Misbakhun: Perlu Revolusi Mental untuk Genjot Tax Ratio

Senin, 21 November 2016 – 16:43 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Rasio penerimaan perpajakan alias tax ratio di Indonesia tergolong rendah.

Pada 2015 lalu, tax ratio Indonesia hanya sebesar 10,47 persen.

BACA JUGA: Anggota KSP Pandawa Minta OJK Tidak Terburu-buru

Jumlah itu di bawah rata-rata tax ratio lower middle income coutries yang mencapai 17,7 persen.

Padahal, pajak merupakan salah satu instrumen penting penerimaan negara.

BACA JUGA: Ekspor ke Tiongkok Turun 6,6 Persen

Sayangnya, masih banyak masalah yang mengadang untuk memaksimalkan pendapatan dari pajak.

Mulai kesadaran wajib pajak yang rendah hingga di tingkat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

BACA JUGA: Impor Ban Ilegal Marak, Produsen Minta Perlindungan

Padahal, kemandirian DJP sebagai institusi yang mandiri merupakan bagian dari revolusi mental.

Hal itu sesuai dengan cita-cita Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita, Trisakti, maupun rencana pembangunan jangka menengah (RJPM).

“Rendahnya tax ratio menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, serta kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari sektor-sektor ekonomi belum optimal,” kata anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, Senin (21/11).

Misbakhun menambahkan, perbandingan antara besar pajak yang dipungut dengan potensi pajak (tax coverage ratio) hanya mencapai 55 persen.

Jumlah tersebut jauh dari angka maksimal yang mencapai 70 persen.

Menurut pria bekacamata itu, hal tersebut berdampak terhadap kebijakan fiskal.

Terutama pembiayaan program strategis seperti jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Banyak hal yang membuat penerimaan pajak belum maksimal.

Salah satunya, sambung Misbakhun, adalah kapasitas sumber daya manusia di DJP yang masih rendah.

Secara kapasitas dan beban kerja, kondisi saat ini sangat tidak layak. 

Hingga kini, rasio pegawai pajak dengan penduduk di Indonesia mencapai 1:7.700.

Rasio itu jauh dibandingkan dengan negara yang efektivitas kelembagaan perpajakannya sangat optimal.

Salah satunya adalah Jerman yang memiliki rasio pegawai pajak dan penduduk hanya sekitar 1:727.

“DJP selama ini sudah melakukan upaya penguatan institusi dengan tambahan pegawai dan infrastruktur, namun perkembangannya belum optimal,” ujar Misbakhun.

Menurut Misbakhun, dengan tugas penerimaan pajak yang besar, DJP hanya berdasar Peraturan Menteri Keuangan sebagai turunan Peraturan Presiden tentang Struktur Organisasi Kementerian.

Ironisnya, Perpres juga berubah setiap ada pergantian kabinet.

Padahal, UUD menyebutkan bahwa perpajakan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

Saat ini, UU tentang Subtansi Materi Pajak sudah  diatur seperti di UU KUP, UU PPH dan UU PPN.

Dalam konteks itu, kata Misbakhun, DJP belum memperoleh kewenangan untuk mengatur SDM, organisasi dan anggaran sendiri.

DJP sebagai otoritas pajak masih dikelompokkan sebagai single directorate in ministry of finance.

“Oleh karena itu, Indonesia perlu memberikan otonomi pada otoritas pajak, melalui reformasi di sektor penerimaan negara. Dengan otonomi bisa menjadikan organisasi lebih independen sehingga mengurangi tekanan politik terhadap otoritas pajak,” pungkasnya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adhi Karya Kantongi Kontrak Kerja Rp 11,4 Triliun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler