Bukan hanya memotret suku Dani di Kurulu yang istimewa dan unikBerkeliling Wamena dan desa-desa di sekitarnya juga merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan
BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)
Paling tidak, itulah yang dialami wartawan Jawa Pos Nany Wijaya pada hari keduanya di ibu kota Lembah Baliem itu.KALAU ada yang paling saya tunggu selama dua hari di Lembah Baliem, itu adalah matahari
BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (1)
Sebab, ketika itu cuaca menjadi hangat, tapi tidak terlalu panasBACA JUGA: Menikmati Ikon-Ikon Kota Brussels, Belgia, di Musim Dingin
Karena itu, tidur pun harus pakai kaus kaki dan tutup kepalaMirip tidur di musim dingin.Karena cuaca sedang bersahabat dan tak mau kehilangan momentum, saya yang hari itu ditemani Dirut Cendarawasih Pos (Jawa Pos Group) Suyoto dan korespondennya, Djoko, serta sopir sewaan asal Toraja, Yavet, sudah meninggalkan hotel pada pukul 09.30 waktu setempat.
Di hari kedua itu kami tidak punya sasaran khusus seperti pada hari pertamaKami hanya berkeliling kotaMenikmati pemandangan di pusat Kota WamenaMemotret orang-orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak di bahu atau yang membawa noken (tas rajutan khas Papua).
Cara penduduk asli Papua membawa noken, menurut saya, sangat unikMereka tidak menggantungkan tali di bahu, melainkan di ubun-ubunPadahal, noken itu bukan sekadar hiasan atau untuk menyimpan dompet, karena orang sana tidak biasa menyimpan uangnya di dompet, apalagi kemudian menaruhnya di noken.
Tas rajutan yang warnanya khas -merah, putih, kuning, hijau, biru dan hitam- itu juga berfungsi untuk membawa barang daganganMulai sayur, buah sampai beras, ikan dan barang-barang dagangan, serta kebutuhan hidup lainnya.
Apa pun isi noken itu, tak terkecuali yang berat, cara membawanya selalu dengan dilingkarkan di kepalaSehingga bisa dibayangkan, betapa kuat leher merekaSeorang dokter ahli tulang pernah mengatakan kepada saya, orang-orang yang suka membawa beban di kepala, lehernya pasti kuat dan tidak akan mengalami kekeroposan.
Di Wamena, sepertinya kepala juga berfungsi sebagai bahu, untuk membawa bebanDengand demikian, kayu pun mereka bawa dengan cara menempatkannya di kepalaPadahal, kayu yang mereka bawa tidak sedikit, karena memang untuk dijual sebagai kayu bakar, bukan untuk dapur mereka sendiri.
Cara orang Wamena berdagang juga unikBarang dagangan mereka tidak selalu banyakTerkadang hanya beberapa genggamPadahal, untuk membawa barang-barang itu, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa alas kakiTetapi, ada juga yang membawa cukup banyak barang dagangan.
Apakah yang membawa banyak barang dagangan itu berarti lebih modern atau lebih pintar, sama sekali tidakYang menentukan banyak sedikitnya barang dagangan yang mereka bawa ke pasar adalah berapa banyak yang bisa mereka petik atau mereka miliki.
Cara menjualnya pun sangat khususMereka tidak menggunakan meja-meja seperti yang kita lihat di pasar-pasar tradisional di JawaPedagang di sana hanya meletakkan dagangan di tanahKemudian mereka duduk bersimpuh atau selonjor di sampingnya.
Untuk melindungi kepala dari panas dan hujan, biasanya mereka memasang payungPayung merupakan salah satu barang favoritSemula heran juga saya melihat seseorang yang berkulit sangat gelap, berjalan sambil membawa payung yang terbukaPadahal, kakinya tanpa alasLantas yang dipayungi apa?
Bagi saya, pemandangan seperti itu tentu menarik untuk dipotretDan, saya tidak punya kesulitan untuk memotret merekaTentu saja kalau saya membidiknya dari jauh, dan yang dibidik tidak menyadariTetapi, kalau tahu sedang dipotret, mereka pasti minta bayaranMinimal Rp 5.000Sedihnya, setiap melihat orang membawa kamera, mereka pasti berposeTentu dengan harapan bisa meminta bayaran.
Kayaknya angka Rp 5.000 itu standar harga untuk sekali pemotretanJadi, ke mana pun saya memotret, pasti harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiap orang, sekali jepret.
Mengapa saya tidak mencoba kabur saja? Toh saya membawa mobil sewaanTernyata ini bukan ide yang baik karena bisa ribut dan kita bisa mendapat masalahTak peduli Anda turis atau bukanWajah Anda mirip mereka atau tidakKalau memotret, ya harus bayar.
Tradisi minta bayaran setiap kali dipotret itu ada di mana-manaJadi, tidak hanya di Kurulu, kampung tradisional Suku DaniSampai di desa-desa terpencil pun, mereka minta bayaran ketika dipotretTerutama yang masih mengenakan koteka atau yang cara berpakaiannya masih sangat sederhana.
Mereka yang sudah mengerti berdagang atau mengenal kehidupan modern, tak terlalu mempermasalahkanSesekali saja mereka minta bayaranTetapi, kalau Anda membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih, pasti mereka tak lagi mempersoalkan itu.
Nah, untuk mereka yang masih berkoteka, biasanya tak mau dibayar Rp 5.000Mereka akan minta Rp 50.000 atau sedikitnya Rp 20.000Masalahnya, orang-orang yang berkoteka itu berkeliaran di jalan-jalan dan di pasar-pasarSehingga bisa dibayangkan indahnya foto kita kalau objeknya adalah pemakai koteka di antara kehidupan modern, yang ditandai dengan orang berpakaian seperti kita, mobil atau motorTapi, becak dan sepeda juga bisa jadi pertanda kehidupan yang tidak lagi primitif lho!
Anda pasti heran mendengar kata 'becak.' Ini beneran! Di Wamena, becak merupakan salah satu alat transportasiHarga sebuah becak di sana bisa sampai Rp 2 juta karena barang itu didatangkan dari Jawa Timur, menggunakan pesawatKarena itu, bentuk becak di sana mirip sekali dengan becak yang ada di Jawa Timur.
Ongkos Rp 50.000 untuk satu foto bukan masalah, kalau Anda bisa mendapatkan objek yang sudah sangat langka: Orang berkoteka, atau bertelanjang dada dengan buku-buku jari yang putusAtau yang daun telinganya terkoyak rapi.
Mereka itu adalah orang-orang langka yang bakal segera musnahJari yang putus dan daun telinga yang robek adalah pertanda bahwa mereka pernah menjalani upacara adat yang kini makin sirnaYakni, upacara potong jari atau merobek daun telinga, setiap kali saudara kandungnya meninggal dunia.
Pemotongan buku-buku jari dan daun telinga itu dilakukan dengan menggunakan kapak batuJadi, bisa dibayangkan, berapa jari yang masih tersisa pada seseorang yang kehilangan enam saudara kandungnyaSatu saudara, satu buku jariJadi, kalau enam saudara, berarti kehilangan enam buku jari, alias tiga jari.
Banyak sekali objek foto yang menarik di WamenaDan itu tidak hanya orangBabi pun bisa menjadi objek foto yang cantik di sanaTapi, apa juga harus membayar, seperti kalau kita memotret manusia? Ini pengalaman sayaCeritanya, menjelang pulang, saya mampir ke pasar terbesar di WamenaNamanya Pasar Jibama.
Selain memotret para pedagang bunga abadi dan buah merah, di pasar itu saya memotret para penjual babiIni karena babi di sana diperdagangkan dalam keadaan hidup, seperti orang di Jawa memperjualbelikan ayam kampung di pasar-pasar tradisional.
Anehnya lagi, yang mereka namakan babi itu berbeda sekali dengan babi yang saya lihat selama iniBabi di sana berbulu tebal dan sesekali berculaLebih menyerupai babi hutan (celeng)Tetapi, mereka menolak ketika saya sebut binatang itu sebagai babi hutan.
Namun, saya juga tak yakin dengan ucapan sayaSebab, setahu saya, babi hutan berwarna hitamDi sana, babi hutannya ada yang berwarna merah muda seperti babi pada umumnyaBahkan, ada juga yang berwarna cokelat seperti kijangAneh kan?
Saya lantas memotretnyaKarena itu binatang, saya tidak siap mental untuk dimintai bayaranSehingga, betapa terkejut dan paniknya saya ketika seorang pedagang memaksa saya membeli babi kecilnya dengan harga Rp 1,25 juta hanya karena saya telanjur memotretnya.
Karena nilai itu tinggi sekali dan tidak mungkin juga saya membelinya, saya pun kaburSi pedagang meneriaki saya dengan suara agak tinggi, menggunakan bahasa daerah mereka, yang tentu saja tidak saya pahamiUntung ada Joko, koresponden Cendrawasih Pos yang menemani sayaKeadaan pun bisa diredam meski si pedagang lantas melotot marah kepada saya.
Babi memang binatang yang sangat berharga di WamenaBukan cuma dari nilai rupiahnya yang bisa Rp 4 juta sampai 5 juta per ekor, tetapi juga kegunaan dan nilai psikologisnya.
Kegunaan babi bukan cuma untuk dimakanBabi juga untuk melindungi tubuh mereka dari serangan nyamuk Papua yang terkenal keganasannyaCaranya, dengan mengoleskan minyak babi ke sekujur tubuh mereka.
Selain untuk menghalau nyamuk, minyak babi mereka gunakan untuk meminyaki rambutDan menghiasi wajahHiasan wajah mereka ada dua warna, putih dan hitamUntuk warna hitam, mereka menggunakan minyak babi yang dicampur dengan jelagaWarna putih, biasanya dari kapur.
Yang lebih istimewa, babi juga disusuiTradisi itu masih ada di suku-suku yang hidup di pedalamanTapi, bukan dengan menggunakan botol susu lho! Mana ada?
Jadi, kalau sedang punya bayi, mereka akan membagi air susunyaPayudara yang satu untuk menyusui sang anak, payudara lainnya buat si babiWanita yang suka menyusui bayi babi bisa dilihat dari bentuk putingnya.
Karena itu, berhati-hatilah kalau mengemudikan mobil di sanaKalau sampai menabrak mati babi, bisa dipastikan sopir itu akan miskinLebih celaka lagi kalau yang ditabrak adalah babi betinaMakin sengsara kalau babi itu sudah punya anakSebab, dia harus membayar ganti rugi Rp 8 juta untuk si babiIni harga mati, tak bisa ditawarPolisi pun tak bisa membantu.
Kalau babi itu betina, harga tersebut masih harus ditambah dengan Rp 1 juta per puting susunyaPadahal, babi di Wamena bisa punya 10-20 puting susu, sesuai jumlah anak yang pernah dilahirkanKalau putingnya 20, ya berarti tambah Rp 20 juta.
Kalau si babi dalam keadaan bunting, lebih parah lagiSelain membayar tambahan berdasarkan jumlah putingnya, si sopir harus membayar lagi untuk janin di rahim si babiUntuk menentukan ini, babi akan dibedah dan janinnya dihitungSatu janin dihargai Rp 1 jutaBayangkan kalau di perut itu ada 10 janin.
Begitu berharganya babi di sana, begitu tingginya rasa sayang mereka terhadap binatang yang satu ituTetapi, mengapa mereka tega memanahnya hidup-hidup pada saat ada pesta atau festival budaya? Mungkin itulah uniknya budaya asli Papua(besok: mengenal para penambang (emas) liar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Mesir, Negeri dengan Banyak Situs Spektakuler (3-Habis)
Redaktur : Tim Redaksi