Merdeka dari Kesalahpahaman

Oleh Ahmad Doli Kurnia Tandjung*

Selasa, 15 Agustus 2023 – 20:06 WIB
Suporter Merah Putih saat memberikan dukungan kepada Timnas Indonesia di Piala AFF 2022. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Terus Melaju untuk Indonesia Maju. Itulah tema resmi peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun ini. Sebuah narasi positif dan optimistis untuk membawa bangsa ini melangkah maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Sejak merdeka, bangsa ini telah meraih sejumlah kemajuan, meski tentu saja selalu ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh setiap pemimpin pada masanya masing-masing. Bagaimanapun pembangunan bangsa merupakan never-ending goals yang harus terus berlanjut.

BACA JUGA: Industri Islamofobia

Momen peringatan Kemerdekaan RI tidak cukup sekadar dimaknai dengan upacara bendera, lomba agustusan, maupun pesta. Lebih dari itu, kita membutuhkan perenungan mendalam untuk mengambil pelajaran dari masa lalu, lalu menjadikannya best practices bagi masa depan kita.

Salah satu isu yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir ialah terkait kesalahpahaman kita dalam memisahkan antara 'politik praktis' dengan 'fakta sosial'. Sering kali keduanya bercampur dalam adonan yang tidak pas. Hasilnya ialah kohesi sosial bangsa merenggang, bahkan terbelah sejak Pemilu 2014.

BACA JUGA: Harkitnas sebagai Momentum Kebangkitan Literasi & Pendidikan

Fenomena framing atau stereotip aneh seperti cebong, kampret, dan kini kadrun merupakan bentuk mengendurnya tali ikatan sosial kita. Pemilu dan pilpres menyebabkan masyarakat menjadi korban dari tarik-menarik yang terjadi di level elite.

Ironisnya, ketika para elite di atas sudah saling berpelukan, bahkan bergabung dalam koalisi yang sama, masyarakat di bawah masih terbelah. Inilah yang harus kita sembuhkan, luka-luka akibat political game yang hanya sesaat.

BACA JUGA: Andai Aturan Main Berubah di Tengah Pertandingan

Akibat jangka panjangnya ialah kerap muncul kesalahpahaman, kecurigaan antarkelompok. Salah satunya seperti islamofobia -suatu anomali di negara kita, negara berpenduduk mayoritas muslim.

Masih Rendah
Mengapa hal itu terjadi? Ada data menaik yang terkait dengan minat baca anak-anak muda terhadap sejarah yang rendah.

Survei The Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan Indonesia berada di posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei.

Tentu rate itu tidak ideal, sehingga harapan ‘melaju’ untuk Indonesia Maju terasa penuh dengan hambatan. Hal itu tidak hanya terjadi pada literasi umum, pun demikian pada literasi digital yang menunjukkan kita masih terendah di level ASEAN.

Akibatnya, netizen Indonesia tahun lalu mendapat predikat sebagai pengguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara (Digital Civility Index / DCI, Microsoft).

Keengganan membaca dan melakukan riset sebelum mengeluarkan statement mengakibatkan hate speech dan hoaks menjadi makanan kita sehari-hari. Dalam jangka panjang, fenomena ini akan menghasilkan tumbuhnya stereotype seperti di atas.

Berbicara tentang islamofobia, hal tersebut tidak relevan bila melihat rekam jejak umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Tentu saja umat Islam di Indonesia berjuang bersama pejuang dari suku bangsa, etnik, dan penganut agama lain yang ada di negeri kita tercinta.

Melihat fakta historis dan sosial tersebut, para founding fathers secara sadar memasukkan unsur-unsur agama dalam konstitusi. Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” secara tegas mengirim pesan kepada dunia bahwa Indonesia adalah “negara beragama”.

Indonesia adalah negara yang menempatkan Tuhan (agama) sebagai panduan etik dalam menjalankan relasinya dengan masyarakat.

Meski demikian, Indonesia tidak mendesain dirinya sebagai 'negara agama' tertentu, karena sejarah awal Nusantara memanglah heterogen. Salah satunya ialah negara ini telah lama dihuni oleh sekian banyak penganut agama, suku, dan budaya yang berbeda.

Jalan tengahnya ialah Pancasila yang merupakan kesepakatan religius dari berbagai agama untuk mendirikan negara merdeka. Momentum itu sekaligus menguatkan fakta -sebagaimana dikutip dari pernyataan mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara- bahwa umat Islam terlibat aktif mendirikan negara yang prural ini.

Hal itu terkonfirmasi ketika para pejuang Islam saat itu menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Fakta lain bahwa elite Islam tidak berniat membangun negara Islam di Indonesia juga terlihat dari sikap ulama-ulama Nusantara yang hadir di Konferensi Khilafah di Turki pada 1924. Saat itu, Indonesia diwakili oleh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) dan Muhammad Natshir.

Sebagaimana ditulis Hamka dalam 'Ajahku : Riwajat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera' (1958), dijelaskan bahwa saat itu delegasi Hindia Belanda tidak tertarik dengan ide khilafah.

Sebaliknya, kita memantapkan diri membangun negara yang menempatkan agama sebagai ‘sinar terang pemandu jalan’ yang diformalkan dalam Pancasila.

Setelah sekian dekade, masih saja terdapat fallacy of thinking atau kesalahan berfikir kolektif yang alami maupun by design. Misalnya, terkait dengan isu politik identitas dan identitas politik.

Kita sepakat politisasi identitas adalah cara berpolitik yang tidak cerdas, berbahaya dan kampungan. Pasalnya, dengan memolitikkan identitas kultural yang given atau private untuk tujuan politik elektoral, sama saja dengan menghancurkan bangunan republik yang sejak awal bertumpu pada keberagaman. Kita sepakat untuk menolak itu.

Menyoal Identitas
Namun, di saat yang sama kita juga harus bisa memisahkan antara keduanya, bahwa identitas politik berbeda dengan politik identitas maupun politisasi identitas.

Jangan sampai keengganan kita untuk berfikir kritis, malas membaca—sebagaimana survei PISA di atas—menyebabkan bangsa ini terjerembab dalam stigma dan dogma, virus yang membuat kita tidak akan ke mana-mana di tengah persaingan global yang kian ketat.

Dalam khazanah sosiologi politik, dikenal apa yang disebut sebagai in-group feeling, yaitu preferensi pilihan politik berdasar kesamaan latar belakang. Setiap saat kita mengalaminya. Misalnya, saat musim pemilu, para caleg parpol cenderung memilih bertarung di daerah asalnya.

Jarang sekali caleg dari Jawa, misalnya, bertarung di Papua. Atau caleg asal Bali dicalonkan di Aceh, sulit menemukan rasionalisasinya.

Dengan berkompetisi di daerah asal atau wilayah yang memiliki irisan kultural (identitas) dengan caleg tersebut, terasa ada passion untuk memperjuangkan kepentingan pemilihnya. Dengan kata lain identitas politik memiliki pijakan historis dalam demokrasi.

Sistem yang secara sadar memberi ruang kepada semua identitas (agama, ideologi, suku, aliran politik, mazhab ekonomi, dll) untuk saling berdialektika secara beradab. Meminjam istilah Karl Marx -tesis yang di-challenge dengan antitesis- pada akhirnya akan menghasilkan sintesa.

Maka sekali lagi penulis mengajak, dengan usia Republik yang sudah makin dewasa ini, kita harus berani berbicara substansi, tidak hanya cover dan gimik politik. Diskursus tentang isu-isu sensitif yang selama ini “mengganggu” juga mesti dibuka secara luas—namun dengan pijakan ilmu pengetahuan.

Hal ini agar masyarakat mendapat pemahaman yang utuh, bukan hanya retorika, apalagi propaganda. Hanya dengan cara demikian, republik ini akan tegak hingga ribuan tahun, jutaan tahun ke depan, karena tidak ada sejarah yang ditutupi, dibiaskan, maupun digunaan untuk kepentingan sesaat. Merdeka!!!(***)

*Penulis adalah Ketua Komisi II DPR/Koordinator Majelis Nasional Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Apa dengan Polisi Kita?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler