Miris, Tarif Gadis 19 Tahun dan Kekejaman Sang Bos

Senin, 08 Februari 2016 – 11:06 WIB
ILUSTRASI. FOTO: Pixabay.com

jpnn.com - Salah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) berinisial IN (19), mengaku dari Rp 150 ribu yang dia peroleh dari pengguna jasanya, dirinya hanya memperoleh setengahnya. Setiap kali transaksi dirinya diharuskan membayar ongkos kamar, kondom, dan uang keamanan.

Diakui IN, sang bos juga harus membayar biaya keamanan. Namun IN tak tahu kepada siapa biaya tersebut disetor.

BACA JUGA: Hasilkan Rp 150 Juta Dari Pemilahan Sampah

Sebelum berstatus PSK, IN yang berasal dari Banyuwangi mengaku pernah bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga ekspatriat di wilayah Denpasar.

“Orang tua di rumah tahunya saya sekarang kerja jadi penjaga toko,” ucapnya di sela-sela musik dangdut yang memekakkan telinga, seperti dilansir Bali Express (Grup JPNN).

BACA JUGA: Kisah Pengembala Ternak Jadi Jenderal (2/Habis)

IN mengaku memiliki seorang pacar yang setiap hari (kalau tidak menstruasi) mengantarnya ke lokalisasi tersebut.

“Dia sudah punya istri. Yang penting dia nggak selingkuh sama cewek lain ya aku sih nggak masalah. Dia yang jamin keamanan aku kalau terjadi apa-apa,” ujarnya.

BACA JUGA: Tak Bersisa, Pabrik Plasik di Kawasan Industri Ludes Terbakar

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa, ada juga PSK yang langsung tinggal di lokalisasi tersebut. Salah satunya berinisial V (22). V termasuk salah seorang PSK terfavorit.

Karena baru terjun di bisnis tersebut harga sewanya relatif mahal, yakni Rp 500 ribu per 30 menit. Pada pertemuan ketiga dengan V dalam kurun sebulan terakhir, V menawarkan harga Rp 300 ribu. Menariknya pada kamar tempat ngobrol dengan V ditempel pengumuman yang menerangkan bahwa sang PSK merangkap waitress tak boleh mabuk dan tidur hingga tamu habis. Jika melanggar mereka dikenakan denda Rp 500 ribu. Usut punya usut ternyata para PSK tersebut tidak memiliki gaji tetap. Uang mereka peroleh berasal dari biaya sewa para pelanggannya setelah dipotong oleh sang papi maupun mami.

Mirisnya, PSK yang mengais keuntungan tak hanya berasal dari luar Bali. Koran ini sempat bertemu dan ngobrol panjang lebar dengan dua PSK asli Bali, yakni W (21), asal Busungbiu, Buleleng, dan P (24), asal Kintamani. Keduanya mengaku bekerja sebagai sales di Denpasar kepada pihak keluarganya. W yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato mengaku mau jadi PSK karena sakit hati.

“Pidan timpale uling Jawa anu ngajakin megae care kene (Dulu teman saya asal Jawa yang ngajak kerja seperti ini),” ucapnya.

W mengaku saat ini punya cicilan motor yang harus dibayar tiap bulan. Ditanyai apa tak malu bekerja sebagai PSK, W menjawab sebenarnya malu.

Untuk menghilangkan perasaan malu tersebut dirinya kerap dugem di tempat hiburan malam seusai menjual diri di Jalan Danau Tempe. Para PSK yang ditemui di Jalan Danau Poso memiliki nasib satu strip lebih baik.

R (19), asal Jakarta dan W (23), asal Bandung yang ditemui pada kesempatan berbeda mengaku mampu mengantongi Rp 100 ribu per sekali transaksi di luar tip.

“Aku gagal nikah tiga kali, Bli. Dulu saat di Bandung,” ucap W, Sabtu (6/2) sekitar pukul 23.00 Wita.

W mengaku diajak ke Bali oleh salah seorang temannya. Bukannya berhasil mengubah hidup, hidupnya kini malah lebih suram. Wanita ramping berambut panjang yang mengenakan busana biru muda saat ditemui itu tak punya pilihan.

Sembari mengisap dan mengembuskan rokok mild, dia tersenyum dan bercerita punya kekasih yang tinggal di daerah Monang-Maning, Denpasar.

“Karena salah sangka, putus tiga hari yang lalu,” ucapnya. Berbeda dengan W, R lebih bersemangat. Wanita asal Jakarta yang ditemui, Selasa (1/2) lalu, sangat bersemangat karena kontrak kerja berdurasi 3 bulan dengan sang bos berakhir pada Jumat (5/2) lalu.

“Jumat aku terakhir kerja dan Minggu (7/2) balik ke Jakarta,” ucapnya. Benar saja Sabtu (6/2) seorang laki-laki yang bertugas melayani para pengunjung mengatakan R sudah tidak bekerja lagi di sana.

Belum diketahui apakah kontrak kerja yang ditandatangani PSK tersebut atas dasar paksaan atau sukarela. Karena berbeda kelas, para pelanggan yang singgah di lokalisasi seputaran Danau Poso lebih variatif, mulai dari penduduk lokal, wisatawan domestik, hingga mancanegara.

PSK pun bisa di-booking untuk diajak kencan keluar dari lokalisasi tersebut. Hanya saja mereka cenderung menolak, khususnya apabila yang booking adalah turis. Selain karena bayaran mereka tetap Rp 100 ribu (di luar tip) meski si turis bayar di atas sejuta, para turis itu juga diketahui kerap memaksa PSK untuk melakukan oral seks.

Karena kelas pula, maka pemandangan yang tersaji di seputaran lokalisasi di Danau Poso berbeda dengan Danau Tempe. Taksi dan mobil-mobil pribadi memenuhi parkiran di sana.  Menariknya, pada Sabtu (6/2) sekitar pukul 23.30 sebuah mobil dinas Satpol PP Kota Denpasar Nopol DK 9620 tiba di salah satu lokalisasi Jalan Danau Poso.

Semula koran ini menduga sidak akan dilakukan dan para PSK tersebut diringkus. Ternyata tidak. Aktivitas para pelanggan, PSK, dan beberapa laki-laki yang menawarkan PSK sama sekali tak terusik.

Menurut pengamatan, setelah bertemu dengan salah seorang di lokasi tersebut tiga orang petugas Satpol PP berseragam lengkap memutar haluan mobil dan pergi.

Usut punya usut ternyata mereka mengunjungi lokalisasi berbeda di ruas Jalan Danau Poso. Pada kesempatan sebelumnya, seorang oknum polisi berpakaian lengkap singgah dan pergi dari lokasi tersebut.

Berbeda dengan lima pelaku perdagangan manusia di wilayah Banjar Gegeran, Desa Baha, Mengwi, Badung yang dijerat Pasal 2 Ayat (1) jungto Pasal 11 UU RI No.21 Tahun 2007 tentang perdagangan orang dan ketenagakerjaan yang dimaksud dalam Pasal 183 UU No.13 Thn 2003, hingga saat ini pelaku human trafficking di Kota Denpasar masih aman-aman saja. Diduga setoran wajib kepada sejumlah instansi yang menyebabkan bisnis esek-esek tersebut berjalan lancar.(surya kencana/rdr/mus/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... EDAN: Tarif Booking Naik, Pengunjung Malah Membeludak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler