Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (4)

Untuk Dapat Emas, Penambang Setor Rp 100 Ribu Per Bulan

Kamis, 12 Februari 2009 – 06:06 WIB
Foto: Nany Wijaya/JAWA POS

Ke Papua tanpa ke Wamena memang tidak lengkapTapi, ke Wamena tanpa ke Timika juga belum sempurna

BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (3)

Sebab, dua kota itu memiliki kehidupan yang bertolak belakang
Padahal, suku asli yang hidup di sana lebih banyak

BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (2)

Salah satunya suku Dani
Apa saja persamaan dan perbedaan kedua kota itu, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos NANY WIJAYA.



UNTUK sampai ke Wamena, kita harus ke Jayapura dulu

BACA JUGA: Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Papua (1)

Sebab, inilah satu-satunya pintu masuk ke "ibu kota" Lembah Baliem ituPadahal, tidak ada penerbangan langsung dari luar Papua ke JayapuraSemua pesawat harus transit di Biak, Sorong, atau Timika.

Saya memilih berhenti di Timika karena inilah jalur terpendek dari Surabaya ke JayapuraSelain ingin melihat dari dekat Kuala Kencana, kotanya Freeport yang dijuluki Amerika-nya Papua, juga untuk menengok harian Radar Timika, anak perusahaan Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group).

Timika memang bukan kota besarMeski gedung terminalnya tidak besar, Bandara Mozes Kilangan berkelas internasionalJujur, saya agak kaget ketika memasuki gedung terminalnyaTidak besar, memang (sesuai kotanya), tetapi bersihnya, rapinya, tertibnya, tak kalah dengan bandara di kota-kota besar.

Tidak seperti di Jayapura -apalagi Wamena-, portir di Mozes Kilangan lebih tertibJumlahnya juga tidak banyak dan lebih bersifat menunggu penumpangPenumpang yang tidak membutuhkan portir bisa membawa sendiri bagasinya karena di situ disediakan troli-troli besar.

Yang luar biasa adalah kebersihannyaTak kalah dengan bandara internasional lain, seperti Cengkareng yang terkenal dan bandara di Makassar yang masih baru dan sangat mewahDan, yang bersih bukan hanya ruang tunggu dan ruang kedatangan, tetapi juga toiletnyaLantainya kering, tidak berbau, klosetnya bersih dan dilengkapi tisu.

Hebatnya lagi, penjemput tidak boleh ikut masukSekalipun itu Dirut Cendrawasih Pos Suyoto dan Oktovianus, direktur Radar Timika, harian terbesar di TimikaPadahal, kedua pimpinan media Jawa Pos Group itu sangat dekat dengan para petinggi Freeport Indonesia, pemilik Bandara Mozes KilanganTetapi, Mufi, staf media relation Freeport di Timika yang ikut menjemput saya, boleh masuk sampai ke tempat saya menunggu bagasiYa, pastilah!

Sampai saat meninggalkan Timika saya belum melihat adanya persamaan kota itu dengan WamenaSaya pikir malah sebaliknya, kedua kota itu memiliki perbedaan yang sangat ekstremSeperti langit dan bumi, meski di Timika juga ada suku DaniDan, suku Dani bukan satu-satunya suku asli yang hidup di TimikaDi kota tersebut ada tujuh suku asli, yakni Dani, Nduga, Me atau Ekari, Moni, Kamoro, Amungme, dan DamaiSuku-suku tersebut mendapatkan perhatian khusus dari FreeportHak istimewa ketujuh suku itu disebut sebagai hak ulayat.

Bedanya dengan yang di Wamena, suku Dani di Timika tidak mengenakan kotekaApalagi, berkeliaran dalam keadaan telanjangSaat pecah perang antarsuku saja, hanya ada sedikit di antara mereka muncul dengan hanya mengenakan pakaian tradisional itu.

Mata pencarian suku ini juga berbeda dengan sesamanya yang di WamenaMereka bekerja sebagaimana penduduk lain yang bukan asli PapuaJadi, ada yang bertani, berdagang, bekerja di kantor, atau di tokoTetapi, tidak sedikit juga yang menjadi penambang liar di areal tambang milik Freeport.

Suku Dani bersama suku lain, seperti Me, Nduga, Moni, dan Amungme, banyak melakukan penambangan liar di Kampung Arwano, Banti, dan WahKampung-kampung tersebut terletak di sekitar TembagapuraJumlah mereka, kalau ditotal, sangat banyakBisa mencapai lebih dari 10.000 orang.

Dibanding penambang liar lain yang bukan suku asli, mereka lebih beruntung karena mengambil lokasi di sungai yang sangat dekat dengan tambangKarena letak geografisnya lebih tinggi, mereka bisa mendapatkan lebih banyak emas daripada penambang pendatang yang umumnya mengambil lokasi penambangan di Timika, tepatnya di mile 32-34, yang berada di dataran rendah.

Kalau beruntung, mereka yang menambang di dataran tinggi bisa mendapatkan emas sampai 4-5 gram sehari, per orangSedangkan yang di bawah, "Paling juga bisa dapat dua gramItu pun jarangYang sering ya 1 gram," jelas seorang penambang liar yang kami temui di mile 34.

Meski lokasi mereka berbeda, para penambang liar itu bekerja dalam formasi yang sama: berkelompokSetiap kelompok terdiri atas dua sampai lima orangAlat kerjanya juga sama: wajan, karpet kecil, dan sabun deterjen.

Selain itu, modal yang harus dimiliki seorang penambang liar, kabarnya, adalah bukti bahwa dia sudah membayar upeti kepada oknum kepala desa, Rp 100.000 per orang per bulan.

Inilah ternyata yang membuat mereka menolak disebut penambang liar"Kami ini tidak liarUntuk bisa bekerja di sini kami membayar Rp 100.000 per orang per bulan," jelas mereka secara terpisah.

Bila di sepanjang Sungai Ajkwa ada 5.000 penambang liar dan setiap penambang menyetor Rp 100.000, penghasilan si kepala desa bisa mencapai Rp 500 juta per bulanWauw! Jika uang setoran itu dibagi rata dengan 20 oknum saja, setiap orang bisa berpenghasilan (lain-lain) Rp 25 juta per bulanJangan-jangan uang setoran yang menggiurkan inilah salah satu sebab mengapa penambang liar di sana tidak bisa diberantas.

Dengan bukti itu, mereka bisa memasuki kawasan penambangan liar dengan amanKemudian, dengan karpet mereka "menyaring" pasir halus yang mereka dulang dari Sungai AjkwaButiran yang mengandung unsur logam akan menyangkut di bulu-bulu karpet.

Setelah itu karpetnya dicuci di wajan dengan menggunakan sabun deterjenSabun itu berfungsi untuk mengikat butiran-butiran emas yang sehalus pasir, sehingga terbenam.

Bentuknya yang melengkung di bagian tengah memudahkan pendulang mengumpulkan butiran-butiran berwarna kuning ituSedikit demi sedikit, emas-emas yang berhasil didulang itu dikumpulkanMenjelang sore, dalam perjalanan pulang ke rumah, emas-emas itu disetorkan kepada pengepulUntuk setiap gram, para pendulang itu mendapatkan Rp 240.000.

Kalau mereka bekerja dalam kelompok yang terdiri atas empat orang, bisa dipastikan bahwa setiap hari mereka berpenghasilan empat kali Rp 240.000Umumnya, mereka bekerja 25 hari dalam sebulanSebagian saja yang bekerja 30 hari penuh"Minggu kami liburAda yang istirahat, ada juga yang ke gereja," ujar Bobby, pendulang asal Buton, Sulawesi, yang berkelompok dengan tiga temannya.

Pendulang lain yang lupa saya tanya namanya menjelaskan, dalam sebulan dia dan kelompoknya bisa mendapatkan Rp 25-35 jutaHasil itu lantas dibagi lima, sesuai anggota kelompoknya.

"Bekerja seperti ini sangat bergantung pada nasib dan ketekunanKalau tekun dan nasib lagi baik, ya dapat banyakBisa sampai Rp 10 juta per orangTapi, kalau sedang sial, ya hanya dapat Rp 2-3 juta," katanya.

