Neraca Perdagangan Defisit Rp 7,2 Triliun

Sabtu, 02 November 2013 – 09:31 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus lalu tidak berlanjut. Memasuki periode September, neraca dagang Indonesia kembali terseret ke jurang defisit.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, perdagangan internasional Indonesia pada September lalu tercatat lebih ramai daripada Agustus. Namun, kenaikan ekspor tidak bisa mengejar lonjakan impor yang lebih cepat. "Akibatnya, September kita kembali defisit USD 657 juta (sekitar Rp 7,2 triliun)," ujarnya di kantor BPS, Jumat (1/11).

BACA JUGA: Sumut Dirancang jadi Klaster Aluminium Terbesar

Data BPS menunjukkan, ekspor September lalu tercatat USD 14,81 miliar, naik 13,19 persen bila dibandingkan dengan periode Agustus yang sebesar USD 13,08 miliar. Ekspor September itu terdiri atas nonmigas USD 12,29 miliar (naik 18,6 persen daripada Agustus USD 10,36 miliar) dan migas USD 2,51 miliar (turun 7,52 persen daripada Agustus USD 2,72 miliar).

Tiongkok masih tercatat sebagai pasar ekspor terbesar Indonesia periode September lalu dengan nilai USD 1,62 miliar. Jepang ada di posisi kedua dengan nilai USD 1,38 miliar, diikuti Amerika Serikat (AS) senilai USD 1,29 miliar.

BACA JUGA: Dahlan Iskan Minta Pemprov Sumut Siapkan Dana Besar untuk Inalum

Sementara itu, impor September tercatat USD 15,46 miliar, melonjak 18,86 persen bila dibandingkan dengan realisasi periode Agustus yang sebesar USD 13,01 miliar. Impor September itu terdiri atas nonmigas USD 11,79 miliar (naik 26,30 persen daripada Agustus USD 9,34 miliar) dan migas USD 3,66 miliar (turun 0,06 persen daripada Agustus USD 3,67 miliar).

Tiongkok masih menjadi negara pemasok terbesar bagi Indonesia. Sepanjang September lalu, Indonesia mengimpor barang senilai USD 2,75 miliar dari Tiongkok. Lalu, dari Jepang sebesar USD 1,51 miliar, disusul Singapura USD 884,4 juta, dan Thailand USD 835,4 juta.

BACA JUGA: Pengalihan Inalum Terganjal Persoalan Kompensasi

Menurut Suryamin, ada beberapa hal yang bisa dicermati dari angka ekspor impor. Pertama, turunnya impor bahan bakar minyak (BBM) dari USD 2,43 miliar pada Agustus menjadi USD 2,21 miliar. "Ini bisa disebabkan turunnya konsumsi BBM bersubsidi setelah kenaikan pada Juni lalu," katanya.

Kedua, impor kendaraan bermotor dan bagiannya yang menunjukkan tren naik. Misalnya, pada September tercatat USD 626 juta, naik 9,88 persen bila dibandingkan dengan Agustus yang sebesar USD 570,1 juta. Bahkan, sepanjang Januari sampai Septem­ber 2013, nilai impor menembus USD 6,08 miliar atau sekitar Rp 66 triliun. "Artinya, penjualan mobil di Indonesia masih sangat tinggi dan sebagian harus dipenuhi dari impor, terutama dari Thailand," ucapnya.

Thailand memang dikenal sebagai basis produksi otomotif terbesar di kawasan ASEAN. Hampir semua raksasa otomotif dunia menjadikan Negeri Gajah Putih tersebut sebagai basis produksi, khususnya produk sedan. Karena itu, hampir semua sedan berbagai merek yang berseliweran di Indonesia saat ini diimpor dari Thailand.

"Sangat penting bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor otomotif agar tingginya permintaan mobil bisa dipenuhi dari dalam negeri, tidak harus impor terus," jelasnya. (owi/c10/ca)

BACA ARTIKEL LAINNYA... NAA Langsung Serahkan Aset Inalum


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler