MK Tolak Hapus Syarat Lolos 2,5 Persen

Pembuat UU Berhak Merumuskan Kebijakan

Sabtu, 14 Februari 2009 – 06:01 WIB
JAKARTA - Upaya sebelas partai politik menghapuskan syarat keterwakilan 2,5 persen suara nasional ke kursi DPR akhirnya kandasPenolakan MK diputuskan melalui sidang uji materi penghapusan pasal 202 UU Pemilu No 10/2008 Jumat (13/02) di Jakarta.

MK berpendapat, kebijakan UU Pemilu yang kerap disebut parliamentary threshold (PT) itu telah sesuai dengan ketentuan UUD 1945

BACA JUGA: Ketua DPR Minta Klarifikasi Johny Allen dan Setya Novanto

Hakim Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar menyatakan, lembaga legislatif selaku pembuat UU berhak merumuskan kebijakan
Penetapan ambang batas parlemen atau PT merupakan salah satu upaya DPR untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.

''Besarnya angka ambang batas menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan tanpa boleh dicampuri mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas,'' ujarnya dalam pembacaan putusan di gedung MK kemarin (13/2).

Salah satu dalil pemohon menyatakan bahwa pasal 202 ayat 1 UU Pemilu melanggar prinsip persamaan kedudukan di mata hukum

BACA JUGA: Antasari Surati Dirjen Anggaran Depkeu

Sebab, ambang batas itu berlaku hanya untuk pencalonan di kursi DPR


Terhadap dalil itu, MK berpendapat bahwa dalil tersebut sudah tepat

BACA JUGA: Dua Kasus Korupsi Masuk Tahap Penyidikan

''Sebab, kedudukan DPRD memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional,'' tegas Mukhtie.

Putusan MK atas PT tersebut konsisten dengan putusan MK sebelumnya terkait ambang batas pemilihan atau electoral threshold (ET)Pada Pemilu 2004, 13 partai politik peserta pemilu mengajukan penghapusan ketentuan ET sebagaimana tercantum dalam UU 12/2003MK menolak untuk menghapus ETSebab, kebijakan itu tidak diskriminatif sebagaimana keterangan pemohon.

Meski menolak gugatan, MK memberikan catatan khusus atas pasal tersebutMenurut Mukhtie, MK menyatakan bahwa pembuat undang-undang tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya

MK menilai, para pembuat undang-undang terkesan selalu bereksperimen''Pembuat undang-undang belum mempunyai definisi yang jelas atas sistem kepartaian sederhana yang ingin diciptakan,'' terangnya

Dua hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan MAkil Mochtar, menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) atas putusan tersebutMaruarar menilai, sistem PT tidak proporsional dengan asas kedaulatan rakyat dalam konstitusiSedangkan Akil Mochtar mengatakan, putusan MK seharusnya berbeda saat putusan ETSebab, PT mengakibatkan tidak terpilihnya seorang calon anggota DPR meski perolehan suaranya sempurna melampaui ambang batas dari calon lainnya.

Sebanyak sebelas partai politik peserta Pemilu 2009 meminta Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan tersebutMereka beralasan, aturan itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum, bersifat diskriminatif, dan tidak rasionalKetentuan itu juga dinilai melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.

Kesebelas parpol tersebut adalah Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Patriot, Partai Persatuan Daerah, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Karya Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, dan Partai Merdeka

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra MZen selaku kuasa hukum menilai, putusan MK yang menolak gugatan PT berbahaya karena tidak mempertimbangkan rasa keadilan bagi calon anggota legislatif dan masyarakat yang sudah menggunakan hak pilih di pemiluMenruut dia, kualitas peradilan di MK sudah menurun karena mengabaikan prinsip pengadilan yang adil dan tidak berpihak atau imparsial(bay/noe/mk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harjono Gantikan Jimly di MK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler