Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)

Untuk Orang Rp 5 Ribu, Mumi Rp 20 Ribu

Selasa, 10 Februari 2009 – 08:11 WIB
Foto: Nany Wijaya/JAWA POS

Seperti kata banyak orang, kunjungan Anda ke Papua belum lengkap kalau belum ke WamenaSaya sudah membuktikan, ini bukan sekadar ungkapan, tapi fakta

BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (1)

Sebab, ibu kota Lembah Baliem ini memang menyimpan banyak cerita dan gambar
Dan, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos, NANY WIJAYA memotret di sana.


SEJAK puluhan tahun lalu, nama Lembah Baliem sudah terkenal

BACA JUGA: Menikmati Ikon-Ikon Kota Brussels, Belgia, di Musim Dingin

Bahkan, para ahli antropologi di Barat menyebutnya sebagai museum hidup
Sebab, sampai zaman sudah modern, suku yang hidup di kaki Pegunungan Jayawijaya itu masih mempertahankan budaya aslinya.

Sebelum 1970-an, pemerintah masih mengizinkan orang asing melakukan penelitian antropologi di daerah tersebut

BACA JUGA: Mengunjungi Mesir, Negeri dengan Banyak Situs Spektakuler (3-Habis)

Inilah sebabnya, mengapa Dani menjadi suku yang paling banyak disebut dalam buku-buku dan tesis-tesis antropologi.

Tetapi, penelitian itu sempat dilarang selama beberapa dekade, setelah terjadi dua peristiwa menghebohkanYang pertama, karena hilangnya Michael Rockefeller, anak kesayangan orang terkaya di dunia David Rockefeller, ketika berkunjung ke Lembah BaliemKedua, setelah terjadinya pernikahan paling kontroversial antara Obahorok Doga, kepala suku Dani dengan Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika Serikat yang mengaku sebagai antropolog.

Dari banyak suku yang hidup di Papua, nama Dani memang paling dikenalBukan karena suku ini yang paling banyak diteliti, tetapi karena suku ini paling gemar berperangHal itulah yang kemudian menjadikan suku ini paling banyak diteliti antropologKarena itu pula, suku tersebut mendapat julukan the HeadhunterSi pemburu kepala.

Gelar itulah, tampaknya, yang membuat Sargent datang ke Wamena dan kemudian menawarkan diri untuk menjadi istri Obahorok, yang ketika itu sudah punya 10 istri.

Tawaran Sargent itu tentu menjadi kejutan yang menggembirakan bagi Obahorok, istri-istrinya, dan seluruh warga DaniSebagai wujud kegembiraan mereka, digelarlah wam mawe (pesta pernikahan) besar-besaran selama 10 hari 10 malamLebih dari 60 babi disembelih dan dibakar dalam pesta itu.

Sebagaimana pengantin suku Dani, Sargent pun kabarnya juga bertelanjang dada dan mengenakan yokal (rok pengantin perempuan)Sesudahnya, dia juga tidur sebagai suami istriDan seusai pesta pun, Sargent pergi ke ladang sebagaimana istri-istri Obahorok yang lain.

Sayangnya, pernikahan yang menghebohkan itu tak berlangsung lamaDua bulan berselang, setelah merasa punya cukup koleksi foto dan wawancara, Sargent menghilangAlasannya ketika itu, diusir polisi.

Belakangan terungkap, Sargent menggunakan pernikahan itu sebagai alat untuk melengkapi penelitiannyaSebab, pada 1974 dia merilis buku berjudul People of the ValleySejak itu Sargent tak pernah lagi bisa masuk IndonesiaSejak itu pula orang tak pernah lagi mendengar tentang Obahorok.

Itu sebabnya, ketika berkunjung ke Wamena, saya tidak berusaha mencari jejak Obahorok atau orang-orang yang pernah hadir di pernikahan paling kontroversial ituSelain karena tidak yakin bahwa Obahorok masih hidup, juga karena saya cuma punya waktu dua hari.

Semula saya berpikir waktu dua hari terlalu banyak untuk berkunjung ke WamenaSekarang saya menyesal, karena seminggu pun bukan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi Lembah Baliem dan suku Dani-nyaSebab, sampai sekarang pun masih cukup banyak warga Dani yang hidup dengan tradisi aslinya: Telanjang, kaum pria berkoteka, hidup di rumah adat, dan menjalankan tradisi potong jari dan potong telinga.

Orang-orang Dani yang masih hidup seperti itu bisa ditemui di Desa Kurulu, sekitar 45 menit dari Kota WamenaJangan dibayangkan bahwa mereka tinggal di gunung-gunung, jauh dari kehidupan modern.

Mereka tinggal di satu kampung yang hanya terdiri atas sekitar 10 hone (rumah adat yang terbuat dari ijuk)Kampung itu terletak di tepi jalan raya yang beraspal dan mudah dijangkau dengan mobil.

Meski masih hidup secara primitif, mereka tidak anti kepada orang lain yang sudah berpakaianBahkan, mereka senang kalau ada "orang asing" (baca: bukan orang Wamena) berkunjung ke kampungnyaSebab, itu berarti penghasilan bagi mereka.

Ketika berangkat ke Papua, seorang teman saya, fotografer, mengingatkan saya agar membawa uang seribuan (Rp 1.000) dalam jumlah banyakSebab, orang-orang asli itu akan meminta bayaran bila difoto"Seribu satu kali jepret," kata teman tadi.

Saya tidak membantah anjuran itu, mengingat ini kunjungan pertama saya ke WamenaMenjelang berangkat, saya menyiapkan 100 lembar uang seribuan yang masih gres, baruTetapi, saya juga membawa cukup banyak uang Rp 5 ribuan, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuanSiapa tahu saya butuhkan!

Dengan ditemani Bertho, sopir mobil sewaan, dan Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group di Papua), saya memasuki kampung itu.

Di mulut kampung, saya sudah disambut seorang lelaki setengah baya yang wajahnya menyeramkan, mengenakan topi adat dan kotekaSaya tidak paham apa yang dia katakan, seperti juga dia tidak paham ucapan saya.

Komunikasi antara kami mulai terjalin ketika seorang wanita yang berpakaian lengkap, tanpa alas kaki, datang mendekat"Mau lihat mumi ya?" sapanya.

Bertho mengiyakanTanpa bertanya lagi, wanita itu -dengan diiringi lelaki berkoteka tadi- lantas mengantar kami ke sebuah gubuk di pojok kampungDi situ ada tiga lelaki yang juga sudah berumurMereka juga telanjang, berkoteka, dan mengenakan ikat kepala tradisional.

Melihat pemandangan yang langka itu, tangan saya bergerak mengangkat kameraEh..dengan cepat salah seorang dari ketiga lelaki itu bilang, "Lima ribu satu fotoKalau mumi 20 ribu." Kok naik? Kata teman saya, hanya Rp 1.000.

"Tidak boleh lagi seribuItu dulu, sekarang kan harga barang-barang sudah naik semua," jawab salah seorang dari merekaWah, ternyata yang primitif cuma cara berpakaiannyaSoal uang, ternyata mereka tidak lagi primitif.

Dari hone yang ada di pojok kampung, lelaki termuda dari tiga orang tadi mengeluarkan sesosok mumi lelaki yang dalam keadaan dudukKabarnya, mumi itu sudah berumur 350 tahunKeadaannya sudah kering seperti kayu.

Setelah beberapa jepretan, mumi dikembalikan ke kotaknya yang ada di dalam honeSaya ikuti masuk ke dalam rumah adat dari papan, beratap ijuk, berlantai jerami, dan sangat gelap ituBapak tadi tidak keberatan, bahkan mempersilakan saya memotret mumi dan "rumahnya" yang berbentuk lemari kayu yang menggantung.

Yang mengejutkan saya, di "rumah" mumi itu tergolek satu kardus bekas kotak mi instanDi sudut lain duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an dengan pakaian lengkap (celana panjang dan kaus berkerah) sambil mengisap rokok berfilterDi samping lelaki itu terdapat secangkir kopi dan sebungkus rokok berfilter.

Meski agak heran, saya tidak bertanya tentang hal ituSetelah beberapa kali jepretan, saya merangkak keluar dari hone yang pintunya sangat pendek.

Di luar hone ternyata sudah berkumpul banyak orangAda yang sangat tua, ada yang setengah tua, ada yang masih muda, ada pula anak-anakAda lelaki, ada wanitaSemua lelakinya hanya mengenakan kotekaYang tua membawa tongkat panjang menyerupai tombakKaum wanitanya bertelanjang dadaBagian bawahnya bervariasiAda yang ditutup dengan rok, ada pula yang hanya mengenakan rumbai-rumbai dari akar pohon.

Melihat saya mengarahkan kamera, serentak mereka bilang, "Bayar, bayar." Karena objek seperti mereka tak mudah didapat, saya pun menganggukMaka beberapa orang pun berjajarKaum lelakinya -yang tua sampai anak-anak-berkumpul dengan sesamanyaYang perempuan juga begituKemudian yang merasa satu keluarga, juga berpose dengan keluarganya.

Setelah beberapa jepretan, tibalah saatnya membayarDan, inilah pengalaman paling unik bagi sayaSebab, masing-masing tahu persis berapa kali saya menjepretnyaKok tahu?

"Cuma sekali kok motretnyaYang lain itu tidak jadi," Suyoto yang mendampingi saya mencoba "berhemat."

Mereka tidak percaya"Dari bunyik kliknya kan bisa dihitung," jawab salah seorang dari mereka.

"Klik itu tadi cuma untuk mencoba kameraKan harus difokuskan duluJadi tidak ada fotonya," kilah SuyotoHe he.Mereka tetap tidak percaya dan ngotot minta dibayar.

Sekali lagi Suyoto berupaya menawar"Lima ribu untuk semuanya, ya?" Wah, mereka langsung menjawab serempak, "Tidak bisa."

"Makanya, lain kali, sebelum memotret, ibu harus nego harganya dulu," kata Bertho, yang asal TorajaHal yang sama diingatkan oleh Joko, koresponden harian Cendrawasih Pos di Wamena yang menemani kami pada hari kedua di kota itu.

Ketika tiba saatnya membayar, lembaran Rp 5 ribuan kami tidak cukup"Mau tidak dibayar dengan uang Rp 50 ribuan? Nanti dibagi sendiri untuk 10 orang," tanya SuyotoMereka menganggukTapi, saya heran, mengapa hal itu ditanyakan?

Jawabannya saya dapatkan saat kami dalam perjalanan meninggalkan Desa Kurulu, tempat kampung Dani itu berada"Orang-orang itu banyak yang tidak bisa menghitungTahunya, uang Rp 10 ribu berwarna merahYang Rp 5 ribu berwarna merahJadi, kalau Rp 5 ribu dibayar dengan lembaran seribuan, ya mereka tidak mengerti," jelas Bertho(tulisan besok: pengalaman unik lain di Wamena).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Mesir, Negeri dengan Banyak Situs Spektakuler (2)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler