Minim Teknologi Tapi Kaya Inovasi

Senin, 14 Desember 2015 – 06:10 WIB
Kepala Sekolah SDN Torong Raja, Labuan Bajo, Fransiskus Jamento mendapat penghargaan karena inovasi mutu pendidikan pada peringatan HUT ke-70 PGRI di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (13/12). FOTO: Natalia/JPNN.com

jpnn.com - Pantaslah jika guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Demi mencerdaskan siswanya, seorang guru rela melakukan apa saja. Itulah yang dilakukan Fransiskus Jamento (27), Kepala Sekolah dari SDN Torong Raja, yang terletak di pedalaman Pulau Flores, tepatnya di Desa Golo Ru'a, Kecamatan Ndusu, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Meski tinggal di daerah yang minim teknologi, Fransiskus terus berinovasi agar siswanya bisa menikmati belajar, tak hanya melalui buku pelajaran, tetapi juga dengan menonton video. Video itu, ia peroleh dengan merekam sendiri melalui handphone androidnya.

BACA JUGA: Sedih, Pengin Nangis...Bocah-bocah Itu Harus Berenang Menuju Sekolah

“Contoh kalau belajar soal IPA (Ilmu Pengetahuan Alam, red), saya nanti rekam beberapa bagian tanaman melalui video dengan HP (handphone) saya. Kemudian saat mengajar, saya jelaskan lewat laptop. Saya melihat siswa lebih senang belajar lewat video. Lebih mudah mengingatnya,” ujar Fransiskus pada JPNN.com saat menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (13/12).

Selain merekam sendiri, Fransiskus juga mengunduh video-video menarik dan edukatif sebagai sarana belajar bagi siswanya melalui situs Youtube. Terutama, video tentang alam dan binatang. Itu dilakukannya saat ke kota kecamatan atau kabupaten di Manggarai Barat, NTT.

BACA JUGA: Pria Tampan Pemenang Pilkada Itu Bilang Saya Kagum dengan Arumi

Maklum, sekolah tempat Fransiskus bertugas berada di desa yang sangat minim teknologi. Jangankan bicara teknologi, fasilitas penerangan seperti listrik juga belum tersedia. Karena itu, jangan berpikir akan bisa mengakses interner seperti kebaanyakan sekolah atau para siswa di kota-kota.

Masyarakat di desa yang berjarak 200 kilometer dari kota itu hanya mengandalkan energi matahari untuk penerangan.

BACA JUGA: Kisah Mualaf Pemain Terbaik di Liga Santri

Fransiskus yang juga seorang wali kelas ini mengaku, memilih tinggal di kecamatan agar dia bisa mendapatkan akses listrik dan internet demi menyediakan video untuk para siswanya. Untuk menjangkau sekolah tempat mengajar, Fransiskus setiap subuh atau pagi-pagi buta, dengan mengendarai sepeda motor berangkat dari kediamannya menuju sekolah.

“Kalau tinggal di dekat sekolah bagaimana bisa download semua video itu. Tidak ada listrik. Kadang kami bicara biologi tentang hewan. Tapi murid tidak tahu binatangnya, jadi kami perlu video untuk tunjukkan,” ucap Fransiskus.

Hampir setiap hari, Fransiskus dan seorang rekannya merekam beberapa video tanaman untuk bahan pembelajaran. Pelajaran di kelasnya juga tidak banyak mengandalkan buku, karena harganya yang mahal. Apalagi, desa itu jauh dari kota tentu sulit bagi para siswa untuk mencari buku pelajaran.

Fransiskus menuturkan, di sekolahnya belum ada perpustakaan sehingga video-video yang disiapkan sangat berharga untuk para siswa yang berjumlah 85 orang.

Berkat inovasi sederhana yang dilakukannya, Fransiskus pun mendapatkan penghargaan dari Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI). Penghargaan itu atas dedikasinya yang besar dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya.

Fransiskus tak menyangka upaya sederhana itu malah membuahkan hasil. Penghargaan itu ingin ia persembahkan untuk kebanggaan sekolah dan teman-teman gurunya serta para siswa.

“Saya kaget ditelepon, disuruh ke Jakarta untuk menerima penghargaan. Saya rasa usaha saya ini hanya kecil, demi siswa saya bisa menjadi anak yang pintar,” kata Fransiskus dengan mata berkaca-kaca.

Setelah mendapat penghargaan ini, Fransiskus sangat berharap pemerintah memerhatikan peningkatan fasilitas dan mutu pendidikan sekolah-sekolah di pedalaman. Termasuk juga nasib para guru honorer.

Ia menyatakan, masih ada dua guru honorer yang membantu di sekolahnya. Fransiskus mengatakan, pemerintah seharusnya memperhatikan nasib guru-guru honorer yang rela mengabdi di daerah terpencil seperti itu.

“Di sekolah saya ada dua guru honorer. Gajinya hanya 250 ribu. Tapi orang tua murid berupaya bantu bayar mereka. Orang tua kumpul 75 ribu per tahun untuk tambahan gaji mereka. Semangat mereka luar biasa," kata Fransiskus.

Terakhir, ia berharap fasilitas listrik bisa masuk di desa tempat sekolahnya berada sehingga masyarakat juga mengenal teknologi lainnya. Terutama akses internet dan membuka wawasan lebih luas lagi.(flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Nasi Goreng Keramat, Ada Nasi Goreng Setengah Bola


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler