jpnn.com - ‘’Kalian jangan pernah kaget. Jika suatu hari mereka berhasil mendapatkanku, maka aku akan hadapi dengan senyum’’. Graha Pena Jawa Pos, Jakarta, Desember 2014.
Saat itu saya satu dari belasan Pemimpin Redaksi JPG yang terpilih mengikuti kelas jurnalistiknya.
BACA JUGA: 2 Tahun Jokowi-JK, Jaksa Agung Tak Ada Prestasi
***
27 Oktober 2016. Founding father Jawa Pos itu resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Saya menerima banyak sekali telepon dan pertanyaan lewat WhatsApp dan BBM.
BACA JUGA: ICW Dorong KPK Buktikan Kasus Dugaan Suap Maruli
Hampir semuanya menanyakan kebenaran dan rasa keprihatinan. Mereka kaget. Saya tidak.
Karena sejak ia mengatakan itu, saya sudah menyiapkan hati. Ia adalah Guru yang menjadi salah satu sumber idealisme saya untuk Indonesia.
BACA JUGA: Ini Lima Alasan Hakim Beri Vonis 20 Tahun Bui untuk Jessica
Dahlan Iskan. Bahkan tidur pun pundi-pundi rupiah akan tetap mengalir ke rekeningnya. Ada hampir 300 perusahaan di bawah bendera Jawa Pos Group yang dipimpinnya.
Namun kemana-mana, ia hanya suka dengan kemeja putih, celana kain dan sepatu ketsnya. Seorang mantan wartawan Tempo yang tulisannya begitu tajam.
Seorang Ayah bagi puluhan ribu karyawan media Group di seluruh penjuru Indonesia.
Ayah yang selalu menyiramkan ‘minyak pada api-api jurnalis muda’, untuk menulis jujur dan selalu memihak pada kebenaran rakyat.
Dahlan Iskan. Berpuluh tahun lalu, menghidupkan kembali Jawa Pos dari mati suri.
Membangunnya dari perusahaan berdarah-darah, hingga mampu bangkit dan menjadi yang terbesar di Negeri ini. Dari Aceh sampai Merauke.
Saya pernah bertanya,’’Mengapa kita tidak menguasai Jakarta atau membuat Televisi seperti yang dibuat mereka?’’.
Kira-kira jawabannya begini ‘’Jawa Pos adalah koran rakyat. Biarkan ia masuk ke kampung-kampung mencerahkan rakyat. Kita tidak perlu menguasai Jakarta, karena kita ingin dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan menguasai opini para penguasa di Ibukota,".
Dahlan Iskan. Saat menjadi Menteri, menyerahkan seluruh gajinya untuk memulangkan salah satu putra terbaik bangsa.
‘’Sang Putra Petir’’ yang cerdas itu, sudah lama tinggal Jepang, hanya Dahlan yang bisa memanggilnya pulang.
Mereka berkolaborasi membuat mobil listrik, yang semua biaya ditanggung oleh kantong pribadinya.
Ia mengalirkan optimisme bagi Tanah Air ini, membuktikan bahwa Indonesia pasti bisa dan MEMANG BISA.
Sayangnya, hampir semua yang terlibat dalam proses mimpi mobil listrik itu menjadi mobil Nasional, dikriminalisasi. Mimpi itu sudah hancur, jauh sebelum kita semua bangun tidur.
Dahlan Iskan. Suatu pagi saya pernah menemuinya di sekitaran Monas, Jakarta. Waktu itu ia masih seorang Menteri. Saya sampaikan permohonan padanya
‘’Pak, berkenankah menerima Bupati saya. Ada persoalan listrik masyarakat yang terganjal salah satu perusahaan BUMN’’.
Jawabannya enteng saja ‘’Silahkan Bupatinya datang besok pagi, di ruang kerja saya’’. Tanpa surat, tanpa protokoler, tanpa syarat itu ini.
Mereka bertemu, dan hari itu si Bupati membawa pulang tiga hasil pembicaraan yang semuanya positif untuk rakyat. Tidak hanya satu.
Dahlan Iskan. Seorang penulis yang saya selalu meleleh setiap membaca tulisannya. Saya menyebut tulisan-tulisannya, disusun menggunakan ‘kata dan kalimat surga’.
Karena terkadang tidak pernah saya pelajari dalam banyak referensi, ataupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sesaat sebelum dibius total untuk menjalani operasi ganti hati, Dahlan masih menggunakan pikirannya yang jernih, mengingat di sekelilingnya, lalu menuliskannya.
Saya selalu mengagumi setiap penulis, karena menulis adalah cara hati yang paling jujur untuk mengungkapkan kejujuran.
Dahlan Iskan. Seorang pekerja keras, yang sukanya ‘wat wet wut’ dan anti lelet. Bagi orang, dia dikenal sebagai pengusaha ataupun mantan Menteri.
Namun bagi saya, ia tetap seorang jurnalis sejati. Bagi seorang jurnalis, setiap waktu hidupnya selalu ada DEADLINE.
Yakni waktu di mana suka tidak suka, mau tidak mau, hasil kerja redaksi yang DIRASA DAN DIYAKINI TERBAIK UNTUK PUBLIK sudah harus masuk ke ruang cetak dan didistribusikan segera, untuk dinikmati pembaca.
Cara kerja deadline ini pula yang dilakukannya saat dipanggil mengabdi oleh NEGARA, dan tidak pernah mengambil GAJINYA.
Cara kerja deadline ini pula yang membuatnya turun langsung melakukan blusukan, jauh sebelum dikenal sebagai istilah politik seperti sekarang.
Ia dengan segala semangatnya, mampu menutupi keterbatasannya yang harus mengkonsumsi obat sepanjang hidup, untuk menopang dampak dari operasi ganti hati, hanya demi INDONESIA.
Cara kerja seperti ini pula, yang membuatnya menjadi sasak dari sistem peradilan yang abu-abu.
‘’Saya sudah melarang Abah untuk menjadi pejabat Negara, tapi yo ngono. Dia selalu optimis, katanya Indonesia pasti bisa maju dan berubah. Dia selalu meyakini mimpinya,’’
Istrinya sering mengatakan itu pada kami. Hari ini ketakutan istrinya terbukti. Mimpi untuk Negara ini lebih baik, kembali memakan tumbal lagi.
Dahlan Iskan. Ia kemarin tersenyum, untuk kasus hukum yang entah-entah kapan. Tapi ini Negara hukum, maka ia pasti menghormati hukum yang selama ini selalu menjadi mata penanya.
Saya yakin, tidak akan ada satu sel pun di Negara ini, yang akan bisa menahan ‘tulisan-tulisan surganya’ untuk tetap dibaca.
**
‘’Pak, saya akan sekolah lagi, untuk kurun waktu sekitar 3-4 tahun. Saya pamit meninggalkan ruang redaksi’’.
Suatu pagi di sekitaran Monas, perkiraan Juni 2015. Ia dan istrinya selalu olahraga pagi di kawasan itu. Mereka sering jalan kaki menyusuri kota Jakarta, berdua.
Ia tersenyum padaku.’’Jika itu dirasa jadi pilihan terbaik menurut kata hatimu, ya lakukan saja. Lakukan hal terbaik di jalan kebaikan yang bisa kamu lakukan untuk dirimu, keluarga dan Tanah Air. Kamu tidak perlu khawatir bila tidak bisa menulis di masa cuti. Saya saja masih tetap menulis di masa-masa mau mati,’’.
Dahlan Iskan, bukan malaikat. Ia hanya seorang manusia biasa. Bahkan jika kelak palu hakim memutuskan ia bersalah, saya akan tetap mengikuti suara hati.
Saya sangat membenci koruptor. Namun bila istilah koruptor itu harus disematkan pada seorang nama Dahlan Iskan, maka untuk pertama kali dalam hidup ini, saya mempertaruhkan seluruh kredibilitas profesionalisme saya sebagai seorang jurnalis, untuk tetap mencintai dan menghormati sepenuh hati “koruptor” satu ini.
Karena meski pernah ganti hati, saya sangat yakin sekali, hati seorang Dahlan Iskan, adalah salah satu hati tertulus untuk Negeri ini.
#SaveDahlanIskan
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Bidik Maruli Hutagalung dalam Kasus Dugaan Suap
Redaktur : Tim Redaksi