jpnn.com, JAKARTA - Nilai perdagangan Indonesia mengalami surplus USD 1,24 miliar pada April 2017 lalu.
Jumlah itu hanya naik sedikit dibandingkan surplus neraca perdagangan pada Maret 2017 yang sebesar USD 1,23 miliar.
BACA JUGA: Investor Tiongkok Tertarik Tanam Modal di GIIPE
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, surplus pada neraca pembayaran disumbang ekspor nonmigas.
Sementara itu, faktor pemberatnya adalah defisit pada neraca gas yang cukup besar.
BACA JUGA: Pemerintah Berjuang Katrol Peringkat Kemudahan Berbisnis
Secara kumulatif, pada Januari–April 2017, terjadi surplus dalam neraca pembayaran senilai USD 5,33 miliar.
Dari sisi relasi, Indonesia mengalami surplus dengan tiga negara.
BACA JUGA: Misbakhun Bela Jokowi dari Kritik soal Pertumbuhan Ekonomi
Yakni, India sebesar USD 3,36 miliar, Amerika Serikat (USD 3,23 miliar), dan Belanda (USD 1,05 miliar).
Sementara itu, defisit terjadi dalam relasi dengan Australia, Thailand, dan Tiongkok.
Menurut Suhariyanto, total nilai ekspor April sebesar USD 13,17 miliar tercatat menurun 10,3 persen dibanding Maret lalu.
Penurunan nilai ekspor terbesar dialami komoditas migas dari USD 1,51 miliar menjadi USD 976,8 juta (35,36 persen).
Ekspor nonmigas juga melorot 7,4 persen menjadi USD 12,19 miliar.
Komponen ekspor nonmigas yang tercatat menurun, antara lain, lemak, minyak hewan nabati, mesin, peralatan listrik, serta karet dan barang dari karet.
”Ada penurunan harga pada minyak sawit dan karet, sedangkan harga batu bara, timah, aluminium, dan kakao mengalami naik,” jelas Suhariyanto.
Meski terjadi penurunan kinerja, nilai ekspor pada April lalu masih lebih baik jika dibandingkan dengan April 2016. Kenaikannya mencapai 12,6 persen.
Sedangkan nilai ekspor secara kumulatif Januari–April tahun ini mencapai USD 53,86 miliar atau tumbuh 18,63 persen dibanding kuartal pertama 2016.
Sejalan dengan penurunan kinerja ekspor, nilai impor pada April turun 10,20 persen menjadi USD 11,92 miliar.
Penurunan impor terjadi pada minyak mentah, gas, bawang putih, apel, cabai kering, kedelai, dan daging sapi beku.
”Impor kurma dari Tunisia meningkat hampir 50 persen menjelang Ramadan,” kata Suhariyanto.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai kinerja neraca perdagangan pada April masih baik. Terutama berkat kenaikan nilai ekspor jika dibandingkan dengan tahun lalu.
”Year-to-date juga masih naik 18–19 persen. Itu modal bagus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Pada kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,01 persen atau meningkat tipis dibanding pertumbuhan pada kuartal pertama 2016 sebesar 4,92 persen.
Angka pertumbuhan tersebut masih berada di ekspektasi pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi pada akhir 2017 mencapai 5,3 persen.
Salah satu potensi peningkatan ekspor RI dari komoditas nonmigas adalah rencana Tiongkok mengembangkan biodiesel kelas 5.
Kebijakan itu berpotensi meningkatkan kebutuhan CPO Tiongkok sebesar lima persen.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan kesiapan menambah pasokan CPO ke Tiongkok.
Peningkatan demand tersebut dinilai menjadi momentum pemulihan kinerja ekspor yang melandai pada kuartal pertama 2017.
”Tiongkok adalah pasar terbesar (CPO Indonesia) setelah India dan Pakistan,” kata Juru Bicara Gapki Tofan Mahdi kemarin (15/5).
Permintaan sejumlah negara pasar CPO RI saat ini menurun karena meningkatnya pasokan rapeseed (rapa).
Pada Maret lalu, India mencatatkan penurunan permintaan CPO sebesar 27 persen menjadi 430,03 ribu ton, diikuti Tiongkok yang turun 18 persen dari 344.09 ribu ton pada Februari menjadi 322.14 ribu ton pada Maret lalu.
India juga baru saja merilis regulasi penurunan tarif impor minyak bunga matahari dari 30 persen menjadi sepuluh persen yang efektif berlaku pada 1 April 2017.
Hal tersebut mengakibatkan para pedagang menahan pembelian minyak sawit dan akan menaikkan pembelian minyak bunga matahari.
Di sisi lain, nilai ekspor CPO ke negara-negara Uni Eropa masih meningkat meski pada pertengahan Maret lalu parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit.
Ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Uni Eropa tumbuh 27 persen dari 352,02 ribu ton pada Februari menjadi 446,92 ribu ton pada Maret.
Kenaikan ekspor tersebut menunjukkan bahwa negara-negara Uni Eropa tetap membutuhkan minyak sawit dalam produksi kebutuhan rumah tangga.
Resolusi pembatasan ekspor CPO mulai 2020 ke Uni Eropa sejauh ini belum berdampak.
Buktinya, ada peningkatan ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat pada bulan ini. (agf/jun/ken/c23/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seperti Ini Dampak Implementasi Regulasi Gambut untuk Riau
Redaktur & Reporter : Ragil