Motif Pemekaran Wilayah Kental Nuansa Politik

Rabu, 17 Juni 2009 – 17:36 WIB
JAKARTA - Otonomi daerah sudah berlangsung sekitar 10 tahunNamun dalam perjalanannya, 91 persen daerah otonom baru ternyata belum punya rencana tata ruang dan wilayah (RTRW)

BACA JUGA: Tahanan di Mako Brimob Tak Terusik

Fakta tersebut seolah memberi kesimpulan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak maksimal
Salah satu penyebabnya adalah motivasi melakukan pemekaran wilayah yang dilandasi motif politik daerah untuk berkuasa dan mengabaikan kemampuan untuk berkembang.

Hal tersebut ditegaskan oleh Prof Dr Aziz Haily MA, dalam Sidang Senat Terbuka penyampaian pidato ilmiah pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jakarta, Selasa (16/6)

BACA JUGA: Jaksa Agung Minta Djoko Tjandra Kooperatif

Dikatakan Aziz, melalui sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 148 daerah hasil pemekaran, ditemukan sekitar 65 daerah otonom atau sebanyak 87 persen daerah induk, belum menyelesaikan pembiayaan, personel, peralatan dan dokumentasi (P3D) dan 79 persen daerah baru belum memiliki batas wilayah yang jelas.

"Bahkan 10 tahun setelah pemekaran, ternyata lebih dari 50 persen pemekaran wilayah mengalami kegagalan, terutama dalam segi menyejahterakan rakyat," tegas Aziz.

"Padahal, motif awal dari tuntutan pemekaran suatu wilayah adalah soal-soal kesejahteraan
Tapi dalam perjalanannya, lebih banyak memunculkan konflik antara daerah baru yang dimekakarkan dengan daerah induk, seperti yang terjadi antara Kota Bau-Bau dengan kabupaten induknya di Sulawesi Tenggara," kata Aziz pula.

Menurut Aziz yang juga mantan Bupati Lima Puluh Kota di Sumbar itu, dari awal sesungguhnya banyak daerah pemekaran yang jika dilihat dari aspek teknis tidak memenuhi persyaratan dasar sebagai daerah otonomi

BACA JUGA: Diganjar 4,5 Tahun, Besan SBY Banding

"Tapi, karena begitu besarnya tekanan politis, maka pemekaran tersebut bisa terwujud," imbuhnya.

Aziz juga membeberkan analisis Litbang Kompas tahun 2008, yang dilakukan terhadap daerah-daerah hasil pemekaran untuk mengukur sejauh mana percepatan pembangunan daerah pemekaran dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun pertama pasca-pemekaran, terhadap 179 kabupaten/kota daerah otonom baru"Temuan mereka adalah, hampir separuhnya justru mengalami kemunduran," tuturnya.

Hasil kontradiktif lain juga diungkap oleh Departemen Keuangan, di mana sebanyak 293 daerah (57,45 persen) dari total daerah, belum menyelesaikan peraturan daerah (Perda) tentang APBD 2009"Sementara 65 persen dari total belanja negara yang ditetapkan dalam APBN mengalir ke daerahTermasuk daerah-daerah yang secara definitif belum memiliki Perda APBD, namun tetap mengeksekusi APBD tanpa payung hukum yang jelas," jelas Aziz lagi.

Aziz juga menyinggung faktor pemerintah pusat sebagai variabel yang tidak terukur dalam proses penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah dari waktu ke waktu"Ibarat pendulum, kebijakan pemerintah bergerak bolak-balik ke dua arah yang bertentangan: ke arah otonomi daerah seperti masa pemerintahan Habibie, atau berbalik lebih memihak sentralisme seperti sekarang setelah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004," kritiknya.

Pada saat ini, menurut Aziz akhirnya, tidaklah realistis mengharapkan perubahan berlangsung efektif dalam waktu singkat, serta terwujudnya otonomi daerah yang ideal"Apalagi masyarakat bangsa ini masih dalam tahap transisi, ke arah demokrasi yang terperangkap dengan 'demokrasi prosedural' yang kosong," tegasnya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Juli, BPK Audit Dana Dekonsentrasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler