jpnn.com, MALANG - Laporan Tim Jelajah Pesantren di Kampung Minoritas Radar Malang (Jawa Pos Group) ke Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Di sana, di Dusun Kebon Kuto, Desa Sukodadi, ada sebuah musala yang berdiri di tengah perkampungan warga Hindu.
BACA JUGA: Pesantren di Kampung Minoritas: Syahadat Itu Apa
Di musala itulah, anak-anak dusun setempat ”membangun” fondasi agama Islam-nya.
===============================
Indra Mufarendra - Radar Malang
===============================
BACA JUGA: Di KTP Beragama Islam Tetapi Jarang Salat
Menyusuri jalanan di Desa Sukodadi, Kecamatan Wagir, mengingatkan penulis pada suasana pedesaan khas Pulau Dewata Bali.
Di desa ini, amat mudah menemukan rumah-rumah berarsitektur khas Bali. Ciri yang paling menonjol bisa dilihat pada bagian pagar serta keberadaan gapuranya.
BACA JUGA: Kampung Minoritas Muslim: Simbol Tegaknya Antarumat Beragama
Ya, di desa ini memang cukup banyak penganut agama Hindu. Bahkan, di Dusun Kebon Kuto, sekitar 60 persen warganya beragama Hindu. Meski begitu, denyut kehidupan masyarakat muslim di desa ini masih cukup terlihat.
Musala Miftahul Jannah menjadi satu-satunya tempat ibadah umat Islam yang ada di dusun tersebut. Musala ini dikelilingi rumah-rumah berarsitektur khas Bali.
Yang menarik, bahkan umat Hindu di sekitar musala juga penuh toleransi. Mereka tak jarang ikut membantu kegiatan sosial musala seperti bersih-bersih maupun ketika membangun.
Sore itu (28/5), belasan anak-anak terlihat bersemangat mengikuti kegiatan mengaji di musala berukuran sekitar 7×7 meter itu. Dengan tertib, anak-anak menanti giliran untuk setoran bacaan Alquran di depan guru ngajinya.
Anak-anak perempuan setor bacaan pada Nur Hasanah. Sementara yang laki-laki setor bacaan pada Khotimatul Khusnah. Sesekali, terdengar suara canda tawa khas anak-anak.
Ya, seperti itulah rutinitas yang biasanya muncul setiap sore di Musala Miftahul Jannah. Setidaknya empat hari dalam sepekan.
Yakni, Senin, Selasa, Rabu, dan Sabtu.
Geliat umat muslim di Dusun Kebon Kuto, Desa Sukodadi, mulai muncul sejak 1988 silam. Seiring dengan berdirinya Musala Miftahul Jannah di desa tersebut.
Pendiri musala itu adalah (alm) Pa’i, salah seorang tokoh masyarakat di Dusun Kebon Kuto.
”Bapak saya dulunya mualaf. Karena melihat di sini tidak ada tempat ibadah untuk umat muslim, bapak mewakafkan tanahnya untuk dibangun musala,” kata Karto, putra (alm) Pa’i.
Untuk pembangunannya, mereka dibantu warga sekitar dan juga donatur. Meski sudah ada musala, TPQ baru ada dua dekade setelah itu.
Karto menyadari bahwa anak-anak Dusun Kebon Kuto butuh tempat untuk belajar agama. ”Sebelumnya, untuk mengaji, mereka harus berjalan jauh ke dusun sebelah,” ujar dia.
Pada 2012, Karto lantas menemui Fatkhur Rahman, warga Dusun Jamuran, Desa Sukodadi. Amin –sapaan akrab Fatkhur Rahman– lebih dulu membuka TPQ di Dusun Jamuran.
Gayung bersambut, dari pertemuan itu, mereka langsung membuka TPQ di Musala Miftahul Jannah.
Amin mengungkapkan, TPQ Musala Miftahul Jannah murni proyek sosial. Sebab, para pengajarnya bertugas secara sukarela. Pun demikian, anak-anak yang belajar di TPQ itu tidak dipungut iuran sepeser pun.
Barangkali karena keterbatasan modal itulah, TPQ ini sempat hanya eksis selama dua tahun. Pada awal 2014, TPQ itu vakum. ”Kami kesulitan mendapatkan tenaga pengajar,” ujar dia.
Sampai kemudian, pada awal 2017, Amin menggandeng delapan penyuluh agama Islam Kecamatan Wagir.
”Mereka mengajar secara bergiliran. Setiap hari, ada dua orang yang mengajar,” jelas dia.
Saat ini, TPQ Musala Miftahul Jannah memiliki 15 murid. Mereka berusia antara 6–10 tahun. ”Seluruhnya merupakan siswa sekolah dasar (SD). Mulai dari kelas I–V,” ujar dia.
Sama seperti TPQ di daerah minoritas lain yang sebelumnya ditulis Jawa Pos Radar Malang, selama ini hampir tidak ada remaja (anak seusia SMP ke atas) yang mau belajar mengaji di Miftahul Jannah. Padahal, Amin dan pengajar lainnya tak kurang-kurang mengajak para remaja di Dusun Kebon Kuto.
”Bahkan, kami siap jika harus membuka jadwal khusus untuk para remaja. Waktunya kami serahkan kepada mereka. Tapi, ya itu, sulit sekali. Kami juga tidak bisa memaksa,” ujar dia.
Padahal, dia berharap banyak kepada remaja maupun anak-anak muda di Dusun Kebon Kuto.
”Kami ingin ada kaderisasi. Pengajar di TPQ ini seharusnya warga setempat. Sebab, pengajar yang selama ini ada, seluruhnya berasal dari luar dusun, bahkan luar desa. Saya tidak yakin mereka bakal bertahan untuk jangka waktu yang lama di sini,” pungkas dia. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berbentuk Masjid Nabawi, Lentera di Kampung Minoritas
Redaktur : Tim Redaksi