Jumlah pendatang di Timika lebih banyak daripada penduduk asliMereka berasal dari Jawa, Toraja, Bone, dan MakassarTetapi, hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai penambang liarSisanya bekerja sebagaimana pendatang di provinsi lainAda yang jadi petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, dan anggota militerAda juga yang menjadi guru dan penjaga toko.

Tentang pendatang asal Toraja, yang juga banyak tinggal di Wamena, kabarnya memilih hijrah di Papua karena memiliki kultur dan adat yang hampir sama.

Misalnya, dalam hal membunuh babiMeski jenis babinya berbeda, penduduk asli kedua daerah itu sama-sama menggunakan babi sebagai makanan utama dalam pesta-pesta adatCara mematikannya pun nyaris sama, yakni sama-sama menikamnya hidup-hidupYang di Papua menikamnya sampai mati dengan anak panah, yang di Toraja dengan pisau.

Bicara tentang babi, seorang teman yang sangat mengenal profil hewan-hewan liar menjelaskan bahwa babi di Wamena memang tidak sama dengan yang di JawaBabi di Wamena adalah hasil persilangan antara babi biasa (yang berwarna pink dan tidak berbulu) dengan babi hutanPerkawinan silang ini terjadi karena babi hutan Wamena cukup dekat dengan manusiaKarena itu, banyak yang jadi jinak dan dipelihara.

"Dagingnya lebih gurih, tidak sama dengan gurihnya babi biasa maupun babi hutanLemaknya dua lapisTak seperti babi biasaKarena itu, orang di sana sering memakan babi hasil persilangan itu dengan kulitnya," kata Singky Soewadji, teman saya itu.

Di Timika, babi hasil persilangan itu ada dua jenisYang kecil hasil persilangan alami, lokalSedangkan yang besar, "Bisa sampai 60 kilogram beratnya, didatangkan dari BaliPemda mendatangkannya secara rutin sebagai proyek pembibitanUntuk babi yang besar itu kami di sini menyebutnya babi InggrisMemang lebih gurih rasanya, beda dengan babi biasa," jelas Oktovianus, direktur harian Radar Timika yang menemani saya dan Suyoto selama dua hari di Timika.

Seperti di Wamena, di Timika pun berlaku ketentuan yang sama bila sopir menabrak babiKerugian dihitung berdasarkan puting dan janinnya jugaKetentuan serupa berlaku di kedua daerah itu, kalau kita menabrak anjingHanya, harganya lebih murah.

Kalau babi dan anjing dihargai begitu tinggi saat tertabrak, bagaimana dengan manusia? Di Wamena, menabrak orang juga harus bayarTetapi, nilainya lebih bisa dinegoIni berbeda dengan di TimikaApalagi, kalau yang menabrak pengemudi dari FreeportWah, serem.

Kalau sampai menabrak mati mahasiswa, penabrak yang bekerja di Freeport harus membayar denda Rp 1 miliarKalau korbannya cuma anak SMA atau lulusan SMA, penabrak harus membayar Rp 500 jutaPelajar SMP dihargai Rp 250 jutaAnak SD cuma Rp 100 jutaUntuk penabrak yang bukan orang Freeport, dendanya sedikit lebih rendahSelain denda tradisional itu, si penabrak masih harus berurusan dengan polisi dan pengadilan.

Padahal, Freeport sendiri menyediakan fasilitas sekolah keterampilan khusus untuk tujuh suku asli di Kabupaten Mimika, tanpa melihat pendidikan merekaYang tidak bisa baca tulis pun boleh ikut belajar di sekolah itu dan digajiGaji itu mereka terima setiap bulan, selama mereka bersekolahBagaimana kalau tidak cepat lulus? "Ya, dibayar terus sampai lulus," jelas Agus, kepala sekolah itu.

Bukan hanya ituFreeport juga menyediakan rumah sakit dengan fasilitas yang sangat modern untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada warga dari tujuh suku asli di kawasan tambang ituBerobat ke luar negeri pun, kabarnya, ketujuh suku asli itu ditanggung FreeportWauw! (besok: mengenal Freeport dan Grasberg, tambang emas terbesar di dunia).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikmati Ikon-Ikon Kota Brussels, Belgia, di Musim Dingin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler