Mimi M. Lusli, Tunanetra ”Jembatan Komunikasi” dengan Orang Normal

Sabtu, 10 Januari 2009 – 08:14 WIB
Lulus karena Rajin Bawa Tape Recorder ke Kampus

Hampir 30 tahun mengalami buta total, Mimi MLusli tidak berhenti menjadi ''jembatan'' antara warga senasib dan orang-orang normal

BACA JUGA: Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran (2-Habis)

Wanita itu sedang membentuk sebuah institut untuk melatih orang normal berkomunikasi dengan warga tunanetra dan sebaliknya.

ZULHAM MUBARAK, Jakarta

BANGUNAN bertingkat kelas menengah di kawasan Jakarta Barat itu tampak sepi
Saat sebagian warga ibu kota sedang menikmati libur akhir pekan, sejumlah orang di sana sedang membersihkan taman di depan gedung

BACA JUGA: Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran (1)

''Saya Astrid, asisten Bu Mimi
Silakan, Anda sudah ditunggu,'' kata wanita itu saat menyambut kedatangan Jawa Pos di pintu kaca.

Astrid lalu membimbing naik ke lantai dua di bangunan perkantoran tersebut

BACA JUGA: Mutiara Hotel Manokwari, Tempat Presiden Menginap Itu Tinggal Kenangan

Di sepanjang koridor tak terlihat satu pun perabotanTembok tampak baru dicat dengan kusen dan kaca yang baru dipasang.

Setelah sampai di lantai II, seorang wanita paro baya keluar dari ruanganWanita itu memberikan sapaan hangat sembari mengulurkan tanganSetelah berjabat tangan, dia lantas mempersilakan Jawa Pos duduk sembari menarik kursiDia lalu mengarahkan diri ke kursi lain yang berada di balik meja.

Sekilas dalam perkenalan itu memang seperti Jawa Pos menghadapi orang normal pada umumnyaBahasa tubuh dan pandangan mata melihat ke tempat Jawa Pos duduk''Nama saya MimiYa, saya tahu yang Anda pikirkanSaya seperti penyandang tuna netra lainnyaHanya, saya hafal betul dengan ruangan ini,'' katanya.

Mimi memiliki nama yang panjang; Veronika Laetitia Mimi Mariani LusliDia adalah satu-satunya tunanetra yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di Universitas Atmajaya, JakartaYang membuat istimewa Mimi, alumnus Leeds University, Inggris, itu menjadi dosen setelah menempuh jalur pendidikan di sekolah dan universitas umum.

''Saya sedang mendirikan Mimi Institute di tempat ini,'' kata Mimi tentang kegiatan renovasi di ruangannya.

Berbeda dengan penyandang tunanetra yang kebanyakan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolah, Mimi justru senang bersaing dengan rekan-rekan yang normal.

Mimi yang anak ketiga di antara empat bersaudara itu menyadari penglihatannya mulai kabur sejak berusia 10 tahunYakni, saat dia duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta BaratDia mengalami penyakit genetik retinitis pigmentosa.

Menurut dia, retinitis pigmentosa merupakan penyakit degenerasi retinaPenyakit itu memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara genetisPada retinitis pigmentosa, terjadi degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan secara progresif.

''Manifestasi gejala-gejala pada penderita retinitis pigmentosa adalah sulit melihat pada malam hari dan rabun senja, penyempitan lapang penglihatan secara perlahan, dan berlanjut pada kebutaan,'' jelasnyaKarena penyakit itu mengenai saraf dan genetik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif.

Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu pun berkali-kali dibawa ke dokter mataKetika penyakitnya makin parah, dia tidak bisa lagi menulis di buku tulisAkibatnya, ketika duduk di kelas V SD, Mimi tidak bisa bersekolah lagi.

Pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar mengalami totally blind (kebutaan total)Rasa iri mulai muncul karena kakak dan adiknya bisa pergi belajar di sekolahSaat yang sama Mimi terus berganti dirawat di dokter mata dan dokter sarafSambil terus berobat itu, Mimi akhirnya bisa menempuh pendidikan di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur.

''Saya harus menerima kenyataan ketika suatu hari dokter memberi tahu bahwa penyakit saya tak bisa sembuh,'' kata Mimi.

Sekitar sebulan setelah itu, dia memilih mengisolasi diri dari dunia luarNamun, kondisi tersebut justru membuat keluarganya terpacu untuk memberi dukunganMelalui bimbingan rohani sejumlah pastor dan konsultasi panjang dengan psikolog, Mimi berusaha bangkit.

''Saya bangkit setelah membandingkan kondisi teman-teman tunagrahitaMereka punya mata dan kuping, tapi tidak pernah dipakai secara baik,'' ujar Mimi.

Setelah menyelesaikan studi setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan studi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985)Dia kemudian berhasil menyelesaikan sarjananya di IKIP Santa Dharma Jogja (1985-1989).

Setelah itu, dia mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) Depok (1995-1997)Mimi juga memperoleh beasiswa dari British Council, sehingga bisa lulus program studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris.

''Tunanetra kerap dicap sebagai tukang pijit dan pemain musikSaya tertantang untuk berkarya di kalangan orang-orang normal,'' kata lajang kelahiran Jakarta, 17 Desember 1962, tersebut.

Sebagai penyandang buta, trik-trik studi yang diterapkan Mimi cukup unikKetika harus memahami sebuah materi perkuliahan, dia mencari rekan yang suka diajak berdiskusiKalau hendak ke perpustakaan, dia mengajak temannya yang kutu buku membaca ke perpustakaan.

Mimi juga dibantu sejumlah teman serta saudaranya ketika harus membaca diktat perkuliahan dan menyelesaikan tugas''Saya juga berlagak seperti wartawanDi kampus, saya membawa tape recorder kecil untuk merekam mata kuliah supaya bisa diulang di rumah,'' jelasnya.

Pada 1991-2003, Mimi mengajar metode bergaul dan komunikasi dengan orang cacat di Universitas Atma Jaya, JakartaBerbagai organisasi penyandang tunanetra ditekuniMisalnya, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni)Organisasi sangat gigih memperjuangkan kesetaraan hak dan menganalisis pasal-pasal dalam GBHN yang diskriminatif terhadap penyandang tunanetra.

Mimi kini merancang sebuah metode pembelajaran tentang teori disabilitas bagi penyandang cacat maupun bagi orang normalProgram itu sedang dimatangkan Universitas IndonesiaPada mata kuliah tersebut, dia mendesain teori ilmu komunikasi bagi tiap individu dari dua sisi dunia itu untuk memudahkan proses interaksi.

''Sebab, orang normal dan orang cacat itu bagai sisi mata uang yang berbeda, sehingga harus ada jembatan bagi mereka untuk saling memahami,'' ujarnya.

Dia berharap, dengan mempelajari mata kuliah tersebut, mahasiswa yang terjun ke dunia profesi akan terasah kepekaannya terhadap sesamaKhususnya terhadap para penyandang cacat''Coba Anda jalan-jalan di tempat umum dan teliti berapa persen bangunan dan lokasi yang 'ramah' terhadap penyandang cacat,'' ungkapnya mengkritik.

Perubahan sikap itulah yang kini juga gencar dia kampanyekan melalui metode belajar di Mimi InstituteLewat institute itu, dia mengajarkan pelatihan sensitivitas kepada semua orangTiap peserta dilatih untuk memahami karakteristik penyandang cacat''Saat ini banyak hal yang tidak nyambung ketika penyandang cacat berinteraksi dengan orang normal,'' tegasnya(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Joserizal Jurnalis, Dokter Spesialis Perang Emban Misi di Gaza


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler