Moratorium Hutan, Bukti Kegagalan Diplomasi RI

Jumat, 08 Oktober 2010 – 07:04 WIB

JAKARTA -  Adanya muatan kepentingan ekonomi dan politik internasional di balik letter of intent (LoI) Indonesia  Norwegia makin mempertegas kegagalan politik luar negeri IndonesiaAdanya muatan-muatan kepentingan asing itu menunjukkan adanya kaki tangan pihak asing yang telah berhasil melobi pemerintah Indonesia sehingga menyepakati penandatanganan LoI tersebut.

"Kenapa terjadi kegagalan politik luar negeri? Hal ini bukan semata-mata disebabkan persoalan lingkungan dan persaingan komoditi unggulan

BACA JUGA: Sakit Jiwa Ditanggung Jamkesmas

Tetapi karena setiap negara industri kapitalis selalu ingin mempecundangi negara-negara lain," tegas ekonom UGM Revrisond Baswir dalam seminar Moratorium Konversi Hutan: Dilema Kepentingan Ekonomi Nasional dan Politik Internasional, yang diselanggarakan PB HMI, di Jakarta, kemarin (7/10).

Menurut Revrisond, selama ini telah terjadi  kegagalan politik luar negeri dalam banyak bidang, termasuk yang terjadi pada LoI Indonesia  Norwegia yang mengharuskan Indonesia melakukan moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut dengan iming-iming dana hibah hanya senilai USD 1 miliar
Karena itu, dia menilai, LoI Indonesia- Norwegia merupakan produk turunan dari imperialisme utang luar negeri yang telah menjerat perekonomian Indonesia selama berpuluh tahun

BACA JUGA: Persiapan Haji Sudah 97 Persen



Dijelaskannya, pemicu kegagalan politik luar negeri Indonesia adalah Indonesia sudah terlalu lama terjerat utang luar negeri, sehingga selalu berada pada posisi yang lemah di hadapan negara-negara industri maju
"Nilai hibah dari Norwegia yang hanya Rp 9 triliun itu sangat tidak sebanding dengan nilai bunga utang luar negeri sebesar Rp 125 triliun per tahun yang harus dibayar pemerintah," tegasnya.

Pada forum yang sama, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, isu-isu lingkungan pasti merupakan bagian dari skenario kepentingan negara-negara industri maju

BACA JUGA: Serukan Penghematan, Istana Justru Naikkan Anggaran

Isu mengenai hak asasi manusia (HAM) yang dulu gencar disuarakan negara-negara maju, juga menunjukkan adanya desain kepentingan dari mereka.

"Sekarang isunya berganti menjadi soal lingkungan yang memaksa pemerintah meneken LoI tentang  moratorium konversi hutan primer dan lahan gambutIni merupakan bagian dari skenario besar untuk menjaga kepentingan negara-negara industri," tegas Viva Yoga.

Yang memprihatinkan, menurut Viva Yoga, LoI tersebut telah mengusik harga diri dan rasa nasionalisme rakyat IndonesiaSebab untuk mendapatkan pencairan dana hibah yang telah dijanjikan pihak Norwegia, harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan parlemen setempat. 

Bahkan menurut Viva Yoga, LoI tersebut juga telah mampu mengubah kebijakan pembangunan nasionalPadahal LoI Indonesia-Norwegia itu bukan bagian dari rencana aksi pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)Perubahan arah kebijakan pembangunan itu terbukti dari adanya rencana Menteri Pertanian yang akan mencabut Kepmentan tentang pemanfaatan lahan gambut dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan isi LoI tadi"Hal-hal seperti ini harus diwaspadai," ujar Viva Yoga.

Karena tidak tercantum dalam RPJM tadi, maka Viva Yoga menengarai bahwa keluarnya LoI tentang moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut ini semata-mata hanya implementasi politik pencitraan Indonesia di mata dunia"Melalui keputusan moratorium ini Presiden SBY dinilai ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah memberi sumbangsih nyata pada upaya penyelamatan lingkungan dunia," katanya.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan terdapat kaki tangan kepentingan asing yang telah berhasil mempengaruhi pemerintah sehingga menyetujui konsep LoI tersebutPadahal, konsep rencana tindak dan implementasi dari LoI itu sejauh ini tidak jelas benar.

Akibatnya terjadi ketidaksinkronan di antara lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan implementasi LoI tersebutDi satu pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menyatakan presiden menunda pencairan dana hibah dari Norwegia karena lembaga pengelola dananya belum siap"Tetapi di sisi lain staf khusus presiden bidang perubahan iklim malah membantah keterangan itu," kata Elfian.

Kondisi itu, menurutnya, malah menimbulkan kebingungan pada masyarakat mengenai kepastian implementasi LoI dan moratorium itu sendiri"Jadi sebenarnya, LoI dan moratorium ini merupakan kemauan dan keinginan pemerintah dalam hal ini presiden, atau hanya permainan kepentingan-kepentingan luar negeri melalui kaki tangan mereka di sini yang berhasil meloby presiden?" tanya Elfian.

Baik Elfian maupun Revrisond, menegaskan daripada pemerintah disibukkan oleh agenda LoI dengan kewajiban melakukan moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut, maka lebih baik pemerintah memfokuskan perhatian dan upayanya untuk menuntaskan tata ruang wilayah di masing-masing provinsiSebab penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) justru merupakan agenda yang sangat penting untuk segera dituntaskan demi kelancaran proses pembangunan.

Selain itu pemerintah harus mendorong pengembangan industri hilir dari komoditi-komoditi unggalan kita agar kita tidak selamanya di bawah tekanan negara-negara industri maju"Kita harus segera berhenti mengekspor produk-produk primer atau bahan-bahan mentah," tegas Revrisond.

Sedangkan guru besar hukum lingkungan Universitas Parahyangan Asep Yusuf Warlan mengatakan, implementasi LoI yang mengharuskan dilakukannya moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut masih banyak menyisakan pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskanMoratorium ini mengandung kompleksitas permasalahan yang sangat tinggi"Padahal saat ini instrument-instrumen legal yang mendukungnya masih banyak yang belum dituntaskan," tegasnya(did)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Tolak Isu Populis Ical


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler