Orang Bali Sudah Berlayar Membawa Rempah Pada Awal Masehi, ini Buktinya...

Jumat, 10 Juni 2016 – 17:33 WIB
I Gusti Lanang Raka, penemu prasasti lempengan tembaga di Ujunghyang, Karangasem, Bali. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - EMPAT lempeng tembaga bertarekh 932 Saka, atau 1010 Masehi. Prasasti ini mengungkap pelayaran orang Bali dengan perahu dua cadik. Mereka membawa rempah-rempah.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Inilah Penanda Awal Masuknya Islam ke Pulau Bali

Almanak baru saja berganti dari 1991 ke 1992. Dan, I Gusti Lanang Raka baru saja diangkat menjadi Bendesa Adat Ujung, Karangasem, Bali. Bendesa adat itu, lebih kurang sama dengan pemimpin desa. 

"Waktu baru diangkat jadi bendesa, semangat saya berapi-api mau bangun desa," kata Gusti Lanang kepada JPNN.com, di Taman Ujung, 2 Juni 2016. 

BACA JUGA: Di Bali, Dari Islam Waktu Telu Hingga...

Dia langsung bersih-bersih pura--rumah ibadah umat Hindu. Saat membersihkan tempat suci di Pura Dalam, Gusti Lanang menemukan beberapa lembar lempengan tembaga. 

"Orang tua anggap itu suci. Ditarok di sana. Disucikan, dipuja-puja. Tahun ke tahun, yang tarok meningggal. Orang lupa. Tak dirawat, sehingga karatan," gumamnya.

BACA JUGA: Keturunan Pendekar Islam Demak Berkampung Di Pulau Bali

Seketika itu juga Gusti Lanang memberitahu temuannya itu kepada pemangku desa, yang naik turun untuk memimpin upacara. 

Apa mau dikata. Pemangku tak mengizinkan Gusti Lanang menurunkan lempengan itu. Katanya, itu keramat. 

"Tapi, saya berpikir. Ini kan prasasti. Kalau nggak dibaca, perintah leluhur itu gak bisa dilaksanakan dengan baik," ujar Gusti Lanang yang kini berusia 62 tahun. 

Kakek dari enam cucu itu tak lagi menjabat bendesa adat. Sekarang dia menjabat sekretaris pengelola Taman Sukasada--tempat peristirahatan Raja Karangasem--yang dibuka menjadi tempat rekreasi sejak medio 1990-an.

"Secara diam-diam saya mengundang orang kebudayaan, orang sastra Unud (Universitas Udayana, Bali), orang cagar budaya dan sebagainya," Gusti Lanang mengungkap sebuah rahasia.

Tim Arkeolog

Gusti Lanang sebenarnya lupa, kapan persis dirinya menemukan dan kemudian secara diam-diam mengundang sejumlah akademisi ke desanya. 

Berdasarkan laporan tim arkeologi yang didapat JPNN.com, Gusti Lanang meminta mereka datang untuk meneliti prasasti tembaga tersebut, disertai sepucuk surat bertanggal 18 Januari 1992.

"Dengan adanya surat itu, maka Kepala Balai Arkeologi Denpasar menginstruksikan kepada staf untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut," tulis I Gusti Made Suarbhawa dan I Nyoman Sunarya dalam laporannya.

Pendek kisah, terbentuklah sebuah tim yang terdiri dari Purusa Mahaviranata, Kepala Balai Arkeologi Denpasar sebagai ketua tim.

Anggotanya tiga orang arkeolog. Yakni, I Made Jaya, I Gusti Made Suarbhawa dan I Nyoman Sunarya. 

Selain arkeolog, penelitian melibatkan sejumlah lembaga, antara lain Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali, Museum Negeri Bali, Departemen Pendidikan serta aparatur pemerintahan setempat.

Sebelum berangkat ke Desa Ujung, tim terlebih dahulu mengadakan studi kepustakaan. Ternyata, prasasti itu pernah diteliti oleh L.C Damais dan Goris. 

Hasil penelitian Damais termuat dalam bulletin I'Ecole Francaise D'Extreme-Crient (1952). Dan hasil kajian Goris, termuat dalam buku Prasasti Bali I (1954). 

Pun demikian, masih terdapat celah pada hasil penelitian kedua bule tersebut. Tim baru ini pun mengisi celah-celah itu. 

Mereka berhasil mengalih aksara dan menerjemahkannya dengan cukup baik. JPNN beruntung mendapatkan dokumen tersebut. 

Ternyata, isi prasasti lempeng tembaga dari abad 11 itu--sebelum Kerajaan Majapahit berdiri--lebih dari sekadar batas-batas wilayah. Ia menggambarkan budaya maritim orang Bali. --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istana Raja Bali Dikelilingi Kampung Islam, Ini Sejarahnya...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler