalah upaya perubahan budaya politik dalam rangka menyambut pemilu serentak ini. Agar kemudian tercipta suatu budaya politik yang baik, maka peran berbagai pihak seperti penyelenggara pemilu, partai politik dan juga para kandidat yang nantinya akan turut berkompetisi dalam pemilu seyogianya mampu memberikan pencerahan politik kepada publik.

Langkah dimaksud sangatlah urgen dalam rangka membangun sistem partisipasi politik warga negara yang memungkinkan warga negara yang sudah dewasa (berhak memilih) berpartisipasi secara efektif dalam proses pemilu.

Di kalangan partai politik, ada pekerjaan rumah besar dalam rangka menyambut perhelatan pemilu serentak ini, yakni upaya membangun koalisi permanen sebelum pemilu. Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan diumumkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Maksud dari masukknya kata diumumkan dalam Pasal 6 A ayat (2) ini yakni memberikan gambaran agar partai politik atau gabungan partai politik wajib mengumumkan calon presiden dan calon wakil presiden sebelum berlangsungnya pemilu.

Di sini koalisi yang dibangun dimulai dari sebelum pemilihan legislatif dan pilpres putaran pertama; bukan ketika menjelang pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden di putaran ke dua.

Padahal di sisi lain, kita masih memiliki pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya dalam rangka menyongsong perhelatan pemilu serentak ini, yakni regulasi tentang presidential threshold. Upaya membangun koalisi salah satunya ditentukan oleh faktor ini.

Pertimbangan efektifnya sistem presidential threshold dalam meminimalisir bakal calon presiden yang bisa maju menjadi calon presiden, menuntut sistem ini seyogyanya tetap ada. Hal ini berkaitan dengan balancing power dalam membangun sistem presidensial dan dukungan parlemen untuk mencapai stabilitas politik dan check and balance yang seimbang.

Tentu saja hal ini membutuhkan kesepahaman dan komunikasi intensif yang tidak sederhana. Dan, salah satu parameternya adalah sejauhmana komunikasi berlangsung secara intensif di dalam Pansus RUU Pemilu ini.

Kita berharap kebersamaan dan komunikasi intensif dalam Pansus ini terus terjaga, dan dapat menjadi pintu masuk dan jembatan bagi pembangunan koalisi politik di masa depan. Mestinya demikian.

*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menakar Parliamentary Threshold


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler