Merokok di Jalan saat Ramadan, Langsung Ditegur

Jumat, 17 Juni 2016 – 00:09 WIB
Kampung Tabanga terletak di Kecamatan Pulau Ternate. Foto: Malut Pos/JPNN.com

jpnn.com - KESULTANAN Ternate merupakan salah satu kerajaan Islam tertua dan terbesar di nusantara. Namun kerajaan ini juga menganut prinsip keberagaman. Tabanga adalah salah satu buktinya.

BADRUN AHMAD-GUNAWAN TIDORE-MASLAN ADJID-MAHFUD H HUSEN, Ternate

BACA JUGA: Cerita Angel Lelga Setelah 15 Tahun Jadi Mualaf

Kampung Tabanga terletak di Kecamatan Pulau Ternate. Sekitar 30 menit perjalanan dari pusat Kota Ternate. Secara administratif, ia merupakan bagian dari Kelurahan Sulamadaha. 

Terdiri atas 40 Kepala Keluarga (KK), kampung ini dikenal sebagai satu-satunya kampung di Ternate yang sebagian besar warganya adalah nonmuslim.

BACA JUGA: Ayah, Tito Mau Tugas, Tolong Doanya...

Tabanga adalah bukti keberagaman dalam Kesultanan Ternate. Sebuah kerajaan Islam -salah satu yang tertua dan terbesar di nusantara- yang tetap menjunjung tinggi toleransi beragama. 

Selain berbeda keyakinan dengan warga Ternate umumnya, nenek moyang orang Tabanga adalah pendatang. 

BACA JUGA: Sahuuur, Sahuur...Ah, Jadi Ingat Masa Lalu

”Mereka warga imigran dari Tobaru di Kecamatan Ibu, Halmahera Barat. Ada pula yang dari Tobelo dan Sanger,” ungkap Dr Sahril Muhammad, Sejarawan Maluku Utara.

Keberagaman yang dianut Kesultanan Ternate telah berusia lama. Berabad-abad lalu, kekayaan alam Pulau Ternate mengundang datangnya orang-orang dari segala penjuru. Selain bangsa asing, pedagang lokal juga berdatangan. 

”Sehingga selain lahir dalam keberagaman, Kesultanan Ternate juga terus memupuk multikulturalisme itu,” tutur Sahril yang juga dosen di Universitas Khairun Ternate. 

Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk, Kerajaan Ternate menempatkan diri sebagai sebuah negara. Hal ini berarti Ternate wajib menerima semua orang, kelompok, suku, bahasa, dan etnik mana pun. 

”Syarat sebuah negara adalah harus menerima semua perbedaan. Dan itu menjadi keunggulan Kerajaan Ternate yang sangat terbuka terhadap semua suku bangsa yang datang,” sambung Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Malut itu.

Ketika Sultan Baabullah mengusir bangsa Portugis dari Ternate, semangat fisabilillah (berjuang di jalan Allah) yang ia kobarkan. Meski begitu, sang Sultan meletakkan Alquran di tangannya sementara tangan kirinya mengajak pemeluk agama nonmuslim untuk mengembangkan agamanya di Ternate. ”Sepanjang agama tersebut tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan,” terang Sahril.

Prinsip Baabullah diteruskan oleh para penggantinya. Hingga pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah (1929-1975), para pendatang dari Tobaru yang beragama Nasrani diberi tanah untuk dijadikan pemukiman. Lokasi di lereng Gunung Gamalama ini kemudian diberi nama Tabanga. ”Tabanga sendiri dalam bahasa Ternate berarti kampung di lereng gunung atau hutan,” ujar Sahril.

Menurut cerita turun-temurun, lokasi Tabanga oleh Sultan kepada tujuh bersaudara bermarga Tuanger. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal komunitas Tabanga yang masih eksis hingga saat ini. 

”Waktu itu tahun 1947. Nenek moyang kami beragama Nasrani dan berasal dari Halmahera Barat,” tutur Welem Tuanger, Ketua Dewan Adat Tabanga.

Komunitas nonmuslim ini awalnya mengabdikan diri kepada Sultan sebagai abdi kerajaan. Mereka mencari ikan dan bertanam sagu, serta menjadi pengawal di kerajaan. Hasil panen kerap diberikan ke Kesultanan sebagai bentuk upeti. Sebagai balasannya, Kesultanan memberikan lahan untuk tinggal dan memperluas kebun. 

”Ada beberapa kampung yang merupakan hadiah atas pengabdian Sultan terhadap pendatang. Misalnya Kampung Tabam untuk orang Makian, dan Koloncucu untuk orang Buton dan Bugis,” papar Sahril.

Hidup di tengah-tengah masyarakat muslim, komunitas Tabanga telah begitu akrab dengan toleransi. Bahkan 11 keluarga muslim yang membangun rumah di lingkungan mereka pun telah dianggap layaknya saudara sendiri. 

”Dengan mereka (11 keluarga, red), maupun dengan warga kelurahan muslim lain di sekitar sini kami sangat akrab. Hubungannya erat dan seperti keluarga sendiri,” tambah Welem.

Saat menggelar peringatan hari keagamaan, orang muslim di Sulamadaha selalu melibatkan komunitas Tabanga. Pun ketika warga Tabanga memperingati hari besar keagamaan mereka, warga Sulamadaha pun diundang. ”Sudah sejak dulu seperti itu,” ujar Yanis Togolobe, Pendeta Tabanga.

Apalagi saat Ramadan seperti ini, orang Tabanga amat menghormati warga muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa. Menjaga toleransi umat beragama memang telah menjadi tugas bersama komunitas Tabanga maupun Sulamadaha. 

”Misalnya ada anak muda Tabanga yang makan atau merokok di jalanan saat puasa seperti ini, pasti langsung kami tegur,” pungkas Yanis.(tim/kai/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Pengangkut Sampah, Boro-boro Berharap THR...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler