Sedih, Pengin Nangis...Bocah-bocah Itu Harus Berenang Menuju Sekolah

Senin, 14 Desember 2015 – 00:41 WIB
BERTARUH NYAWA: Sejumlah anak Gili Re, Jerowaru, Lombok Timur (Lotim) harus bertaruh nyawa untuk bisa sampai ke sekolahnya di Gili Beleq. Foto: Wahyu/Lombok Post

jpnn.com - GILI Re merupakan sebuah pulau yang masuk kategori terisolir. Warga di pulau kecil yang terletak di ujung selatan Lombok Timur (Lotim) itu hidup dalam keterbatasan.

Seolah, debur ombak laut selatan seolah membuat jeritan mereka tak terdengar oleh penguasa baik di Selong maupun Mataram. Berikut catatan wartawan Lombok Post, Wahyu Prihadi tentang perjuangan hidup masyarakat pulau mungil itu

BACA JUGA: Pria Tampan Pemenang Pilkada Itu Bilang Saya Kagum dengan Arumi

“Kami Belum Merdeka,” sebuah kalimat penuh arti yang dilontarkan Kadus Gili Re, Desa Pare Mas, Jerowaru Lombok Timur (Lotim), Abdurrahman. Sebenarnya, kalimta itu berat untuk diucapkan, tapi terpaksa dia sampaikan lantaran sedih melihat derita “rakyat”-nya yang sudah cukup lama. Hanya butuh perhatian.

 Pria berbadan kurus itu lantas membawa kami menuju sudut lain di pulau kecil berpenduduk 400 jiwa tersebut.

BACA JUGA: Kisah Mualaf Pemain Terbaik di Liga Santri

Di sana tampak sejumlah anak asyik bermain di pinggir pantai. Berseragam lengkap warna coklat khas pakaian Pramuka yang digunakan untuk hari Sabtu, anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing.

Ada yang bermain pasing, ada yang berkejaran ke sana ke mari, ada juga yang duduk-duduk santai. Sejumlah abang-abang mereka yang juga berseragam terlihat serius bermain takraw.

BACA JUGA: Ada Nasi Goreng Keramat, Ada Nasi Goreng Setengah Bola

Bukan sedang bermalas apa lagi membolos.  Mereka sebenarnya hendak berangkat ke sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 Wita. Namun belum ada satupun perahu yang bisa ditumpangi untuk menuju pulau seberang.

Ya, untuk menuntut ilmu, puluhan anak pulau itu harus menyebrang lautan. Sekolah satu atap mereka SD dan SMP ada di Gili Beleq. Jaraknya kedua pulau itu sebenarnya tak jauh. Kurang dari 300 meter saja. Namun lautlah yang membuat perjalanan itu terasa berat.

Pagi itu perahu tak kunjung datang. Semua perahu di pulau sudah keluar untuk melaut, menjual hasil tangkapan, ataupun mengambil air ke Lombok. Bosan menunggu, Ilham, seorang siswa SMP yang paling besar memutuskan berenang ke seberang.

“Ayo, nanti terlambat,” teriaknya pada teman-temannya yang lain.

Langkah beraninya itu lantas diikuti siswa SMP lainnya. Tak berselang lama, sejumlah siswa SD juga mengikuti jejak kakak-kakak mereka. sepatu yang dikenakan terpaksa harus dibuka. Beberapa memasukkannya ke dalam tas yang kemudian diangkat tinggi di atas kepala agar tak basah.

“Kalau tak ada perahu kita memang seperti ini,” kata Putri, seorang siswa kelas V SD.

Pagi itu mereka agak beruntung. Air sedang surut. Lebih surut dari biasanya. Tingginya hanya sekitar satu meter saja. Padahal jika sedang  pasang yang bisa mencapai lebih dari empat meter. Namun, kendati begitu, sejumlah anak tampak begitu kepayahan.

Salah satunya Mariadi, siswa kelas I SD. Ia tertinggal jauh di baris paling belakang. Kendati sudah bersusah payah mengejar, ia tetap saja kesulitan. Kesal dengan keadaan, ia tak mau lagi mengangkat tasnya tinggi-tinggi.

Bisa dipastikan seluruh sepatu dan buku pelajaran yang ada di dalam tasnya basah semua. Sambil menangis kencang, anak itu menggeret-geret tasnya di atas air laut yang setinggi dadanya. 

Sungguh miris melihat anak-anak bertaruh nyawa untuk mengenyam bangku sekolah. Bagaimana jika angin tiba-tiba tak bersahabat, ombak mengganas atau hujan lebat ketika mereka di tengah perairan.

Sekitar tahun  2001-2002 lalu bahkan sebuah kejadian tragis menimpa. Dua anak tewas meregang nyawa di perairan antara Gili Re dan Gili Beleq. Saat itu, ombak yang sedang mengganas disertai hujan membuat para orang tua was-was.

Merekapun menunda keberangkatannya melaut atau menjual hasil tangkapan ke Lombok setelah mengantar anaknya sekolah. Nahas, sebuah perahu terbalik, dua anak yang masih kecil menjadi korban.

 “Jadi ini bukan bertaruh nyawa, tapi memang sudah ada yang berkorban nyawa,” kata Abdurrahman sang kadus.

Solusi terbaik sebenarnya pengadaan jembatan yang tak begitu panjang. Mirip jembatan untuk dermaga penyebrangan. Namun beragam alasan pemerintah membuat harapan warga terus pupus. Jangankan jembatan beton yang permanen, permintaan mereka akan perahu juga tak pernah direalisasikan hingga kini.***

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apakah Anda Puas dengan Pelayanan Kami? tanya Nunei


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler