Pemilu Elektronik, Kenapa Tidak?

Sabtu, 06 Mei 2017 – 05:30 WIB
Wakil ketua Komisi II DPR Lukman Edy

jpnn.com - Salah satu persoalan pemilu yang hampir selalu muncul dari pemilu ke pemilu adalah persoalan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu yang kemudian berimplikasi pada perubahan hasil pemilu, dan memicu konflik terhadap penetapan hasil pemilu.

Prakteknya sangat beragam, dari hulu ke hilir; dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai dengan penetapan Hasil Rekapitulasi Suara di KPU. Dari sudut pandang masyarakat melek Teknologi Informasi, akar permasalahannya adalah penyusunan dan pengelolaan data secara manual membuka peluang manipulasi dan kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.

BACA JUGA: Memperkuat Kelembagaan Pelaksana Pemilu

Berdasarkan hasil evaluasi pemilu 2014 oleh KPU ditemukan beberapa pelanggaran pemilu sebagai berikut: a. adanya data fiktif di beberapa daerah; b. tidak adanya kesesuaian antara NIK dan tanggal lahir; c. banyaknya data pemilih ganda sehingga tidak dapat masuk dalam Sidalih; d. kualitas DP4 bermasalah karena adanya pihak yang berkepentingan dan disinyalir sengaja dilakukan, antara lain manipulasi data untuk kepentingan politik anggaran, penambahan kursi, dan pemekaran wilayah [KPU RI 2014, Laporan Evaluasi Tajapan Pemilu, hal. 18].

Ini baru pada tahapan penetapan daftar pemilih. Pada tahapan pemberian suara, penghitungan suara dan rekapitulasi suara, kecurangan semakin banyak terjadi, dengan berbagai variannya.

BACA JUGA: Menakar Parliamentary Threshold

Modus operandi pelanggarannya sangat beragam, dari pencetakan surat suara melebihi yang dibutuhkan, pengrusakan kertas suara (dengan dicoblos terlebih dahulu), penghilangan kotak suara yang telah berisi hasil pemilu, penukaran kotak suara, jual-beli suara antar partai maupun antar calon dalam satu partai, penghilangan-pengurangan- penambahan suara dalam rekapitulasi, berita acara rekapitulasi suara ganda, dan pelanggaran lain yang berkaitan dengan teknis pengelolaan pemilu yang dilaksanakan secara manual seperti selama ini.

Atas dasar keinginan untuk melakukan pembenahan terhadap berbagai kecurangan pemilu di atas, maka muncullah upaya pembenahan secara sistemis terhadap pengelolaan pemilu. Salah satu yang menjadi rekomendasi adalah pelaksanaan pemilu elektronik yang meliputi e-voting, e-counting, dan e-rekapitulasi.

BACA JUGA: Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif

E-voting dipahami sebagai proses memilih secara digital yang kemudian meninggalkan jejak audit secara elektronik; e-counting, menghitung suara melalui mesin scan kertas suara; sedangkan e-rekapitulasi adalah melakukan pengolahan data yang masuk ke dalam sistem untuk kemudian ditampilkan hasilnya dalam bentuk matrikulasi data yang sudah matang.


Di dunia, sebetulnya beberapa Negara telah melaksanakan pemilu berbasis elektronik, seperti Australia, Brazil, Perancis, bahkan India. Di Australia, voting elektronik digunakan untuk pertama kalinya dalam pemilihan parlemen pada Oktober 2004.

Di Brazil, elektronik voting dimulai sejak tahun 1996 di Negara bagian Catarina, dan sejak tahun 2000 semua pemilihan di Brazil berbasis elektronik. Di Perancis, tahun 2007 partai UMP France mengadakan pemilihan pendahuluan presiden menggunakan elektronik voting, dan sejak 2009 warga Peranscis memilih untuk menggunakan elektronik voting pada pemilu presiden. Di India bahkan pemilu elektronik dilaksanakan mulai tahun 1980 hingga saat ini.

Indonesia sebagai Negara dengan perkembangan penggunaan internet tertinggi di dunia dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tentu tak perlu ditanyakan tentang kesiapannya. Masyarakat Indonesia sangat mudah beradaptasi dengan perkembangan, well informed. Karenanya, jika pemilu elektronik diberlakukan, penulis yakin masyarakat tidak akan mengalami kesulitan untuk menggeluti teknologi ini. Tinggal pertanyaannya kemudian adalah amankah penggunaan electronic voting, sejauhmana efisiensi yang ditimbulkan oleh electronic voting, sejauhmana persiapan yang dibutuhkan, serta bagaimana pengaruhnya pada tatanan sosial politik electronic voting dalam pemilu?

Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE menyatakan “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi”.

Informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.Logika hukum dalam Undang-undang ini memperkuat asumsi bahwa elektronik secara aman dapat dijadikan sebagai bukti hukum.

Secara teknis, dalam paparannya mengenai pemilu elektronik, BPPT menjelaskan bahwa semua hal yang terkait dengan electronic akan dapat dilacak record penggunaannya secara electronic. Sebagai contoh, penggunaan data dalam suatu hardisk, akan dapat dilacak kembali file-file yang ada di dalamnya, meskipun file-file tersebut telah dihapus dari flashdisk tersebut.

Demikian halnya mesin electronic pemilu ini, dia akan mampu melacak kapan terjadinya perubahan data pada “chips” yang mewakili TPS tertentu; jika seandainya terjadi upaya kecurangan pada pemilu di suatu daerah. Karenanya, dari sisi pengawalan hasil pemilu di masing-masing TPS, dengan pemilu elektronik dipastikan akan terkawal hingga rekapitulasi akhir di KPU secara aman.

Keamanan hasil pemilu di TPS setidaknya tercermin dari dua hal; pertama, hasil rekapitulasi selain akan disimpan di dalam chips yang dibawa oleh seorang petugas ke KPUD, juga tersimpan dalam bentuk kumpulan barcode yang diamankan dalam kotak suara, untuk dapat dilakukan cross check apabila terjadi penyimpangan data dalam chips.

Bila persoalan keamanan sudah terjawab, maka pertimbangan terakhir yang layak diajukan adalah efisiensi pembiayaan. Apakah pemilu elektronik akan mampu menekan biaya pemilu? Apakah e-voting lebih efisien dari pemenuhan logistic pemilu manual selama ini?

Pemilu berbasis elektronik diharapkan akan bisa efisien, menekan biaya pelaksanaan pemilu manual yang mahal. Pada pemilu 2014 yang lalu, KPU membutuhkan dana sebesar 24,1 T untuk melaksanakan Pileg, dan 7,9 T untuk pelaksanaan Pilpres. Dengan demikian, keseluruhan rangkaian pemilu 2014 menghabiskan dana sebesar 32 Trilyun. Hal ini oleh Ketua KPU sendiri diakui sebagai pemilu berbiaya tinggi.

Tentu saja dibutuhkan kajian yang memadai untuk mengukur seberapa efektif dan efisien pelaksanaan pemilu elektronik ini. Dari sisi efektitas, sistem e-voting dan e-rekap ini telah diujicobakan di lebih dari 600 pilkades dan hasilnya terbukti efektif dan aman, serta efisien karena paperless, tidak memakan banyak ruang dan hemar tenaga. Dan, dari sudut pandang lingkungan, tentu saja lebih ramah lingkungan karena paperless.

Namun demikian, sebagai produk elektronik, tentu saja akan mahal di belanja awal, akan tetapi memiliki nilai lebih karena dapat digunakan berkali-kali. Dalam konteks nasional, dapat saja alat ini digunakan untuk mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di tahun-tahun berikutnya.

Dengan demikian menjadi semakin relevan jika Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah memberikan amanah kepada KPU untuk melaksanakan pilkada; berbekal peralatan yang sudah disediakan oleh KPU pada perhelatan pileg sebelumnya.

Alhasil, dalam jangka panjang bagaimanapun pemilu elektronik akan lebih efisien karena dapat memangkas sekian varian pendanaan yang semestinya wajib dikeluarkan setiap pemilu dan pilkada –utamanya pada jenis logistic barang yang habis sekali pakai.

*) Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI

BACA ARTIKEL LAINNYA... Presidential Threshold, Masihkah Relevan?


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler