Nasib Hiburan Malam di Bulan Ramadan

Rabu, 21 Juli 2010 – 10:53 WIB
Foto: Net/IST

RUTIN setiap tahun, menjelang dan sepanjang bulan Ramadan, usaha hiburan malam menjadi sorotanSelalu diwarnai sweeping oleh ormas militan

BACA JUGA: Kejaksaan Belum Perlu Larang Awang

Ada kekecewaan sekian banyak tenaga kerja di sektor hiburan, terlebih menjelang lebaran
Kecewa karena uang tips yang jadi andalan bakal merosot, sedang untuk sekadar membeli sejumput cabe saat ini perlu puluhan ribu.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sudah mewanti-wanti agar penguasaha hiburan malam tidak membandel

BACA JUGA: Polri Janji Lindungi Pekerja Media

Bila nekad 'menodai bulan suci umat Islam', maka akan dicabut izinnya
Ancaman-ancaman serupa bakal bergiliran datang dari pemda-pemda, sepanjang hari-hari mendatang, hingga akhir Ramadan.

"Mestinya tak perlu dengan kebijakan-kebijakan represif

BACA JUGA: Lagi, Dua Pejabat Tomohon Diperiksa KPK

Yang penting adalah membangun penyadaran, karena mendisiplinkan masalah keagamaan yang dibutuhkan adalah proses penyadaran, bukan dengan regulasi yang mengancam," begitu sosiolog dari UGM, Yogyakarta, Arie Sudjito.

Namun Arie membenarkan langkah Pemprov DKI yang mengeluarkan kebijakan itu, hanya saja pendekatannya yang mesti diganti, lantaran memang persoalan rutin ini menjadi kewenangan daerahTak perlu pusat yang mengurusinya, karena daerah yang tahu persis kondisi masing-masingKepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budiman menyebut, ada sekitar 1300 tempat hiburan yang berada di lima wilayah DKI Jakarta.

Daerah pula yang berhak mengurusinya, karena perlu penonjolan pendekatan kultural dalam mengatasi persoalan iniBagaimana dengan sikap reaktif represif dari ormas yang mengerahkan milisinya, yang biasa bergerak di bulan sakral umat muslim ini? Di sinilah peran pusat, sebagai representasi negara, diberi ruang untuk terlibatNegara, perlu memberikan policy yang tegas, bagaimana aparatnya harus bertindak, agar perannya tak diambil oper milisi sipil yang suka mengobrak-abrik tempat hiburan malam.

Hiburan malam, kerap kali, identik dengan dugem (dunia gemerlap), hura-hura, karaoke, diskotik, live music, panti pijat, dan segala bumbunya, termasuk esek-esekTapi membangun semangat pluralisme, yang intinya adalah toleransi, tetap tak bisa diselesaikan dengan kekerasanSekali lagi, yang dibutuhkan adalah pendekatan penyadaran, dialog"Toh bangsa ini sudah dewasa," imbuh mantan aktivis 1998 itu.

Untuk proses penyadaran, lanjut Arie, sejumlah ormas keislaman perlu turun tanganMuhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), atau pun Majelis Ulama Indonesia (MUI), perlu terus membangun dialog dengan banyak elemen masyarakat, termasuk kalangan pengusaha sektor dugemJangan hanya bersuara tatkala ada pemberitaan tindakan anarkis milisi"Karena hanya dengan pendekatan kultur, suasana tetap bisa sejukPendekatan policy dan politik, sulit untuk bisa meredam hingar-bingar dunia malam," katanya.

Industri apa pun, termasuk tempat hiburan malam, sudah tentu menyerap tenaga kerjaDi sana, ada kepala keluarga yang ingin dapurnya tetap mengepulPemerintah, sudah tentu, juga tak ingin angka pengangguran bertambah"Selama penutupan pada Ramadan pasti ada penurunan pendapatan yang signifikan hingga 40 persen," kata Ketua Perhimpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum Adrian Mailite.

Cukup berat memangDi saat pendapatan anjlok, mereka harus tetap mengeluarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawannya, sama dengan perusahaan swasta lainnyaAdilkah? (sam/fuz/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Modus Korupsi, Beli Boarding Pass Fiktif


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler